Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Apa langkah Gita buat redam barang impor?

Apa langkah Gita buat redam barang impor? Gita Wirjawan berkunjung ke merdeka.com. ©2013 Merdeka.com/Muhammad Luthfi Rahman

Merdeka.com - Importasi menjadi salah satu kebijakan langganan pemerintah buat mengerem inflasi. Terutama pada sektor pangan bergejolak, baik itu kedelai, daging sapi, hingga bawang putih.

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyadari kebijakannya membuka sebagian keran impor tengah disorot. Tetapi, dia berkukuh akar masalahnya adalah kurangnya pasokan dari sektor hulu di dalam negeri.

Akibatnya, pemerintah harus menerima jika ketergantungan pada barang asing berimbas pada tergerusnya devisa dan akun neraca pembayaran seperti yang dialami beberapa triwulan terakhir. Konsumen turut dirugikan karena harga beberapa komoditas belum juga turun selepas impor dibebaskan, dengan bermacam alasan.

"Kalau produksi dalam negeri sesuai target, stabilisasi harga bisa terjadi. Tapi kalau enggak dan kita harus impor, ada variabel nilai tukar, anomali cuaca di negara asalnya, itu enggak bisa dikontrol. Sehingga pasti harga daging, cabe, kedelai, melonjak," ujarnya kepada merdeka.com saat bertandang ke kantor redaksi, di Jakarta, Senin (19/11).

Celakanya lagi, Indonesia terlanjur mengikuti perjanjian liberalisasi perdagangan yang akan meminimalkan hambatan tarif bea masuk impor. Sebut saja Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015 atau ASEAN-China Free Trade yang sudah berjalan sejak 2002.

Tak hanya itu, negara maritim ini sekaligus punya persoalan besar lainnya. Lantaran kondisi geografis, pintu masuk barang dari luar negeri terlalu besar, Gita menyebutnya fenomena "pelabuhan tikus". Potensi arus barang impor membludak ke Tanah Air sangat besar, dan bisa saja membunuh industri dalam negeri.

Meski sekilas nampak suram, Gita mengklaim masih ada solusi menghadang arus barang impor di era liberalisasi beberapa tahun mendatang. Caranya adalah memperbanyak varian hambatan non-tarif. Langkah ini diklaim tak akan melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

"Instrumen kita untuk memproteksi peternak, petani, industrialis dalam negeri itu non-tarif. Safeguards, dumping, subsidi, label, SNI, itu yang harus kita giatkan," ucapnya.

Masalahnya, auditor produk impor Kementerian Perdagangan yang bertugas di pelabuhan dalam negeri masih terbatas. Baru hitungan puluhan orang yang benar-benar berpengalaman dan terlatih dalam melakukan pemeriksaan non-tarif.

Sebagai perbandingan, Uni Eropa mempekerjakan 400 auditor di seluruh pelabuhan dan bandara Benua Biru untuk memantau produk impor yang masuk. "Di setiap pelabuhan mereka punya 400-500 auditor. Dia mengerti ada barang enggak sesuai, ada subsidinya nih, dumping nih, ini enggak pakai kartu garansi, di Amerika auditor seperti itu bahkan ada 700-an," ungkap Gita.

Karenanya, tahun ini pemerintah telah melatih tambahan 100 pegawai yang nantinya ditugaskan menjadi auditor komponen non-tarif.

Walau demikian, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini mengingatkan bahwa masalah Indonesia di sisi hulu mendesak dibenahi. Hal itu menurut Gita bukan wilayah kerjanya. "Saya kebetulan di hilirnya, dan amanah saya untuk menjaga stabilitas harga. Makanya beda kebijakan impor ini dari kepentingan kita melindungi petani".

Sebelumnya, ekonom dan pejabat pemerintah banyak menyuarakan perlunya pemerintah mengatasi persoalan struktural, yakni tak berjalannya industri dalam negeri sehingga terjadi ketergantungan pada barang impor. Tak cuma minyak dan gas (migas), sebagian produk non-migas juga terpaksa didatangkan dari luar negeri, misalnya barang modal dan bahan penolong.

"Meski pertumbuhan ekonomi tanah air saat ini meningkat tapi kenyataannya soal barang impor negara kita tetap tinggi," kata Menteri BUMN Dahlan Iskan pekan lalu.

Khusus komoditas pangan bergejolak, ekonom Lembaga Kajian Economy, Industry and Trade (ECONIT) Hendri Saparini menilai, sektor hilir yang diliberalisasi akan selalu mematikan hulu. Jika Kemendag kerap membuka impor dengan alasan menurunkan harga, maka petani tak kunjung sejahtera. Ujungnya, usaha lokal sulit memasok kebutuhan dalam negeri.

"Indonesia hanya pro konsumen, alasannya untuk mengendalikan harga. Mau sampai kapan kebijakan kita impor supaya inflasi turun, ketika harga pangan naik, impor lagi," kata Hendri pekan lalu.

Khusus September 2013, impor yang terdata resmi mencapai USD 15,47 miliar, naik 18,8 persen dibanding bulan sebelumnya. Arus barang dari luar negeri ini juga melonjak 0,77 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Situasi ini menyumbang defisit perdagangan triwulan III lalu mencapai USD 6,2 miliar.

Beruntung, neraca perdagangan non-migas masih surplus USD 3,4 miliar. Walau demikian, karena produk migas masih banyak didatangkan dari luar, maka defisit neraca perdagangan bakal terus terjadi sampai akhir tahun, di kisaran USD 5-6 miliar.

Seandainya impor menurun, diperkirakan tekanan pada akun neraca pembayaran bisa berkurang. Pada triwulan III lalu, defisit neraca tersebut menurut Bank Indonesia mencapai USD 2,65 miliar. (mdk/ard)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP