Pengusaha Rokok: Perda KTR Ciptakan Ketidakpastian Usaha
Merdeka.com - Pengusaha dalam negeri khawatir larangan memajang produk tembakau atau rokok di toko-toko ritel modern yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bisa menciptakan ketidakpastian usaha.
Peraturan daerah ini juga dinilai bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Larangan ini sudah berlaku di Kota Bogor dan Depok, Jawa Barat. Di Bogor, aturan tersebut sudah berlaku sejak akhir 2017. Sementara di Depok, larangan pemajangan produk rokok di toko ritel berlaku mulai Oktober 2018.
-
Bagaimana Kemendag mendukung industri rokok? Mendag menambahkan, Kemendag akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait agar pasokan tembakau dan cengkih dapat memenuhi kebutuhan industri rokok dengan mengutamakan hasil petani dalam negeri.
-
Dimana cukai rokok menjadi pengendali industri? 'Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau,' ujar Benny, Jakarta, Rabu (29/5).
-
Apa saja yang diatur dalam RPMK tentang kemasan rokok? Dalam RPMK tersebut, diatur kemasan rokok nantinya tanpa merek alias polos. Kebijakan ini, bagian dari aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
-
Bagaimana cara rokok elektronik dipromosikan? 'Rokok elektronik menjadi pasar baru, kalau rokok elektronik pasangan untuk promosinya juga media elektronik ya. Agak beda dengan rokok konvensional, seingat saya, orang jualan rokok konvensional itu tidak terlalu terang-terangan. Tapi sekarang orang jualan vape itu terang-terangan banget ya,' papar Nadia.
-
Siapa yang mendorong kebijakan rokok? Lebih dari 100 pemangku kebijakan secara terbuka memihak industri rokok, dan sebagian di antaranya memiliki konflik kepentingan dengan industri tersebut,' jelas Manik.
-
Kenapa kemasan rokok polos tanpa merek dianggap melanggar hak masyarakat? Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menyoroti bahwa kebijakan tersebut mengabaikan hak-hak hidup masyarakat yang bergantung pada industri tembakau. Menurutnya, kemasan rokok polos tanpa merek berisiko mendiskriminasi kelompok-kelompok masyarakat kecil, termasuk pedagang asongan yang telah berkontribusi pada pendapatan negara melalui cukai.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), M Moefti mengatakan, sesuai PP 109/2012, rokok adalah produk legal yang dapat dijual, dipromosikan, dan diiklankan, termasuk di tempat-tempat penjualan.
"Peraturan nasional dan peraturan daerah yang saling bertentangan ini telah menimbulkan ketidakpastian usaha," kata Moefti di Jakarta.
Dia mengaku, sebagai pemangku kepentingan di industri hasil tembakau, Gaprindo merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan perda tersebut. Pihaknya juga tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai peraturan tersebut.
Ketidakharmonisan antara peraturan nasional dan peraturan daerah juga membuat resah para pedagang di Kota Bogor dan Kota Depok. Apalagi dalam mengimplementasikan Perda KTR di lapangan, Satpol PP langsung menutup pajangan rokok.
"Mereka tidak pernah mendapat sosialisasi maupun peringatan terlebih dahulu. Kami merasa tidak ada perlindungan berusaha," kata Muhaimin.
Terkait Perda KTR ini, Gaprindo sudah menyampaikan keluhannya kepada Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut Moefti, dua kementerian tersebut akan memastikan perda tidak kebablasan. Selain itu, proses pembuatan kebijakan juga harus melibatkan pemangku kepentingan. Tanpa keterlibatan seluruh pemangku kepentingan/konsultasi publik, peraturan dinilai cacat hukum.
Harmonisasi peraturan terkait penjualan produk rokok ini sangat diperlukan agar tidak menghambat laju investasi.
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
RPP UU Kesehatan dinilai melarang total kegiatan penjualan dan promosi produk tembakau.
Baca SelengkapnyaGAPPRI mengusulkan agar pasal-pasal terkait produk tembakau yang bernuansa pelarangan diubah menjadi pengendalian.
Baca SelengkapnyaDraft aturan tersebut dinilai bertujuan menyeragamkan kemasan produk tembakau dan rokok elektronik, serta melarang pencantuman logo ataupun merek produk.
Baca SelengkapnyaPengetatan iklan di luar ruang berpotensi untuk memukul kinerja industri rokok dan olahan tembakau turunannya hingga memicu PHK massal.
Baca SelengkapnyaDampak ini terasa signifikan bagi tenaga kerja dan petani tembakau, yang selama ini menggantungkan hidup pada industri ini.
Baca SelengkapnyaDia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif
Baca SelengkapnyaSalah satu pasal yang menurutnya bisa menimbulkan delik dalam hal pelaksanaan yakni adanya larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan.
Baca SelengkapnyaSejatinya Indonesia sendiri merupakan negara produsen tembakau, berbeda dengan negara lain sebagai konsumen tembakau yang memberlakukan kebijakan FCTC.
Baca SelengkapnyaRegulasi ini tengah digodok, di mana rencananya akan turut mengatur soal produk tembakau atau rokok.
Baca SelengkapnyaAturan yang menjadi sorotan di antaranya wacana standardisasi berupa kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau maupun rokok elektronik.
Baca SelengkapnyaUMKM di Indonesia baru saja bangkit dari pandemi dan memiliki peran penting dalam perekonominan nasional.
Baca SelengkapnyaUsai menuai polemik, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku akan mengkaji ulang aturan tersebut.
Baca Selengkapnya