Indonesia Masuk Resesi, Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah
Merdeka.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen secara year on year (yoy/tahunan) dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Angka minus ini menyusul pertumbuhan yang juga negatif di kuartal II, sebesar (minus) -5,32 persen.
Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, kondisi perlambatan ekonomi saat ini sebenarnya sudah dirasakan sejak beberapa tahun lalu.
Indikasinya adalah target pertumbuhan ekonomi yang selalu tidak tercapai. Terlebih ketika kemudian terjadi pandemi covid-19 dan diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dia mengaku sudah bisa memastikan pertumbuhan ekonomi akan semakin terpukul.
-
Bagaimana pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II-2023? “Bila dibandingkan dengan triwulan II-2022 atau secara year on year tumbuh sebesar 5,17 persen,“ kata Deputi Bidang Neraca dan Analis Statistik BPS Moh Edy Mahmud saat Konferensi Pers di Jakarta, Senin.
-
Apa pertumbuhan ekonomi RI di Kuartal II-2023? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
-
Kenapa pertumbuhan ekonomi RI di Kuartal II-2023 lebih tinggi? “Pertumbuhan ekonomi kita secara kuartal (q-to-q) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang ini sejalan dengan pola yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, yaitu pertumbuhan triwulan II selalu lebih tinggi dibandingkan di triwulan I,“ terang Edy.
-
Apa yang BPS infokan tentang Indonesia di bulan September 2024? 'Deflasi yang terjadi di bulan September 2024 ini lebih signifikan dibandingkan dengan bulan Agustus 2024, dan ini merupakan deflasi bulanan kelima yang terjadi sepanjang tahun 2024,' jelas Plt. Kepala BPS, Amalia A. Widyasanti, dalam siaran pers yang dirilis pada Selasa, 1 Oktober 2024.
-
Kapan deflasi di Indonesia terjadi? Badan Pusat Statistik (BPS) menginformasikan bahwa Indonesia mengalami deflasi lagi pada bulan September 2024.
-
Bagaimana deflasi dihitung oleh BPS? BPS mencatat bahwa pada bulan tersebut, terjadi deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan, yang menyebabkan penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 di bulan Agustus 2024 menjadi 105,93 di bulan September 2024.
"Jadi kami sudah tidak risau dengan istilah-istilah seperti resesi yang merujuk pada perlambatan ekonomi. Kami sudah menilai dan antisipasi sejak beberapa tahun lalu," ucapnya, Kamis (12/11).
Sejak melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara menyeluruh mengalami penurunan yang ditandai dengan penurunan harga komoditas di pasar internasional dan tidak tercapainya target pertumbuhan pajak, menurut Hendrawan, pihaknya sudah mendesak pemerintah untuk melakukan beberapa tindakan strategis.
Yang pertama adalah, agar Pemerintah membuat perencanaan pembangunan yang lebih realistis sejak 2-3 tahun silam. Kedua, Pemerintah harus membuat kebijakan ekonomi uang yang bersifat anti cyclical/ countercyclical/antisiklik (menantang arah angin ) dalam bentuk kebijakan fiskal yang lebih agresif di mana pemerintah harus turun tangan menjadi pelaku ekonomi.
"Itu yang lebih penting bagi pemerintah, dan kami sudah wanti-wanti kepada Kepala Bappenas, OJK, Gubernur BI untuk benar-benar menerapkan kebijakan anti siklik," ujarnya.
Namun dalam perjalanan waktu, ekonomi yang sudah melambat itu ternyata kembali mendapatkan pukulan yang lebih keras ketika terjadi pandemic Covid-19. Kejadian luar biasa ini tidak hanya memberi efek pada satu sisi, supply atau demand saja seperti dalam perlambatan biasa, namun memukul dua sisi sekaligus yaitu supply dan demand.
Kondisi ini lah yang mendorong DPR menerima Perpu 1/2020 yaitu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi Undang-undang Nomor 2/2020 dan menyetujui program pemulihan sebesar Rp695,2 triliun.
Di Bawah Garis Kemiskinan
Hendrawan menyebut, saat ini ada 9,6 persen masyarakat di bawah garis kemiskinan, yang kalau dipecah lagi ada 3,6 persen di antaranya berada titik kemiskinan ekstrim dengan pendapatan per kapita di bawah 1,9 $AS/hari.
Pertimbangan inilah yang membuat DPR setuju dengan semua rencana Pemerintah, dan tidak berdebat lagi termasuk terhadap APBN Perubahan yang ditetapkan melalui Perpres 72/2020.
"Memang kami jadi menuruti apa yang dimaui Pemerintah karena kondisi, dan juga karena permintaan presiden. Kalau kondisi normal, tidak mungkin," tegasnya.
"Kalau tidak ada kondisi itu, pasti kami menolak karena di sana untuk sementara politik anggaran yang merupakan peran penting DPR diambil alih sepenuhnya oleh Pemerintah. Kami jadi seperti memberi Sri Mulyani (Menteri Keuangan--Red) cek kosong, sehingga dalam waktu pendek utang melejit luar biasa," sambungnya lagi.
Sebagai syarat atas persetujuan tersebut, lanjut Hendrawan, DPR juga sudah meminta kepada Pemerintah agar mengeksekusi program-program yang sudah disetujui dengan baik. Namun kenyataannya, sampai minggu pertama November ini, realisasi anggaran baru terlaksana 55 persen, padahal waktu yang tersisa tinggal 1,5 bulan sampai akhir tahun anggaran 2020.
Senada dengan suara DPR, akademisi juga memberi saran kepada Pemerintah untuk mengambil peran lebih besar, guna menjaga agar konsumsi masyarakat tetap terjaga.
Jelang terakhir 2020 ini, menurut Rektor Unika Atmajaya Agustinus Prasetyantoko, jika ada pos-pos belanja yang tidak maksimal, mestinya dialihkan ke pos yang memiliki kebutuhan lebih tinggi. Misalnya dialihkan ke pos bantuan sosial bilamana bujet di pos ini sudah habis.
"Tindakan seperti ini akan sangat membantu menaikkan permintaan masyarakat menengah ke bawah agar konsumsi mereka tetap terjaga," ujar Agus.
Sebaliknya kepada masyarakat, dia berharap kendati isu utama tetap mengenai masalah kesehatan, namun belanja konsumsi juga harus mulai dilakukan. Untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, tegasnya, mau tak mau hal ini harus distimulasi pemerintah melalui bantuan sosial.
Sementara untuk masyarakat menengah ke atas, dia berharap mereka mulai berani belanja di sektor leasure. Hal ini sudah mulai bisa dilakukan karena menurutnya ekonomi Indonesia mulai menunjukkan pemulihan yang ditunjukkan dari angka kontraksi ekonomi yang mulai mengecil, dibandingkan kuartal kedua kemarin.
Sejumlah indikator ekonomi juga sudah memperlihatkan perbaikan seperti belanja pemerintah yang terlihat positif. Dan di balik kesulitan ini, Prasetyantoko melihat ada momentum bagus bagi Pemerintah untuk menjadikan digital ekonomi sebagai backbone perbaikan. Misalnya melakukan penyaluran bantuan social melalui teknologi finansial (fintech).
"Memang sudah ada, tapi belum intensif. Kalau sektor ini dimanfaatkan, akan menjadi fase baru ekonomi kita," tandasnya.
Sumber: Liputan6.com
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Indef menilai, ada perubahan pola konsumsi masyarakat yang mempengaruhi ekonomi.
Baca SelengkapnyaMenurut asumsi pemerintah, Indeks Keyakinan Konsumen masih tumbuh positif untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi.
Baca SelengkapnyaTren perlambatan ini menjadi perhatian mengingat kondisi ekonomi global yang masih penuh tantangan, seperti ketidakpastian pasar dan perlambatan.
Baca SelengkapnyaPertumbuhan ekonomi RI pada kuartal III-2023 sebesar 4,94 persen (yoy), lebih rendah dari periode yang sama di tahun 2022 sebesar 5,17 persen.
Baca SelengkapnyaJumlah kelas menengah ini turun menjadi kelompok menuju ke kelas menengah
Baca SelengkapnyaSektor konsumsi dan sektor perdagangan jadi faktor lambatnya pertumbuhan ekonomi di semester II tahun 2024.
Baca SelengkapnyaPertumbuhan ekonomi kuartal II-2024 diramal tumbuh 5,11 persen.
Baca SelengkapnyaSri Mulyani menyebut, hal ini juga sejalan dengan tingkat inflasi global yang diperkirakan masih tinggi di tahun 2024.
Baca SelengkapnyaSri Mulyani menjelaskan, dari sisi komponen, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan kuartal II-2024.
Baca SelengkapnyaPertumbuhan ekonomi di kuartal II-2024 hanya 5,05 persen, lebih rendah dari capaian kuartal I-2024 di angka 5,11 persen.
Baca SelengkapnyaPasar keuangan yang tidak pasti diprediksi bisa memperlambat ekonomi dunia.
Baca SelengkapnyaAPBN pada Juli mengalami defisit Rp93,4 triliun atau 0,41 persen dari PDB.
Baca Selengkapnya