Penggabungan Batasan Produksi SKM dan SPM Cegah Kecurangan Pajak
Merdeka.com - Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan mendorong penggabungan batasan produksi rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Kebijakan ini untuk mencegah penghindaran pajak dari pabrikan rokok asing,
Selain itu, penggabungan ini dilakukan untuk menekan tarif cukai yang dinilai tidak adil pada golongan rokok SKM.
Jika dirinci lebih lanjut, SKM memiliki golongan 1, 2A, dan 2B. Golongan 1 memproduksi tiga miliar batang dalam satu tahun ke atas. Golongan dua memproduksi di bawah tiga miliar batang.
-
Bagaimana cukai rokok mempengaruhi industri? 'Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau,' ujar Benny, Jakarta, Rabu (29/5).
-
Apa penyebab turunnya cukai rokok? Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
-
Dimana cukai rokok menjadi pengendali industri? 'Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau,' ujar Benny, Jakarta, Rabu (29/5).
-
Mengapa penerimaan cukai rokok turun? Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
-
Bagaimana Kemendag mendukung industri rokok? Mendag menambahkan, Kemendag akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait agar pasokan tembakau dan cengkih dapat memenuhi kebutuhan industri rokok dengan mengutamakan hasil petani dalam negeri.
-
Siapa yang mendorong kebijakan rokok? Lebih dari 100 pemangku kebijakan secara terbuka memihak industri rokok, dan sebagian di antaranya memiliki konflik kepentingan dengan industri tersebut,' jelas Manik.
"Jadi kalau ada perusahaan rokok A dan B, misalnya A produksi 3 miliar batang dan B memproduksi 2,99 miliar (selisih satu batang saja). Justru tarif cukai yang dibayar 2,99 miliar batang ini lebih sedikit dari pada yang 3 miliar batang. Padahal produksinya sama-sama menggunakan mesin," ujarnya.
Hal ini menyebabkan potensi negara dalam penerimaan cukai tidak maksimal hanya karena perbedaan jumlah produksi batang.
Kendati demikian, Abdillah melihat jika dilakukan penggabungan golongan tarif antara SKM dan SPM, negara akan memperoleh kenaikan pemasukan dari cukai rokok.
Terlebih, produksi menggunakan mesin tidak menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dengan kretek tangan. Seharusnya, pembayaran cukai dengan mesin harus lebih besar daripada cukai kretek tangan.
"Saya mendukung relaksi untuk kretek tangan. Jadi, SKM dan SPM digabungkan saja. Kalau mau relaksasi, harus serap tenaga kerja yang banyak untuk kretek tangan," ujarnya.
"Kalau mau membela buruh tembakau, hentikan produksi kretek mesin dan juga impor tembakau," tambahnya.
Pegiat Antikorupsi, Danang Widoyoko menilai pemerintah tidak konsisten, salah satunya terlihat dari perubahan PMK 146 Tahun 2017 yang direvisi menjadi PMK 156 Tahun 2018, di mana pemerintah menghentikan sementara rencana penyederhanaan golongan tarif cukai yang seharusnya dilakukan secara bertahap sampai tahun 2021. Sayangnya, tidak jelas sampai kapan penghentian sementara itu akan dilakukan.
Menurut dia, industri hasil tembakau (IHT) harus dipaksa untuk terbuka. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga harus dilibatkan untuk menentukan kebijakan cukai tersebut. "Harus terbuka jangan membawa kepentingannya masing-masing. Menurut saya prosesnya harus didorong agar lebih terbuka," tegasnya.
Dia mengatakan, aspek pencegahan terhadap peluang pabrikan untuk menghindari pajak juga harus melibatkan lembaga lain. Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya kira ini aspek pencegahan penting oleh KPK. KPK perlu masuk untuk melakukan penghitungan alternatif untuk mengecek konsistensi regulasi dan memberikan masukan apalagi ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar. Jadi saya kira ini bagian pencegahan KPK bisa turut memberikan masukan," tegas mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.
Reporter Magang: Rhandana Kamilia
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Angka prevalensi perokok tetap tinggi dan penerimaan negara belum optimal
Baca SelengkapnyaKontribusi penting IHT tidak hanya pada pemasukan negara, tetapi juga penyerapan lapangan kerja.
Baca SelengkapnyaTernyata kenaikan tarif cukai rokok juga ditanggung masyarakat yang mengonsumsi rokok.
Baca SelengkapnyaDari empat pilar dalam penyusunan kebijakan produksi hasil tembakau, ekosistem pertembakauan di Indonesia harus diperhatikan secara keseluruhan.
Baca SelengkapnyaPengusaha menyoroti kinerja fungsi cukai yang tidak tercapai sebagai sumber penerimaan negara serta pengendalian konsumsi.
Baca SelengkapnyaKenaikan cukai sejak 2022 sampai 2024 masih dirasakan dampaknya sampai sekarang
Baca SelengkapnyaHal ini bisa menimbulkan dampak domino terhadap kinerja industri hasil tembakau (IHT).
Baca SelengkapnyaRegulasi ini tengah digodok, di mana rencananya akan turut mengatur soal produk tembakau atau rokok.
Baca SelengkapnyaPemerintah menaikkan target penerimaan cukai di 2024.
Baca SelengkapnyaPenurunan produksi industri rokok diakibatkan kenaikan cukai eksesif pada periode 2023–2024.
Baca SelengkapnyaAturan ini membuat selisih harga rokok antar golongan semakin jauh
Baca SelengkapnyaPemerintah menargetkan kenaikan penerimaan cukai sebesar 5,9 persen menjadi Rp244,198 triliun.
Baca Selengkapnya