Pemerintah tak perlu turuti saran IMF dan Bank Dunia
Merdeka.com - Jelang akhir tahun, ramai muncul proyeksi ekonomi 2014. Pelbagai lembaga, dari dalam maupun luar negeri, melansir prediksinya masing-masing. Kebanyakan bernada cukup pesimis memandang nasib negara berkembang.
Alasan utamanya, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) bersiap mengakhiri paket stimulus moneter di pasar-pasar keuangan global.
Alhasil, pelaku pasar manapun sulit menemukan sumber dana murah yang selama ini mengalir dari ke negara seperti India, Brasil, dan tak terkecuali Indonesia selama dua tahun terakhir.
-
Kenapa minat investor asing menurun di sektor keuangan Indonesia? Menurunnya minat investor asing terhadap sektor keuangan Indonesia disebabkan oleh sentimen peningkatan yield surat utang di Amerika Serikat dan tren suku bunga tinggi di sejumlah bank sentral negara maju. Akibatnya, kebutuhan likuiditas pemerintah dan pelaku usaha akan menjadi sangat kompetitif dan berbiaya mahal,' ucap Said.
-
Mengapa Indonesia surplus perdagangan dengan Malaysia? 'Kalau dihitung bulan, lebih dari 48 bulan kita surplus terus, Alhamdulillah,' ucap Didi Sumedi Sidoarjo saat melepas ekspor perdana produk kosmetik PT Wahana Kosmetika Indonesia (WKI) ke Malaysia.
-
Kenapa Menko Perekonomian mendorong IEU-CEPA? Kata dia, IEU-CEPA instrumen penting untuk memperluas akses pasar dan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Uni Eropa.
-
Apa target pertumbuhan ekonomi Indonesia? Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan Pemerintah menyepakati target sasaran pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 mendatang berada pada rentang 5,3 persen sampai 5,6 persen.
-
Kenapa Presiden Jokowi mengajak investor Tiongkok berinvestasi di Indonesia? Mengingat sejumlah indikator ekonomi di Indonesia menunjukkan capaian positif, antara lain pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen, neraca dagang yang surplus 41 bulan berturut-turut, Purchasing Manager Index (PMI) berada di level ekspansi selama 25 bulan berturut-turut, dan bonus demografi.
-
Bagaimana Kemendag mendorong ekspor produk Tanah Air? 'Pemerintah pusat akan terus mendorong ekspor produk Tanah Air ke luar negeri seperti ini. Inikan hasil komunikasi kerja antara produsen dalam hal ini WKI dengan Pak Susanto Lee (Direktur Distributor Kara Marketing Malaysia) dengan atase kami Pak Deden di Malaysia, yang terus bekerja untuk mencarikan pasar di Malaysia, dan kami akan berniat merambah ke pasar Brunei, Vietnam, dan beberapa negara ASEAN lainnya,' ucap Didi Sumedi.
Kebanyakan proyeksi menangkap sinyal Indonesia bakal melesu tahun depan, dengan faktor tak cuma perkara stimulus.
Bank Dunia mengatakan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air pada 2014 paling mentok 5,3 persen. Realisasi investasi melambat, khususnya untuk komoditas mesin dan alat berat.
Dana Moneter Internasional (IMF) senada, turut memvonis bahwa penyakit kronis Indonesia belum bisa sembuh pada 2014. Yaitu defisit akun neraca berjalan serta neraca perdagangan yang memicu nilai tukar Rupiah anjlok mulai empat bulan lalu sampai sekarang.
Kebetulan, IMF dan Bank Dunia sangat getol memberikan saran buat pemerintah Indonesia. Keduanya aktif mempresentasikan pandangan mereka soal kebijakan yang perlu diambil, supaya persoalan ekonomi tahun depan bisa dilalui lebih mulus.
Bank Dunia menggelar seminar di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) awal pekan ini. Disusul kemudian jumpa pers IMF di Bank Indonesia, kemarin, Selasa (17/12).
Meski dikemas dengan bahasa berbeda-beda, dua lembaga kondang itu memberi resep yang sama buat pemerintah: perbaiki persoalan struktural ekonomi di Tanah Air. Indonesia wajib mengatasi ketergantungan pada impor yang selama ini bikin defisit akun pembayaran, sehingga kurs anjlok.
Dalam perspektif Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop, tak ada jalan lain, kecuali pemerintah harus semakin ramah pada investor asing. Dari analisisnya, negara ini bahkan masih kekurangan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA).
Dia pun mengusulkan cara jitu, supaya investor asing kembali bergairah menanamkan modal di Indonesia dan menggerakkan perekonomian. Kalau perlu, keran impor juga tak perlu dibatasi.
"Ada beberapa hal yang harus dibenahi untuk menopang PMA. Misalnya merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI-red)," kata Diop.
Tak lama sesudahnya, Deputi Senior IMF Benedict Bingham menyatakan pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) wajib dijalankan segera. Namun itu tak cukup, karena harga komoditas dunia dirasa masih stagnan. Sehingga produk-produk primer unggulan Indonesia, seperti pertanian dan hasil pertambangan, perlu segera dialihkan ke sektor manufaktur. "Harga komoditas yang turun tidak dapat mengimbangi impor Indonesia," ujar Bingham.
Bagi Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir, saran-saran dari IMF dan Bank Dunia sebetulnya tidak baru. Secara prinsipil, dia membenarkan bahwa masalah struktural perekonomian di dalam negeri wajib dibenahi.
Cuma, caranya tak dengan menggenjot PMA dan mengurangi hambatan impor seperti diutarakan Bank Dunia. Langkah itu, kata Revrisond, sampai kapanpun hanya akan menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi para investor asing.
Dia lantas mengelaborasi pendapat Bank Dunia dan IMF, yang menurutnya bermuara pada saran serupa sehingga patut diwaspadai.
"Saran-saran itu saya kira agak berbahaya. Walaupun kita masuk ke manufaktur, tapi kalau kita bergantung dengan modal asing, yang akan terjadi, yang diincar hanya pasar dalam negeri dengan bahan-bahan baku yang justru diimpor," ujarnya kepada merdeka.com tadi malam.
Hal itu terkonfirmasi dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Selama tiga tahun ini, seiring dengan lonjakan PMA, impor Indonesia didominasi barang modal dan baham baku.
Pakar koperasi akrab disapa Soni itu membantah pernyataan ekonom Bank Dunia yang membela hobi impor pemerintah. Diop sebelumnya mengatakan pola impor Indonesia masih aman dengan acuan proporsi volumenya sangat rendah dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB).
Dari penilaian Revrisond, kunci peralihan ke manufaktur yang paling sehat berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sebab, kemungkinan untuk memanfaatkan barang modal dan bahan baku dari Indonesia saja tanpa perlu mengimpor jauh lebih besar.
"Kalau mau benar-benar mengatasi defisit neraca berjalan memang harus ekspor, tapi harus diusahakan berbasis sumber daya lokal," tegasnya.
Revrisond pun mengkritik pemerintah yang melulu mengajak masyarakat percaya bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi penting. Dia yakin tidak ada korelasi antara pertumbuhan di atas 6 persen yang didengung-dengungkan selama ini, dengan penciptaan lapangan kerja, atau penguatan industri dalam negeri.
Justru, jika berniat mengatasi masalah struktural tanpa mengikuti saran IMF atau Bank Dunia, pemerintah menurutnya wajib berkorban. Caranya, memangkas pertumbuhan, dan mengalihkan alokasi anggaran menggenjot sektor riil, yang berbasis dalam negeri.
Dia yakin, PMA seperti dibayangkan Bank Dunia, tidak akan pernah tertarik bila diminta menghentikan kebiasaan impor bahan penolong dan bahan baku, lalu menggantinya dari Indonesia.
"Saya tidak pernah tertarik dengan isu pertumbuhan ekonomi, karena yang penting kualitasnya. Biarlah pertumbuhan tidak terlalu tinggi, tapi punya efek memicu tenaga kerja lebih besar di masa mendatang," kata Revrisond. (mdk/ard)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam penerapan ekonomi hijau.
Baca Selengkapnyatetap tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR).
Baca SelengkapnyaPenerapan kebijakan tersebut dinilai hanya menguntungkan negara maju yang daya saing investasinya lebih kuat.
Baca SelengkapnyaLuhut mempersilakan investor asing masuk Indonesia untuk terlibat dalam program transisi energi.
Baca SelengkapnyaSalah satu yang ditekankan oleh Cak Imin yakni tentang kepercayaan pasar terhadap pemerintah
Baca SelengkapnyaDPR menilai IKN tetap sulit menarik minat investor karena masalah utama bukan pada pergantian pejabatnya, tetapi dasar kebijakan yang keliru
Baca SelengkapnyaMasalah utama di bidang migas yang dihadapi adalah produksi minyak yang saat ini masih sangat rendah.
Baca SelengkapnyaAda beberapa negara yang tak setuju dengan berbagai kebijakan pemerintah Indonesia.
Baca SelengkapnyaTren deindustrialisasi ditandai dengan kecenderungan pelaku usaha yang memiliki modal enggan untuk berinvestasi.
Baca SelengkapnyaIndonesia kini menghadapi diskriminasi perdagangan dari banyak negara terkait kebijakan ekspor minyak kelapa sawit.
Baca SelengkapnyaMemanasnya kondisi politik di Indonesia dinilai akan menyebabkan ketidakpastian ekonomi di tanah air.
Baca SelengkapnyaIndonesia harus mampu untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Baca Selengkapnya