Pro kontra keputusan Jokowi tambah utang dari luar negeri
Merdeka.com - Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/Bappenas), Sofyan Djalil mengatakan pemerintah kembali melakukan pinjaman luar negeri tahun ini sebesar USD 150 juta atau Rp 2,02 triliun. Pinjaman tersebut untuk mendorong pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Menurut dia, banyak proyek yang persiapannya tidak matang karena kekurangan biaya. Sehingga, dengan adanya pinjaman tersebut, diharapkan bisa menutupi kekurangan demi berjalannya pembangunan.
"Selama ini banyak proyek dan realisasi pinjaman luar negeri misalnya, termasuk proyek PPP, karena tidak terlalu siapnya persiapan proyek. Padahal persiapan proyek yang bagus itu tender akan mudah, harga lebih mudah. Oleh sebab itu mulai tahun ini kita sediakan dana, dan sekarang sudah ada USD 150 juta, dari multilateral, loan," ujar Sofyan di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (10/2).
-
Apa total utang Amerika Serikat? Data per 9 Mei 2023 mencatat, utang Amerika Serikat mencapai USD31,5 triliun atau setara Rp463.000 triliun.
-
Dimana negara dengan utang terbesar? Data per 9 Mei 2023 mencatat, utang Amerika Serikat mencapai USD31,5 triliun atau setara Rp463.000 triliun.
-
Apa kerugian negara akibat korupsi Bansos Jokowi? 'Kerugian sementara Rp125 milyar,' pungkasnya.
-
Siapa yang memiliki utang terbesar? Data per 9 Mei 2023 mencatat, utang Amerika Serikat mencapai USD31,5 triliun atau setara Rp463.000 triliun.
-
Apa nama mata uang Indonesia? Rupiah merupakan nama mata uang Indonesia yang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Indonesia.
-
Kapan Jokowi berjanji untuk mengurangi utang? Menariknya, netizen di media sosial mencari jejak digital Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat masa kampanye tahun 2014 lalu. Kala itu, Jokowi sempat berjanji untuk mengurangi utang, tapi nyatanya malah sebaliknya.
Dia menegaskan, pemerintah melakukan pinjaman luar negeri karena anggaran pembangunan infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat terbatas.
"APBN itu kan terkendala lagi harga satuan yang rendah. Sehingga akhirnya kita bisa dapatkan konsultan yang tidak kredibel. Itu untuk proyek-proyek kecil sih oke, tapi kalau yang besar-besar sifatnya internasional, harus disiapkan baik-baik," jelas dia.
Bukan hanya itu, pemerintah juga kembali tambah utang dari Asian Development Bank (ADB) sebesar USD 10 miliar atau setara Rp 135 triliun hingga lima tahun ke depan. Peningkatan pendanaan dari ADB untuk Indonesia merupakan bentuk dukungan untuk prioritas pembangunan pemerintah, terutama untuk infrastruktur fisik dan sosial.
"Selain pinjaman untuk proyek, ADB secara aktif memanfaatkan pinjaman berbasis kebijakan dan pinjaman berbasis hasil. Pinjaman berbasis hasil merupakan pembiayaan yang pencairannya dikaitkan dengan hasil yang telah dicapai dan bukan dengan biaya proyek yang telah dibelanjakan," ujar Presiden ABD Takehiko Nakao.
Nakao memuji keberhasilan pemerintah mengelola ekonomi pada tahun lalu yang berhasil menjaga inflasi tetap rendah di 4 persen pada Desember 2015, defisit fiskal yang bertahan di 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan defisit transaksi berjalan yang menurun ke 2,5 persen PDB dari sebelumnya sebesar 3 persen pada 2014. Nakao memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,3 persen pada 2016 dari 4,8 persen pada 2015.
"Di tengah gejolak keuangan dunia dan merosotnya harga komoditas, reformasi ekonomi di berbagai bidang di Indonesia telah meningkatkan keyakinan pasar," kata dia.
Dalam pertemuan tersebut, Takehiko menyampaikan ADB akan meningkatkan dukungan pinjaman untuk Indonesia yang awalnya dari USD 740 Juta per tahun pada periode 2010-2014 menjadi USD 2 miliar per tahun atau USD 10 miliar pada 5 tahun ke depan.
Keputusan Presiden Jokowi ini menimbulkan pro dan kontra. Alasannya, utang pemerintah terus bertambah setiap tahunnya. Bahkan, utang Indonesia mencapai Rp 3.089 triliun, lebih besar dari APBN 2016 sebesar Rp 2.095.
Berikut pro kontra keputusan Jokowi tambah utang dari luar negeri:
Tambah utang, pengangguran meningkat
Meski rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dinilai masih aman dan wajar, yakni berada di rasio 27 persen, namun pemerintah diingatkan untuk tidak terlena.
Pengamat Ekonomi, Hardy Hermawan menyebut, besaran utang Indonesia di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencapai Rp 3.089 triliun atau setara USD 223,2 miliar. Namun, besarnya utang belum berdampak terhadap pembangunan.
"Utang ya masih aman tapi jangan terlena dengan hal itu. Pengangguran tetap meningkat, kemiskinan meningkat artinya ada masalah dengan pengelolaan dana utang itu," kata Hardy di Jakarta, Sabtu (30/1).
Hardy menilai, rasio utang Indonesia terhadap PDB sudah masuk pada level yang perlu diwaspadai. "Tidak hanya utang swasta yang perlu diwaspadai, tetapi utang pemerintah juga harus diwaspadai," imbuh Hardy.
Oleh sebab itu, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) disarankan untuk menyiapkan langkah-langkah antisipasi apabila utang masuk dalam rasio yang membahayakan.
"Pemerintah dan BI harus siapkan payung sebelum hujan, hedging baru berlaku tahun 2017, sanksinya hanya teguran dan diumumkan. Ada baiknya BI tetapkan aturan nilai maksimum utang berdasarkan aset yang dimilikinya. Yang ada sekarang gali lobang tutup lobang, bisa default karena kita sudah masuk lampu kuning," tutupnya.
Tambah utang, produktivitas menurun
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai pemerintah harus berhati-hati dalam menggunakan dana pinjaman utang dari Asia Development Bank (ADB). Menurut dia, pinjaman utang tersebut harus bisa digunakan untuk meningkatkan produktifitas.
"Sebenarnya utang itu bukan hal haram, utang itu boleh dengan catatan utang itu untuk produktif. Yang jadi persoalan dari rezim Pak Jokowi atau sebelumnya tidak ada perbedaan, dimana utang meningkat tapi produktifitas nasional menurun," ujar Enny saat dihubungi merdeka.com di Jakarta, Minggu (14/2).
Enny mengatakan, pemerintah perlu memutar otak agar bisa menciptakan terobosan dalam memprioritaskan pinjaman utang guna meningkatkan produktifitas.
"Sekarang bisa tidak pemerintah memaparkan kepada rakyat bahea utang yang ditawarkan ADB itu akan digunakan untuk apa? Kalau misalnya BUMN yang menerima utang itu dan akan berdampak pada permintaan lapangan kerja segera tentu rakyat masih bisa menerima pak Jokowi meminjam hutang," kata Enny.
"Dengan catatan itu benar-benar transparan dananya digunakan untuk apa dan tidak ada dominasi kepentingan politik. Bukan semata beralasan pembangunan infrastruktur semata," tambah dia.
Untuk itu, lanjut Enny, pemerintah diminta fokus dalam penggunaan dana pinjaman dari luar negeri. Alasannya, Indonesia terus dibayangi maraknya ancaman gejolak ekonomi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Titik krusial utang itu bukan di besarannya, tapi bagaimana utang itu berdampak pada produktifitas nasional," pungkas dia.
Tambah utang, jadi solusi atasi defisit anggaran
Asian Development Bank (ADB) kembali memberikan pinjaman USD 10 miliar atau setara Rp 135 triliun hingga lima tahun ke depan, guna memberi dukungan untuk prioritas pembangunan pemerintah, terutama untuk infrastruktur fisik dan sosial. Pengambilan utang tersebut merupakan hal yang wajar, mengingat Indonesia masih mengalami defisit sebesar 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menurun dibandingkan tahun 2014 sebesar 3 persen. Sehingga utang luar negeri menjadi salah satu solusi untuk menutupi hal tersebut.
"Sekarang Indonesia mengalami defisit, tetapi pengeluaran tetap lebih besar dari penerimaan. Nah solusinya itu dari pasar, obligasi, atau utang luar negeri," ujar Pengamat Ekonomi Purbaya Yudhi Sadewa saat dihubungi merdeka.com, Minggu (14/2).
Dia menambahkan, pengambilan utang dari Asia Development Bank (ADB) lebih baik dari pengambilan utang dari bank luar negeri lainnya. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara pemegang saham terbesar keenam di ADB, yakni sebesar 5,4 persen.
"Ini harus dilihat dari sisi bunga. Kalau utang luar negeri misal lnta dalam bentuk dolar bunganya lebih tinggi mungkin sekitar 9 persen. Kalau di ADB bisa saja dibawah 2 persen," kata dia.
Selain itu, Purbaya menilai Indonesia masih memerlukan suntikan dana untuk pembangunan infrastruktur. Dengan begitu, pinjaman luar negeri tidak akan jadi masalah besar jika digunakan untuk pembangunan yang lebih produktif.
"Selama utang dipakai untuk pembangunan yang lebih produktif tidak masalah, adalkan jangan dipakai untuk hal yang konsumtif," pungkas dia.
Utang tak boleh digunakan bangun kereta cepat
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengabaikan sektor-sektor prioritas yang mampu mengatasi gejolak demonstrasi terutama Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut dia, pemerintah harus mampu mengoptimalkan dana pinjaman utang untuk permasalahan gejolak ekonomi di tanah air salah satu pemecatan karyawan.
"BKPM jalan sendiri yang penting investasi masuk tidak peduli yang masuk ke sektor mana. Nah, ini yang berdampak investasi masuk tetapi gelombang demonstrasi PHK tetap berlangsung," ujar Enny saat dihubungi merdeka.com di Jakarta, Minggu (14/2).
Enny menegaskan masyarakat tak ingin diam-diam pemerintah menggunakan dana pinjaman utang dari Asian Development Bank (ADB) untuk mendanai proyek kereta cepat.
"Ini yang belum jelas betul ADB itu menawarkan utang, tetapi pemerintah punya perencanaan tidak? Kita tidak mau utang untuk membiayai kereta api cepat, itu celakanya bisa 3-4 kali lipat," jelas dia.
Untuk itu, Enny meminta pemerintah agar bisa menemukan solusi dari pemanfaatan dana pinjaman utang lebih baik digunakan untuk menciptakan lapangan kerja. Saat ini investasi yang masuk ke Indonesia tidak pernah masuk kedalam industri padat karya.
"Angka pengangguran bisa bertambah, kalo tidak ada terobosan dari pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja ini bahaya. Karena kita lihat sekalipun ada investasi baru masuk tapi kan tidak ada yang ke industri padat karya. Ini kan kesalahan pemerintah, mestinya pemerintah memberikan berbagai fasilitas, intensif tapi harusnya fokus ke industri padat karya," pungkas dia.
(mdk/sau)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jokowi mengatakan, kenaikan kurs menjadi salah satu hal yang ditakuti oleh semua negara.
Baca SelengkapnyaNamun demikian, pendapatan negara mengalami kontraksi sebesar 5, 4 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Baca SelengkapnyaTKN Prabowo-Gibran menilai kritik PDI Perjuangan sebagai nalar yang salah dan bisa berdampak negatif kepada masyarakat.
Baca SelengkapnyaNaiknya utang luar negeri karena penarikan pinjaman, khususnya pinjaman multilateral, untuk mendukung pembiayaan beberapa program dan proyek.
Baca SelengkapnyaDalam catatan Menteri Keuangan (Menkeu) posisi utang pemerintah mencapai Rp8.353,02 triliun pada Mei 2024.
Baca SelengkapnyaPerusahaan properti terbesar di China itu terancam gagal bayar utang hingga bangkrut.
Baca SelengkapnyaPendapatan negara sampai 12 Desember 2023 tercatat mencapai Rp2.553,2 triliun.
Baca SelengkapnyaWapres ke-10 dan 12, Jusuf Kalla atau JK memperkirakan, siapa pun yang menggantikan Jokowi akan menghadapi tantangan berat.
Baca SelengkapnyaRasio utang pada Agustus sendiri ini di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara.
Baca SelengkapnyaMenurut Hasto, jika kedua utang itu digabung, Indonesia ke depan berpotensi menghadapi masalah serius.
Baca SelengkapnyaMegawati berharap pemerintah punya rencana serius untuk mengurangi utang bernilai fantastis itu.
Baca SelengkapnyaPosisi utang pemerintah relatif aman dan terkendali karena memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,98 persen.
Baca Selengkapnya