Benarkah Indonesia diambang krisis seperti 98?
Merdeka.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menembus level Rp 14.000 per USD mengingatkan masyarakat terhadap keadaan ekonomi pada tahun 1998. Ketakutan mulai dirasakan, bahwa zaman krisis moneter bakal terulang di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Wacana merujuk ke arah krisis bakal kembali melanda Tanah Air makin kencang. Para pakar maupun pengamat banyak yang berpikir pesimis atas kondisi ini, sekaligus mengkritik tiap kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah justru gencar mengeluarkan argumen 'penenang' yang menegaskan meski dolar menguat, namun ekonomi Indonesia tetap sehat. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sampai sewot menanggapi masalah ini.
-
Apa tugas berat seorang Menteri Keuangan? Faisal Basri menyampaikan tugas berat seorang Menkeu adalah mengelola pendapatan, mengelola pengeluaran, menyeleksi alokasi anggaran. Hingga akhirnya memastikan anggaran negara digunakan sesuai dengan tujuannya.
-
Bagaimana cara Gubernur Sumatra mengatasi inflasi? Gubernur Sumatra saat itu, Mr. Teuku Muhammad Hasan telah memberlakukan ORI sebagai alat tukar dengan kurs satu rupiah dengan seratus rupiah uang Jepang.
-
Siapa yang memimpin delegasi Kemenko Perekonomian? Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan dan Industri Singapura Gam Ki Yong memimpin delegasi masing-masing negara dan membahas beberapa poin penting.
-
Apa yang Kemendagri minta kepala daerah lakukan terkait inflasi? Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Tomsi Tohir meminta kepala daerah dengan inflasi tinggi agar mengevaluasi sejumlah upaya pengendalian yang telah dilakukan. Upaya pengendalian harus berdampak dan tak hanya bersifat seremonial.
-
Apa yang diminta Mendagri kepada Pemda terkait inflasi? Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian meminta pemerintah daerah (Pemda) agar terus memonitor perkembangan inflasi di wilayahnya masing-masing.
-
Bagaimana BNI menghadapi krisis? BNI terbukti tangguh dalam menghadapi krisis yang terjadi di tahun 1998, 2005, 2008, dan 2020. BNI melakukan berbagai transformasi bisnis digital untuk tetap bisa mengerek kinerja keuangan, salah satunya dengan membangun ekosistem digital nelayan.
Menurut dia, banyak yang tidak mengetahui secara detail kondisi perekonomian dunia serta dampaknya terhadap perekonomian nasional. Baik di pasar modal dan pasar uang.
"Itu sebabnya kemarin juga misalnya IHSG kita drop ke lima koma sekian persen tapi sore-sore membaik sedikit tiga koma persen. Kenapa? Ya itu dia. Orang tidak tahu. Kalau tidak tahu, pasang dulu nanti baru nanya ke sana ke mari," ujar Menko Darmin.
Berbeda dengan Darmin, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru merasa perlu ada sikap tegas dari pemerintah menghadapi carut marut ekonomi saat ini. SBY, sapaan akrabnya, melihat keadaan ekonomi sudah memasuki tahap waspada.
Jadi, apakah keadaan ekonomi Indonesia bakal mengulang kondisi kelam krisi seperti 1998? Berikut pandangan para pakar hingga bekas pejabat atas keadaan ekonomi saat ini:
Sudah lampu kuning
Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui memang tidak hanya Indonesia yang kondisi ekonominya terus menurun. Menurut dia, ekonomi di negara-negara di Asia juga mencapai titik level waspada.
"Negara-negara Asia harus sungguh menyadari bahwa perkembangan ekonomi sudah lampu kuning. Cegah jangan sampai merah," kata SBY dalam akun Twitternya @SBYudhoyono dikutip merdeka.com, Selasa (25/8).
SBY menyatakan, kejatuhan nilai tukar mata uang, saham gabungan dan harga minya sudah melebihi kewajaran. Makro dan mikro ekonomi, sektor keuangan dan riil telah terpukul.
"Ekonomi Asia sedang susah, cegah isu lain yang serius. Saya berharap siaga perang dan ketegangan antara Korut dan Korsel segera berakhir," tulis Ketua Umum Partai Demokrat ini.
Khusus untuk Indonesia, SBY melihat masyarakat sudah terdampak akibat kondisi ekonomi yang sedang loyo saat ini. Dia berharap pemerintah punya solusi agar rakyat miskin tidak semakin susah.
"Saya amati, untuk Indonesia, masyarakat mulai terdampak. Cegah jangan sampai makin cemas, kehilangan trust dan hidupnya makin susah. Menurut saya, manajemen krisis harus diberlakukan. Jangan underestimate dan jangan terlambat. Apalagi pasar dan pelaku ekonomi mulai cemas," lanjut SBY.
Akui saja Indonesia krisis
Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah mengakui, ekonomi Indonesia saat ini memasuki krisis. Ini menyusul rontoknya nilai tukar rupiah dan bursa saham.
"Saya ingin mengatakan pada teman-teman sekalian, pemerintah siapapun anda, inilah saatnya menunjukkan bahwa kita dalam krisis. Akui itu. Tetap dilakukan langkah terukur jangan kemudian membuat kita pada wilayah keguncangan informasi," kata Anggota Badan Anggaran DPR-RI Akbar Faisal saat rapat kerja dengan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Bappenas, dan Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (25/8).
Menurutnya, masyarakat saat ini bingung dengan situasi perekonomian Indonesia.
"Pada posisi mana sebenarnya kita harus berdiri? Ada bagian di mana optimistisme terbangun tapi pada realitas yang lain sebenarnya kita sungguh-sungguh dalam masalah," kata mantan anggota tim transisi Jokowi-JK tersebut.
Menkeu: Jauh dari krisis
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan perekonomian Indonesia masih terkendali. Meskipun rupiah dan bursa saham Indonesia rontok.
"Saya harus bilang krisis terus bubar gitu? Nggak. Kondisi masih terkendali. Tidak krisis atau jauh dari krisis," ujarnya saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR-RI, Jakarta, Selasa (25/8).
Dibanding 1998, kata Bambang, kinerja ekonomi Indonesia saat ini masih baik. Itu terlihat dari data pertumbuhan ekonomi masih positif, transaksi perdagangan surplus, dan defisit neraca transaksi berjalan menurun.
"Belum lagi perbankan, kredit macet, rasio kecukupan modal masih dalam kondisi bagus," katanya.
Dia menegaskan, pihaknya terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk mengantisipasi dampak lanjutan ekonomi global. Jika pelemahan rupiah berlanjut, pemerintah bisa mengubah asumsi nilai tukar rupiah tahun depan.
Rupiah berpotensi samai krismon 98
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai pemerintah masih terlihat santai dalam menghadapi kemerosotan rupiah. Ini lantaran, ekonomi Indonesia dianggap belum berada pada situasi genting.
Jika tak dikendalikan dengan baik, nilai tukar rupiah saat ini bisa terperosok hingga ke level seperti krisis 1998. Kala itu, ekonomi melambat dan rupiah merosot hingga Rp 15 ribu-Rp 17 ribu per dolar Amerika Serikat.
"Krisis 1998 disebabkan oleh likuiditas perbankan yang tipis, sehingga tidak mampu membiayai sektor riil dan berdampak pada meningkatnya pengangguran," ujar Enny.
"Pasti berpotensi krisis kalau rupiah terus menerus begini dan tidak ditangani. Bagaimana menahan rupiah agar tidak mempunyai implikasi terhadap daya beli serta penurunan investasi, itukan yang paling penting dan itu kan bisa dilakukan."
Ekonomi sudah tidak masuk akal
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar Rupiah merupakan sentimen yang tidak masuk akal. Bahkan, pelemahan tersebut bukan mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia.
"Kondisi sekarang sudah irasional, yang terjadi sekarang enggak mencerminkan fundamental dan lebih berdasarkan pada sentimen berlebihan," ujar dia di Kantornya, Jakarta, Jumat (21/8).
Menteri Bambang menegaskan sentimen berlebihan ini muncul karena adanya kekhawatiran perang mata uang yang terjadi dunia, harga minyak yang akan turun serta spekulasi Amerika Serikat (AS) akan menaikkan suku bunganya.
"Ini berimbas ke semua, harga saham di AS saja jatuh, semua bursa kena, karena keadaan irasional itu," kata dia.
Untuk itu, pemerintah bakal terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia guna memantau perkembangan pasar keuangan saat ini.
"Setiap hari kami koordinasi. Pokoknya kalau ada kekhawatiran pasti ada cover meeting di FKSSK," pungkas dia.
Ekonomi dalam keadaan bahaya
Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Dr Joubert Maramis ikut komentar terkait pelemahan nilai tukar Rupiah yang terjadi belakangan ini. Menurutnya, melemahnya nilai tukar Rupiah hingga mencapai Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (USD) telah menjadi tanda bahaya bagi perekonomian Indonesia.
"Kurs Rupiah yang mencapai Rp 14.000 per USD, sudah bahaya bagi perekonomian Indonesia karena perekonomian internasional, kita defisit pada transaksi barang dan modal," kata Joubert seperti dilansir Antara, Selasa (25/8).
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menurut pemerintah, deflasi saat ini dipengaruhi oleh penurunan permintaan pasar global akibat konflik internasional.
Baca SelengkapnyaPresiden Joko Widodo (Jokowi) meminta publik memeriksa betul apa penyebab dari deflasi tersebut.
Baca SelengkapnyaKenaikan inflasi pada sektor transportasi turut memperburuk daya beli masyarakat.
Baca SelengkapnyaKala itu, permasalahan ekonomi muncul akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi perpolitikan saat itu.
Baca SelengkapnyaPemerintah perlu memberikan bantuan bagi kelas menengah untuk mendorong daya beli kelompok masyarakat itu kembali bangkit.
Baca SelengkapnyaPer Agustus 2024, posisi utang Indonesia berada di angka Rp8.461,93 triliun, setara dengan 38,49 persen dari PDB.
Baca SelengkapnyaMendag Zulkifli Hasan menjelaskan, ekonomi Indonesia tetap melanjutkan tren pemulihan.
Baca SelengkapnyaKenaikan PPN menjadi 12 persen ini akan berdampak pada meroketnya harga berbagai barang.
Baca SelengkapnyaMegawati mengingatkan pemerintah mengenai ancaman krisis pangan ke depan.
Baca SelengkapnyaDengan bonus demografi yang tengah dimiliki Indonesia serta keharusan Indonesia segerakeluar dari middle income trap.
Baca SelengkapnyaAda beberapa isu yang menjadi perhatian pemerintah di tahun 2024.
Baca SelengkapnyaLaju inflasi masih terjaga, hanya saja tren deflasi akan mengganggu daya beli masyarakat.
Baca Selengkapnya