5 Ancaman pasar bebas ASEAN 2015 bagi Indonesia

Merdeka.com - Pemerintah menggelar rapat koordinasi terkait kesiapan Indonesia mengikuti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 di Jakarta, Rabu (12/3). Kesimpulannya, pemerintah tak akan mundur atau menunda keterlibatan dalam liberalisasi barang dan jasa tersebut.
"Saya kira on track. Tingkat score card kita 84 persen dari pelaksanaan Indonesia terhadap MEA, jadi itu sesuai rencana," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa usai rapat di Kemenko Perekonomian.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa ini mengingatkan bahwa tingkat kepatuhan negara lain di kawasan tak jauh beda. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi pemerintah mengurungkan niat bergabung dalam MEA.
Selain itu, MEA mencakup pula kerja sama intensif di bidang keamanan dan sosial budaya. Sehingga Kemenlu percaya keuntungan yang didapat Indonesia lebih besar bila bergabung di dalamnya.
Ketua Pembina ASEAN Competition Institute (ACI), Soy Martua Pardede menilai persaingan di pasar bebas ASEAN bakal sangat ketat dan tidak ditemui di regional lainnya semisal Eropa atau Amerika. Sehingga, mutlak untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meyakini, Indonesia harus siap menghadapi perubahan ekonomi besar dalam satu tahun mendatang.
SBY menekankan perlunya perubahan mental dan cara pandang dalam menghadapi perdagangan bebas di negara-negara kawasan. Sebab, tak hanya anggota ASEAN, negara maju lain juga ikut serta di dalamnya.
"Jangan kita hanya melihat segala sesuatunya sebagai ancaman, tapi juga lihat sebagai peluang," ucapnya.
Dari semua pendapat positif tersebut, Indonesia juga menghadapi ancaman menjelang diselenggarakannya pasar bebas ASEAN. Apa saja ancaman tersebut buat rakyat Indonesia? Berikut merdeka.com mencoba merangkumnya.
Rakyat kecil sasaran kesengsaraan
Lembaga swadaya Indonesia for Global Justice (IGJ) menuding pemerintah tidak memiliki strategi dan rencana yang tepat untuk melindungi kepentingan petani, nelayan, buruh, dan pedagang tradisional, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai efektif 2015.Hal ini berpotensi mendorong hilangnya akses rakyat terhadap sumber daya alam dan tingginya angka kemiskinan di pedesaan. Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik menyatakan, nelayan, petani, buruh, maupun pedagang pasar tradisional adalah kelompok paling dirugikan atas pemberlakuan MEA tahun depan.Alasannya, pemerintah tidak memiliki strategi dan rencana aksi yang melibatkan petani, buruh, nelayan, dan pedagang tradisional. "Seakan mereka dibiarkan sendirian menghadapi bahaya AEC," ujarnya.
Sumber kekayaan Indonesia dikuras pihak asing
Indonesia for Global Justice (IGJ) khawatir? sektor pertanian dan perikanan adalah dua dari 12 sektor strategis yang masuk dalam prioritas kerja sama ASEAN. Di dalam negeri, kedua sektor ini tidak saja strategis dan penting bagi kepentingan domestik rakyat Indonesia, tapi juga menghadapi kegentingan yang cukup serius baik secara kualitas maupun kuantitas.Bukti nyatanya adalah kontribusi sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, terhadap PDB tidak lagi besar, bahkan cenderung menurun sejak tahun 2011. Data BPS menyebutkan tahun 2011 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 14,70 persen dan mengalami penurunan hingga 14,43 persen pada 2013."Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah dalam waktu yang sangat singkat ini. Jangan pada akhirnya rakyat dipaksa menghadapi AEC 2015 sendirian tanpa persiapan" kata Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik.
Indonesia kembali dijajah
Indonesia berpotensi kembali 'dijajah' oleh negara lain ketika Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai berlaku pada 2015. Pasalnya, 80 persen pengangguran di Tanah Air berpendidikan rendah.Bandingkan dengan Malaysia dan Singapura, 80 persen penganggurannya justru lulusan SMA dan perguruan tinggi."Mereka akan mendesak di MEA nanti menggunakan standar Bahasa Inggris. Kita sudah deg-degan saja. Apa yang bisa kita lakukan," ucap Pengamat Ekonomi Hendri Saparini.
Hancurkan pengusaha kecil
Lembaga CIMB Research melansir laporan terkait kesiapan negara-negara anggota ASEAN menjalankan liberalisasi barang dan jasa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. Hasilnya, masih banyak hambatan di enam sektor yang akan mulai dibuka dalam waktu dekat itu.Chief Executive Officer CIMB Group Nazir Razak membenarkan, kebijakan MEA bisa membunuh usaha kecil menengah (UKM) di ke-10 negara anggota ASEAN. Tapi, itu hanya akan menimpa pengusaha yang tidak siap. Bila mau menangkap peluang, Nazir yakin pengusaha kecil menengah bakal diuntungkan karena bisa bebas melakukan ekspansi ke seluruh Asia Tenggara."Harus saya akui, akan ada pihak yang kalah seiring liberalisasi tersebut. Saya selalu bilang pada pelaku usaha kecil menengah, MEA memberi kesempatan bagi kita menangguk keuntungan besar," ujarnya.
Industri perbankan kalah bersaing
Perbankan nasional dinilai belum siap untuk menghadapi era keterbukaan ekonomi di Asean pada 2015. Soalnya, perbankan nasional masih perlu meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG)."Berita buruknya bahwa sering sekali di dalam hal yang menyangkut kesepakatan internasional termasuk di Asean, Indonesia selalu menjadi negara yang tidak siap. Saya khawatir Indonesia tidak siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015," kata Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono.Sigit menilai perbankan nasional baru siap pada 2020.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya