Nasib Industri Tekstil RI di Tengah Gempuran Produk Impor
Merdeka.com - Gempuran produk impor seolah tak bisa terelakkan lagi di Indonesia. Tak jarang impor ini berbenturan dengan industri dalam negeri. Salah satunya gempuran produk impor tekstil.
Pada semester I-2019, ekspor pakaian jadi mencapai USD 3,6 miliar, sementara impornya USD 394 miliar. Secara total, ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia senilai USD 6,4 miliar dan impornya USD 4,6 miliar.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Muhdori mengatakan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu sektor andalan karena memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional. Apalagi, industri TPT merupakan sektor yang tergolong padat karya dan berorientasi ekspor.
-
Gimana caranya Kemendag lindungi industri tekstil? Yaitu melalui pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard.
-
Apa aja produk tekstil impor yang Kemendag selidiki? Produk-produk tersebut di antaranya pakaian dan aksesori pakaian, kain, tirai, karpet, benang stapel, filamen benang (yarn), ubin keramik, evaporator kulkas dan pembeku (freezer), baja, kertas, lysine, pelapis keramik, dan plastik kemasan.
-
Kenapa impor tekstil dari China meningkat? Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan menyebut perang dagang antara kedua negara itu menyebabkan over kapasitas dan over supply di China, yang justru malah membanjiri Indonesia.
-
Apa kontribusi besar UMKM terhadap ekonomi nasional? Jadi kalau melihat data ini UMKM kita ini sumbangsinya terhadap ekonomi nasional kita sangat besar. Bayangkan 97 persen tenaga kerja ini di-supply dari UMKM kita,' ucapnya.
-
Bagaimana Kemendag mendorong ekspor produk Tanah Air? 'Pemerintah pusat akan terus mendorong ekspor produk Tanah Air ke luar negeri seperti ini. Inikan hasil komunikasi kerja antara produsen dalam hal ini WKI dengan Pak Susanto Lee (Direktur Distributor Kara Marketing Malaysia) dengan atase kami Pak Deden di Malaysia, yang terus bekerja untuk mencarikan pasar di Malaysia, dan kami akan berniat merambah ke pasar Brunei, Vietnam, dan beberapa negara ASEAN lainnya,' ucap Didi Sumedi.
-
Kenapa TD Pardede memilih bisnis tekstil? Kemudian dia beralih menjadi pengusaha tekstil. Sebab, saat itu masyarakat Indonesia kebanyakan hanya memakai kaus singlet. Pardede kemudian mendirikan pabrik yang memproduksi singlet.
Lalu bagaimana nasib industri tekstil dalam negeri di tengah gempuran produk impor.
9 Perusahaan Tekstil Gulung Tikar
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut bahwa setidaknya ada sembilan perusahaan tekstil terpaksa menutup usahanya dalam kurun 2018-2019 karena produk kain impor yang membanjir. Di antaranya di sektor menengah, seperti pemintalan, pertenunan, dan rajut.
Ketua Umum API, Ade Sudrajat menjelaskan, besarnya volume produk impor kain membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sulit bersaing karena harga kain impor yang lebih murah.
"Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat ada sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja)," kata Ade pada diskusi di Menara Kadin, Jakarta, Senin (9/9).
Kalah Harga
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta menilai produk lokal jelas akan kalah oleh produk impor. Sebab barang impor tersebut harganya jauh lebih murah.
Dia menegaskan, industri tekstil Tanah Air baik hulu, tengah maupun hilir harus dilindungi. Sebab industri tersebut menyangkut hidup banyak orang karena melibatkan banyak tenaga kerja di dalamnya.
Untuk itu dia berharap pemerintah segera melakukan langkah-langkah untuk melindungi keberlangsungan industri tekstil lokal. Salah satunya mendorong perbankan memberikan bunga rendah bagi industri tekstil. Sebab industri tekstil lokal saat ini banyak yang sudah harus melakukan peremajaan mesin.
Sepi Orderan
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G Ismy mengungkapkan alasan perusahaan yang gulung tikar di antaranya adalah karena sepinya orderan yang masuk.
"Kita kemarin hanya mengumpulkan ada beberapa perusahaan yang me-rasionalisasi karyawan, ada 300 ada 75, itu 2017-2019. Alasannya ada yang order sepi, izin susah. Karena begitu order kurang, mesin mati ya rasionalisasi," kata dia.
Adapun sepinya orderan tersebut, kata dia, selain serbuan barang impor juga karena adanya perubahan perilaku konsumen. Saat ini, masyarakat tidak terlalu konsumtif di bidang sandang.
"Banyakan beli pulsa dari beli baju, konsumen kan sekarang daya beli menurun, dia beli yang primer saja, baju cukup setahun 2 kali, tapi kalau sekolah kan harus, kita ngeri karena saat tekstil menurun, daya beli habis, itu dia, itu yang kita khawatirkan," ujarnya.
Pertumbuhan Industri Tekstil Masih Tinggi
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian, Muhdori mengatakan, pertumbuhan industri tekstil di Indonesia masih tinggi. Bahkan, pertumbuhan tekstil Indonesia adalah yang terbaik setelah makanan dan minuman.
Penyerapan tenaga kerja di industri tekstil serta kontribusinya terhadap PDB juga masih tertinggi di antara komoditas manufaktur. Jika ada perpindahan bisnis tekstil seperti dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, maka itu adalah hal biasa dalam bisnis.
Sementara itu, terkait adanya perusahaan yang berhenti berproduksi, menurutnya itu belum tentu permanen. "Misalkan ada beberapa perusahaan yang memang menghentikan atau mengurangi produksi. Itu kan faktornya tidak hanya satu masalah, tetapi ada masalah-masalah yang lain. Tetapi bukan berarti yang dia berhenti itu akan berhenti seterusnya," imbuhnya.
Strategi Pemerintah
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pihaknya akan mendorong agar perlindungan perdagangan dari banjirnya serbuan produk impor atau safeguard segera rampung. Hal tersebut untuk menghalau impor tekstil dari luar negeri yang kini mulai membanjiri pasar dalam negeri.
"Safeguard kami akan dorong karena itu harmonisasi, karena sekarang impor dari tekstil itu tinggi sekali dan itu impornya di tengah, jadi antara hulu kemudian di tengah kemudian ke hilir," ujarnya di Kantor Kementerian bidang Kemaritiman, Jakarta, Selasa (10/9).
Dia melanjutkan, kondisi saat ini ekspor tekstil mengalami peningkatan ke sejumlah negara. Namun, ada persoalan di tengah produksi terkait komponen tekstil yang didatangkan dari negara lain. Adapun tiga industri yang paling menderita adalah industri kain, benang dan printing.
"Dari ekspor di hilir sih meningkat, jadi persoalannya di tengah. Tengah itu masuk ke kain, benang, printing. Nah tiga industri itu yang coba kami revitalisasi. Sebagian (tekstil) kalah karena teknologinya lama sekali. Dia tidak melakukan revitalisasi permesinan tetapi kalau yang revitalisasi permesinan mereka cukup bagus," tandasnya.
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tetapi sangat disayangkan sekali dalam konteks 5 subsektor industri, hirilisasi pertambangan masih mendapatkan fokus yang lebih berat.
Baca SelengkapnyaPemerintah diharap bersikap responsif serta tepat sasaran, sehingga sektor padat karya tekstil ini bisa bertahan menghadapi turbulensi ekonomi.
Baca SelengkapnyaMasuknya barang impor tekstil dan produk tekstil (TPT) menghambat pertumbuhan pasar dalam negeri.
Baca SelengkapnyaSri Mulyani menyebut anjloknya kinerja tekstil domestik dan PHK massal akibat dari serbuan barang impor.
Baca SelengkapnyaKementerian Perindustrian menawarkan tiga strategi agar industri tekstil dalam negeri tetap bangkit.
Baca SelengkapnyaAturan ini memberikan kesempatan industri TPT domestik untuk bangkit dan bersaing dengan produk impor legal.
Baca SelengkapnyaIndustri tekstil terus menurun karena produk impor ilegal yang membanjiri pasar dalam negeri.
Baca SelengkapnyaZulhas menyebut, bahwa tren kebangkrutan industri tekstil dalam beberapa waktu terakhir tidak berkaitan dengan Permendag 8 2024.
Baca SelengkapnyaPelaku IKM tekstil sudah kehabisan napas terhadap maraknya impor pakaian bekas (thrifting) yang membanjiri pasar Tanah Air.
Baca SelengkapnyaLonjakan impor pada Mei 2024 menunjukkan adanya tantangan dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri dengan perlindungan produsen dalam negeri.
Baca SelengkapnyaHarga produk impor lebih murah dengan kualitas yang hampir setara, membuat produk lokal kalah saing di pasar dalam negeri.
Baca SelengkapnyaPihaknya turut mengapresiasi langkah yang diambil Kementerian Perindustrian yang dengan tegas menginginkan pembatasan impor kembali.
Baca Selengkapnya