Impor konsumsi naik tanda turunnya daya saing produk dalam negeri
Merdeka.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor Indonesia mencapai USD 13,36 miliar pada Maret 2017. Angka ini meningkat 17,65 persen ketimbang Februari lalu USD 11,35 miliar. Nilai impor USD 13,36 miliar di Maret ini merupakan nilai impor bulanan tertinggi sejak Januari 2015.
Impor nonmigas tercatat naik 24,94 persen menjadi USD 11,10 miliar dibanding bulan sebelumnya USD 8,88 miliar. Penyumbang kenaikannya berasal dari impor ponsel, plastik sampai kapal laut.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, kenaikan impor yang cukup tinggi terutama ditandai naiknya impor konsumsi, bisa jadi menjadi tanda turunnya daya saing produk dalam negeri.
-
Kenapa impor tekstil dari China meningkat? Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan menyebut perang dagang antara kedua negara itu menyebabkan over kapasitas dan over supply di China, yang justru malah membanjiri Indonesia.
-
Mengapa Indonesia surplus perdagangan dengan Malaysia? 'Kalau dihitung bulan, lebih dari 48 bulan kita surplus terus, Alhamdulillah,' ucap Didi Sumedi Sidoarjo saat melepas ekspor perdana produk kosmetik PT Wahana Kosmetika Indonesia (WKI) ke Malaysia.
-
Kapan impor kedelai Indonesia mencapai 2,32 juta ton? Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang tahun 2022 mencapai 2,32 juta ton atau nilainya setara dengan USD 1,63 miliar.
-
Bagaimana nilai pasar timnas meningkat? Total nilai pasar starting XI Skuad Indonesia bisa melampaui Rp350 miliar dengan kehadiran kedua pemain ini.
-
Kenapa merek mobil China masuk ke Indonesia? Produsen mobil China kini memperluas pasarnya ke berbagai negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
-
Kapan Tiongkok menjadi investor terbesar kedua di Indonesia? Tercatat pada 2013 lalu, Tiongkok sudah menempati urutan 12 kontributor penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. Posisi ini berubah di tahun 2022 di mana negara tersebut sudah berada di urutan kedua.
Pernyataan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan, yang menyebut kenaikan impor positif lantaran disokong kenaikan impor bahan baku dinilai kurang tepat. Sebab, impor bahan baku dan bahan penolong masih sedikit. Impor masih didominasi barang konsumsi, terutama dari China dengan kontribusi lebih dari 25 persen dari total impor.
Kondisi ini, menurut Enny cukup berbahaya jika terus dibiarkan. Apalagi di saat bersamaan, kinerja industri dalam negeri menunjukkan indikasi penurunan belum recovery. Di sisi lain, dalih pemerintah yang menyebut bahwa impor naik juga lantaran persiapan menyambut Ramadan dan Lebaran, juga tidak tepat karena barang yang masuk tidak berkorelasi dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas harga terutama sektor pangan selama Lebaran dan Ramadan yang selama ini jadi fokus pemerintah.
"Oke untuk antisipasi Lebaran, pertanyaannya nanti bagaimana stabilitas harga apakah signifikan tidak. Menjelang Ramadan itu untuk stabilitas harga impornya bukan dari China, tapi dari Thailand, atau Vietnam. Sementara ini mayoritas dari China, jangan-jangan salah kebijakan lagi," ucap Enny di Jakarta, Selasa (25/4).
Kenaikan impor dari China saat ini cukup tinggi. Porsi negara ini mencapai 25 persen dari total impor Indonesia. Sementara, total impor dari ASEAN hanya 20 persen. Enny juga menyoroti kenaikan signifikan mencapai 343 persen lebih untuk kategori kapal laut dan bangunan terapung.
Kenaikan ini tentu saja memunculkan tanda tanya besar karena diduga kenaikan fantastis itu berkaitan dengan impor kapal bekas. Padahal, kenaikan impor kapal jelas memukul industri galangan kapal nasional.
"Per definisi, bangunan terapung itu juga tidak jelas, apa yang dimaksud bangunan terapung. Kita curiga lonjakan impor drastis itu berkaitan impor kapal bekas, ini kan aneh, padahal pemerintah mendorong industri galangan kapal," tegas Enny.
Dengan fakta itu, sejatinya kenaikan impor bukan berita bagus. Kalau pun ada kenaikan impor seperti peralatan mesin, peralatan listrik, hingga besi dan baja, memang bisa dikaitkan dengan menggeliatnya infrastruktur. Tetapi, tetap saja, kenaikan impor itu dinikmati oleh negara lain karena menggerogoti devisa.
"Misal pelabuhan kita akan disinggahi kapal besar, boleh saja dihubungkan dengan biaya logistik, tapi orang sering lupa, yang turun itu bukan biaya antar pulau namun barang impornya yang makin murah, kompetitif. Tidak ada yang bisa dibanggakan," tutupnya.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Penurunan nilai impor secara bulanan ini didorong oleh nilai impor non migas.
Baca SelengkapnyaKontribusi China dalam impor non-migas Indonesia sedikit meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu dari 35,20 persen menjadi 35,91 persen.
Baca SelengkapnyaTak bisa dipungkiri, China merupakan negara mitra dagang terbesar Indonesia.
Baca SelengkapnyaDengan murahnya barang impor itu, banyak pelanggan beralih. Alhasil, semakin banyak produk impor yang masuk ke Indonesia berdasarkan pada permintaan tadi.
Baca Selengkapnyapenurunan PMI Manufaktur ini tergambar dari pelemahan tingkat daya beli masyarakat, khususnya pada kelompok kelas menengah untuk kebutuhan sekunder/tersier.
Baca SelengkapnyaImpor migas mencapai USD 2,65 miliar atau turun 25,56 persen secara bulanan,
Baca SelengkapnyaRealisasi ekspor pada Oktober ini justru mengalami penurunan sebesar 10,43 persen jika dibandingkan pada Oktober 2022.
Baca SelengkapnyaChina merupakan salah satu dari 3 negara yang jadi mitra dagang utama RI.
Baca SelengkapnyaKinerja sektor manufaktur Indonesia justru mengalami penurunan di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diklaim tetap kuat.
Baca SelengkapnyaImpor non migas mencapai USD16,10 miliar ini juga mengalami kenaikan sebesar 4,08 persen.
Baca SelengkapnyaPemerintah China memiliki dukungan yang penuh kepada para pelaku usahanya.
Baca SelengkapnyaImpor barang modal mengalami persentase penurunan terdalam yaitu turun sebesar 10,51 persen.
Baca Selengkapnya