Pengusaha Ritel Nilai Kenaikan Tarif PPN Baiknya di 2023
Merdeka.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen. Kebijakan yang disahkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP) ini akan mulai berlaku pada April 2022.
Menanggapi itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy Mandey menilai, seharusnya implementasi kenaikan PPN tidak dilakukan pada 2022. Sebab, masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang penuh dengan ketidakpastian. Menurutnya, aturan ini sebaiknya baru diberlakukan pada Januari 2023.
"Kalau bicara idealnya ini Januari 2023 lah, jangan 2022 karena kita tidak tahun kan tahun depan pandeminya sudah selesai apa belum," kata Roy saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Sabtu (9/10).
-
Apa itu Pajak Progresif? Sementara itu, pajak progresif adalah biaya yang harus dibayarkan jika seseorang memiliki lebih dari satu kendaraan, dimana total pajak akan bertambah seiring dengan jumlah kendaraan yang semakin banyak.
-
Apa itu pajak? Pungutan Wajib KBBI mendefinisikan pajak sebagai pungutan wajib untuk penduduk kepada negara atas pendapatan, pemilikan, dan lainnya.
Roy mengatakan walaupun pandemi Covid-19 selesai di tahun depan, maka sebaiknya pemerintah menunggu hingga 6 bulan masa transisi menuju era kenormalan baru. Setelah 6 bulan berjalan, barulah kenaikan tarif PPN diberlakukan. Sehingga sepanjang tahun 2022 difokuskan pada upaya pemulihan ekonomi nasional saja.
"Kalau pun sudah selesai kan ada masa yang transisi, istilahnya kebiasaan baru yang tidak bisa langsung recovery," kata dia.
Apalagi, masalah Covid-19 ini penuh dengan ketidakpastian. Potensi kenaikan kasus atau penyebaran mutasi virus corona masih menjadi tantangan.
Roy menjelaskan, selama pandemi, apapun kebijakan yang berhubungan dengan kenaikan tarif atau pajak seharusnya tidak dilakukan buru-buru. Kenaikan ini akan membuat daya beli masyarakat menurun atau tertahan.
"Perhitungannya sederhana, dengan dikenakan pajak, orang akan menahan belanja. Akhirnya nilai pajaknya juga tidak tercapai. Kalau kenaikan terjadi April tahun depan, masyarakat bisa menahan belanja, atau mereka kurangi belanja," kata dia.
Akibatnya tujuan pemerintah untuk mendapatkan pendapatan lebih besar tidak tercapai. "Jadi kan enggak kecapai karena nilai transaksinya berkurang. Dinaikkan juga percuma kalau nilai transaksinya berkurang, tidak berdampak bagi harapan dapat pajak lebih," tutupnya.
Jika Butuh Pendapatan, Pemerintah Diminta Perluas Objek Pajak
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy Mandey meminta kepada pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan apapun yang berkaitan dengan kenaikan tarif atau pajak selama pandemi Covid-19 masih berlangsung. Sebab perekonomian masyarakat dan dunia usaha masih penuh dengan ketidakpastian dan belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir dalam waktu depan.
"Selama masih pandemi, jangan dulu ada kenaikan karena pandemi ini kita belum tahu kapan selesainya," kata Roy saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Sabtu (9/10).
Sebagaimana diketahui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui usulan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kenaikan PPN menjadi 11 persen ini disahkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP) dan mulai berlaku pada April 2022.
Roy mengaku penolakan terhadap kenaikan PPN tersebut telah disampaikan kepada DPR dan Pemerintah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) saat UU HPP masih dibahas. Menurutnya bila pemerintah membutuhkan pendapatan negara lebih besar, sebaiknya dilakukan dengan memperluas objek pajak. Sebab saat ini pun belum semua masyarakat yang dikenakan pajak.
"Pajak ini memang perlu buat pembangunan dan pembiayaan pemulihan ekonomi tapi seharusnya ini diperluas saha wajib pajaknya. Ini kan banyak belum menyeluruh menjadi jangkauan pajak," kata Roy.
Objek pajak bisa diperluas dengan menarik pajak dari sejumlah transaksi yang selama ini belum dikenakan atau tarifnya masih rendah. Misalnya untuk pajak lintas kawasan (post border tax) yang bisa tingkatkan, pajak jasa titip barang, transaksi media sosial hingga transaksi e-commerce yang masih perlu ditingkatkan.
"Transaksi di sosial media juga ditingkatkan atau transaksi e-commerce juga ditingkatkan atau paling utama meningkatkan wajib pajak, ini juga belum banyak dan semua masyarakat jadi wajib pajak," kata dia.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Realisasi kenaikan PPN sebesar 12 persen pun pernah diungkap oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal.
Baca SelengkapnyaAda beberapa hal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masih dikoordinasikan dengan tim presiden terpilih.
Baca SelengkapnyaDalam Pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen.
Baca SelengkapnyaPemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen di tahun 2025.
Baca SelengkapnyaRencana kenaikan PPN 12 persen sebelumnya telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Baca SelengkapnyaKenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan implementasi dari UU HPP.
Baca SelengkapnyaPemerintah bisa menunda kenaikan ppn 12 persen seperti penundaan pajak karbon, yang seharusnya efektif dimulai 1 April 2022.
Baca SelengkapnyaAjib Hamdani menilai, opsi menaikkan tarif PPN ini menjadi sebuah dilema dalam konteks perekonomian nasional.
Baca SelengkapnyaDasco juga mengonfirmasikan jika setoran pajak tahun 2025 telah menghitung kenaikan PPN sebesar 12 persen.
Baca SelengkapnyaPajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi negara.
Baca SelengkapnyaNamun dia mengatakan penerapan PPN 12 persen masih sekadar rencana yang perlu dibahas lebih lanjut.
Baca SelengkapnyaKemenkeu menegaskan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1 persen sudah mempertimbangkan aspek ekonomi hingga sosial.
Baca Selengkapnya