5 Alasan proyek 35.000 MW sulit terwujud dalam lima tahun
Merdeka.com - Megaproyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) menjadi salah satu proyek ambisius Presiden Joko Widodo. Pasalnya, pembangunan ditarget selesai dijalankan hingga lima tahun ke depan.
Padahal, berkaca pada target 10.000 MW pemerintahan sebelumnya saja, gagal diimplementasikan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyadari banyak pihak memandang sebelah mata megaproyek ini.
"Hampir semua pihak pesimistis dengan proyek pembangkit listrik 35.000 MW," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said di Gedung DPR, Jakarta.
-
Siapa yang memanfaatkan energi listrik? Listrik telah menjadi salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
-
Bagaimana PLN menarik investor di proyek kelistrikan? Dua prinsip tersebut diterapkan PLN untuk menarik minat para investor agar akses listrik untuk seluruh masyarakat bisa dieksekusi dengan cepat,“ katanya.
-
Apa itu energi listrik? Energi listrik adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh pergerakan partikel bermuatan, khususnya elektron, melalui suatu penghantar atau rangkaian tertutup.
-
Dimana energi listrik digunakan? Energi listrik memiliki peran yang sangat penting sebagai sumber penerangan dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat utama dari energi listrik sebagai sumber penerangan adalah memberikan cahaya yang diperlukan untuk melakukan berbagai aktivitas di dalam atau di luar ruangan, terutama pada malam hari.
-
Siapa yang melakukan tinjauan proyek? Mendapati informasi ini, bupati, Rudy Gunawan melakukan pengecekan langsung ke lokasi, pada Minggu (13/8).
-
Apa fokus Pertamina di bidang energi? Sebagai BUMN Energi nasional, Pertamina fokus menjawab 3 (tiga) isu strategis yakni Energy Security (ketahanan energi), Energy Affordability (keterjangkauan biaya energi), dan Environmental Sustainability (keberlanjutan lingkungan).
Meski begitu, megaproyek ini mutlak dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5-6 persen. Untuk mencapai target itu, tidak ada pilihan selain menambah kapasitas listrik.
Dia mengemukakan, lokasi proyek menyebar di sejumlah provinsi. Diantaranya, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan.
Megaproyek tersebut, kata Sudirman, didominasi oleh pembangkit listrik tenaga uap, berbahan bakar batu bara. Kendati demikian, pemerintah juga memberi porsi untuk pembangkit listrik energi alternatif.
Mengapa megaproyek ini dinilai sulit terwujud? Berikut merdeka.com akan merangkumnya untuk pembaca.
Kondisi politik tak membantu mempercepat realisasi
Dewan Penasehat Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) Herman Darnel Ibrahim mengungkapkan idealnya pasokan listrik 35.000 MW bakal terpenuhi di 2020. "Idealnya (tahun) 2020," ujar Herman dalam diskusi Energi Kita yang diselenggarakan Merdeka.com, RRI, IJTI, Sewatama dan IKN di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat.Selain proses pembangunan pembangkit yang memakan waktu cukup lama, kondisi politik dalam negeri yang kerap gaduh menambah kendala terealisasinya megaproyek tersebut."Selesaikan bangun PLTU saja 4 tahun, belum termasuk cari uangnya, tender terus kontrak. Enggak mungkin selesai tahun 2019," tuturnya.
Proyek dengan kapasitas lebih rendah, pemerintah kerap gagal
Dewan Perwakilan Rakyat mengapresiasi langkah Presiden Jokowi dalam mengatasi krisis listrik dengan menargetkan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt dalam lima tahun mendatang. Sayangnya, berdasarkan pengalaman sebelumnya, megaproyek itu dinilai tak realistis."Kalau bahasa saya terlalu muluk-muluk. Saya selalu kritik keras program 35 ribu MW. Karena apa? Untuk fast track progam tahap I dan II saja belum clear," ujar Anggota Komisi VII DPR-RI Agus Sulistiyono saat diskusi mingguan dihelat merdeka.com, Radio Republik Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Institut Komunikasi Nasional (IKN), dan PT Sewatama bertajuk "Energi Kita: PLTN yang aman dan efisien untuk atasi krisis listrik", Jakarta.
Realisasi proyek butuh kekompakan semua pihak
Wakil Rektor ITB Bermawi P Iskandar menerangkan, pembangunan pembangkit 35.000 MW adalah sebuah proyek besar. Hal itu tidak mudah untuk diwujudkan. Pasalnya, butuh kekompakan untuk mencapai target yang dicanangkan Jokowi untuk lima tahun ke depan."Untuk mengatasi masalah kelistrikan di Indonesia, pemerintah mencanangkan membangun pembangkit listrik 35.000 MW dalam lima tahun. Banyak tantangan untuk merealisasikan ambisi ini," kata dia dalam sambutan.ITB menyadari proyek tersebut diperlukan kesiapan dan komitmen dari berbagai pihak begitu juga bagaimana strategi mengatasinya. Sebab, dampak besar akan diterima masyarakat terutama bagi mereka yang belum diterangi."Karena dampaknya terhadap masyarakat sangat positif untuk penerangan yang lebih merata," ungkapnya.
Proses pembangunan dan pencairan dana memakan waktu
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms, Fabby Tumiwa menilai Presiden Joko Widodo terlalu ambisius ketika mencetuskan megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW dalam lima tahun. Pasalnya, proses tender hingga turunnya izin pembangunan saja membutuhkan waktu lama.Selain itu, proyek ini juga membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. "Di awal ketika program ini diluncurkan terlalu ambisius," ujar Fabby dalam Diskusi Energi Kita yang digelar merdeka.com, RRI, IJTI, IKN, DML dan Sewatama di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat."Kekhawatiran saya adalah pelaksanaan yang 5 tahun menjadi tanda tanya besar. Karena masalah-masalah yang dihadapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk selesaikan," tambahnya.Fabby menilai, megaproyek tersebut bisa berjalan mulus jika ditargetkan rampung dalam waktu 10 tahun.
Skema penunjukan langsung berpotensi jadi bancakan
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencium potensi bau anyir di balik proyek pengadaan pembangkit listrik dengan mekanisme tunjuk langsung. Mekanisme ini membuka celah aksi kongkalikong BUMN dengan investor, ataupun elit politik dengan pebisnis.Beberapa proyek yang boleh dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung yakni pekerjaan pengadaan dan penyaluran benih unggul meliputi benih padi, jagung, kedelai serta pupuk yang meliputi urea, NPA, dan ZA kepada petani.Ini diperbolehkan demi menjamin ketersediaan benih pupuk secara tepat dan cepat untuk pelaksanaan peningkatan ketahanan pangan. "Jadi bukan pengadaan infrastruktur kelistrikan," ungkap Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto di Kantornya. (mdk/bim)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Padahal, Bahlil mengungkapkan Indonesia memiliki cadangan energi terbarukan terbesar.
Baca SelengkapnyaJokowi mengungkapkan bahwa potensi energi panas bumi atau geothermal di Indonesia mencapai sekitar 24.000 megawatt (MW), namun belum dioptimalkan dengan baik.
Baca SelengkapnyaProses pengerjaan suatu proyek energi hijau baru bisa dimulai di tahun keenam.
Baca SelengkapnyaPembangunan pembangkit listrik dan jaringan transmisi masih jauh dari target.
Baca SelengkapnyaPemerintah saat ini ingin agar masa pemerintahan berikutnya tak lagi kerepotan dalam menyusun regulasi terkait energi hijau.
Baca SelengkapnyaJokowi mendorong, waktu pengurusan perizinan bisa dipersingkat, tujuannya agar potensi dari 24.000 megawatt dari energi panas bumi bisa terwujud.
Baca SelengkapnyaDPR menilai IKN tetap sulit menarik minat investor karena masalah utama bukan pada pergantian pejabatnya, tetapi dasar kebijakan yang keliru
Baca SelengkapnyaSejumlah peneliti asing mengkritik rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur.
Baca SelengkapnyaPembangunan infrastruktur pendukung energi bersih di lapangan terhambat.
Baca SelengkapnyaSikap sejumlah negara untuk pensiun PLTU batu bara saling berbeda.
Baca SelengkapnyaPermasalahan kelebihan pasokan listrik akan teratasi dengan adanya peningkatan konsumsi listrik.
Baca SelengkapnyaEnergi Baru Terbarukan dihadapkan dengan 4 tantangan.
Baca Selengkapnya