Prevalensi Merokok di Indonesia Terus Turun Hingga 2022, Cek Data Lengkapnya di Sini
Merdeka.com - Prevalensi merokok di Indonesia terus menurun hingga 2022. Pada kelompok perokok anak, penurunan bahkan telah terjadi selama lima tahun berturut-turut.
Berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perokok pada usia sama atau lebih dari 15 tahun pada 2022 sebesar 28,26 persen, atau turun 70 bps dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 28,96 persen.
Sementara prevalensi perokok anak, atau usia sama atau di bawah 18 tahun, sebesar 3,44 persen. Angka ini menurun 25 bps dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 3,69 persen. Angka ini juga memperkuat tren penurunan prevalensi perokok anak yang telah terjadi sejak 2018 yaitu sebesar 9,65 persen, kemudian 2019 sebesar 3,87 persen, dan 2020 sebesar 3,81 persen.
-
Apa penyebab turunnya cukai rokok? Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
-
Mengapa penerimaan cukai rokok turun? Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
-
Apa dampak berhenti merokok sebelum usia 40 tahun? Berhenti merokok sebelum usia 40 tahun bisa memiliki efek panjang umur sama seperti pada orang yang tidak pernah merokok.
-
Bagaimana cukai rokok mempengaruhi industri? 'Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau,' ujar Benny, Jakarta, Rabu (29/5).
-
Kapan risiko penyakit jantung menurun setelah berhenti merokok? Dalam setahun berhenti, risiko penyakit jantung mulai menurun setengah dari perokok
-
Siapa yang berisiko terkena kanker mulut akibat rokok? Rokok mengandung berbagai zat kimia yang dapat menyebabkan mutasi DNA dan merusak sel-sel di dalam mulut. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker di bibir, lidah, tenggorokan, kotak suara, dan kerongkongan.
Selain berbagai kampanye preventif dan promotif dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan implementasi regulasi pengendalian tembakau yang ketat mengatur berbagai kegiatan produk rokok serta melarang jual beli rokok untuk anak dibawah 18 tahun, capaian penurunan prevalensi merokok juga dapat diatributkan pada kenaikan rata-rata CHT (Cukai Hasil Tembakau) yang terjadi setiap tahun.
Cukai merupakan salah satu bentuk pengendalian konsumsi barang yang memiliki eksternalitas negatif, sehingga konsumsinya perlu dibatasi.
Sejak 2018 sampai 2022, pemerintah tercatat sudah mengerek rata-rata CHT hingga 57 persen. Sementara tahun depan, pemerintah telah mengumumkan kenaikan rata-rata CHT sebesar 10 persen. Angka tersebut dipasang untuk memenuhi target penerimaan CHT 2023 senilai Rp232,6 triliun, atau meningkat 10,8 persen dari proyeksi pendapatan CHT pada 2022 senilai Rp209,9 triliun.
Sampai November 2022, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau tercatat senilai Rp186,2 triliun, nilai ini baru mencapai 89 persen target penerimaan CHT tahun ini. Meski demikian, capaian tersebut telah mencatat pertumbuhan 15,54 persen (yoy) dibandingkan realisasi penerimaan CHT pada November 2021 senilai Rp161,9 triliun.
Penghimpunan Data
Penghimpunan data yang berbeda dari kementerian/lembaga pelat merah seringkali menimbulkan kebingungan di publik. Situasi yang umum disebut diskrepansi ini juga celakanya memiliki potensi menghambat implementasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah. Multitafsir terhadap data yang berbeda-beda disebut akan memicu perumusan kebijakan yang tidak efektif.
Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun oleh BPS menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi perokok anak selama empat tahun terakhir, atau sejak integrasi dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dicatat Kemenkes.
Sebaliknya, Kemenkes melulu menyebut prevalensi perokok anak meningkat dengan mengacu Riskesdas, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS, Ahmad Avenzora menjelaskan mengapa hasil pendataan beda lembaga ini bisa memberikan hasil yang berbeda. Faktor-faktornya mulai dari metode, cakupan survei sampai waktu pengambilan data.
“Salah satu perbedaan terjadi karena cakupan jenis produk yang berbeda. Riskesdas turut mencakup produk selain rokok seperti shisa. Sementara dalam Susenas, BPS hanya menghitung rokok. Selain terkait cakupan, waktu survei juga bisa saja memengaruhi perbedaan angka tersebut,” ungkap Ahmad, seperti ditulis Rabu (30/11/2022).
Ahmad menambahkan perbedaan pendekatan ini pula yang menyebabkan hasil pendataan yang berbeda. Apalagi Susenas dilakukan setiap tahun, sementara Riskesdas dilakukan setiap lima tahun, dimana terakhir dilakukan pada 2018 dan akan dilakukan kembali pada 2023.
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Rokok menjadi salah satu penyebab atau biang kerok kemiskinan di Indonesia.
Baca SelengkapnyaAda kecenderungan anak-anak beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik.
Baca SelengkapnyaBerhenti merokok sebelum usia 40 tahun bisa memiliki efek panjang umur sama seperti pada orang yang tidak pernah merokok.
Baca SelengkapnyaIndonesia dapat mengurangi dampak negatif dari masalah merokok sambil tetap memberikan pilihan kepada perokok dewasa.
Baca SelengkapnyaUpaya menekan kemunculan pelajar perokok bisa dilakukan dengan kampanye antirokok yang efektif.
Baca SelengkapnyaPemerintah menilai, fenomena ini sudah menjadi tantangan dari tahun ke tahun.
Baca SelengkapnyaKenaikan tarif cukai rokok sangat berpengaruh pada keputusan seseorang untuk merokok, semakin mahal maka prevalensi perokok semakin bisa ditekan.
Baca SelengkapnyaPrevalensi kasus hepatitis B dan C di Indonesia menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Baca SelengkapnyaBanyak masyarakat di Indonesia beralih mengkonsumsi rokok murah.
Baca SelengkapnyaQuitline Berhenti Merokok merupakan inisiatif dalam upaya Kementerian Kesehatan guna mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Baca Selengkapnya"Semakin kaya, pendidikan tinggi dan bermukim di perkotaan, berkolerasi erat dengan median usia menikah yang semakin mundur," kata Hasto," kata Kepala BKKBN
Baca SelengkapnyaBNN Jakarta menyebut sebanyak 63,1 persen perokok laki-laki berpotensi memakai narkoba jenis ganja.
Baca Selengkapnya