Pemerintah diminta waspada, nilai Rupiah berpotensi Rp 15.000 samai saat krisis 1998

Merdeka.com - Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, memperkirakan depresiasi Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) masih akan terus berlanjut. Bahkan, menurut dia, Rupiah bisa melemah hingga menyentuh Rp 15.000 per USD.
"Mungkin saja, tetapi belum akan memicu krisis," kata dia saat dihubungi merdeka.com, Jumat (31/8).
Meskipun demikian, pemerintah harus tetap mewaspadai berlanjutnya pelemahan Rupiah. Sebab, jika benar Rupiah keok ke level Rp 15.000 per USD, maka yang paling besar terdampak adalah psikologi pasar dan masyarakat.
Sebab, pasar maupun masyarakat tentu akan membandingkan dengan depresiasi Rupiah di tahun 1998 yang juga mencapai Rp 15.000. Meski keadaan makro ekonomi saat ini amat berbeda, tapi psikologi pasar maupun masyarakat akan tetap tergoncang.
"Kita harus waspada terhadap faktor ekspektasi yang semakin liar ketika itu masuk ke level psikologis 15.000. Iya betul (seperti tahun 1998)," jelasnya.
Dia mengatakan depresiasi Rupiah ke Rp 14.700 tidak terlepas dari pengaruh eksternal, seperti faktor ekspektasi negatif terkait kondisi ekonomi Argentina dan Turki sebagai sesama negara berkembang, yang sudah mengalami krisis.
"Tekanan semakin berat karena tampaknya The Fed akan menaikkan suku bunganya juga. Namun, depresiasi Rupiah year to date masih berada di bawah 10 persen. Masih tergolong wajar meski harus waspada. Tekanan lain adalah dari current account deficit," kata dia.
Sementara Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira pun memprediksi rupiah masih akan melemah terhadap Dolar. Depresiasi Rupiah diperkirakan ada di kisaran Rp 14.650 hingga Rp 14.730.
"Krisis mata uang di Argentina dikhawatirkan berdampak sistemik pada negara fragile five atau negara yang rentan terpapar guncangan global lainnya termasuk Indonesia. Soal krisis Argentina ini memiliki kesamaan dengan Turki," jelasnya kepada merdeka.com.
Meskipun demikian, menurut dia, kondisi makro ekonomi Indonesia masih jauh lebih sehat jika dibandingkan dengan kedua negara tersebut.
"Beberapa indikator kesehatan moneter dan fiskal Indonesia, Argentina dan Turki memiliki beberapa kesamaan meskipun kondisi Indonesia sedikit lebih baik. Misalnya soal CAD Indonesia 3 persen, smntara Turki 5,9 persen dan Argentina 4,7 persen," imbuhnya.
"Tiga negara itu sama-sama menderita defisit transaksi berjalan. Kemudian dari sisi defisit anggaran Indonesia ditargetkan 2,2 persen pada 2018 sementara Turki 2,8 persen dan Argentina 5,3 persen," tandas Bhima.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya