Riset: Penerapan sistem GPN perlu dibenahi agar tak hambat industri pembayaran
Merdeka.com - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) meluncurkan kajian mengenai karakteristik desain dan dampak penerapan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) terhadap industri pembayaran.
Kajian independen yang dilakukan selama enam bulan ini melibatkan enam ahli ekonomi, dan ini merupakan respons para pemerhati industri pembayaran di lingkup kampus UI terhadap Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 tentang GPN. Terbitnya peraturan ini mewajibkan para pelaku industri pembayaran untuk mengintegrasikan sistem pembayaran ritel di Indonesia, dengan dampak langsung pada transaksi menggunakan kartu debit.
"Pada dasarnya kami menyambut baik penyelenggaraan GPN ini yang menandakan suatu kemajuan pada upaya pemerintah untuk lebih bergiat memindahkan sistem transaksi tunai menjadi non tunai. Namun, ada beberapa hal yang menurut kajian LPEM FEB UI masih perlu diperbaiki dalam penyelenggaraannya, agar kebijakan ini tidak lantas menghambat kinerja industri pembayaran di Indonesia, dan sekaligus memberikan keuntungan maksimal bagi nasabah," ujar Chaikal Nuryakin, salah satu peneliti LPEM FEB UI yang terlibat aktif dalam menyusun hasil kajian ini.
-
Mengapa Indonesia masih perlu meningkatkan kualitas layanan kesehatan? Posisi Indonesia yang berada di peringkat 39 masih menunjukkan adanya ruang untuk perbaikan, terutama dibandingkan dengan negara-negara Asia yang lebih maju seperti Taiwan dan Korea Selatan.
-
Bagaimana Pasuruan ingin tingkatkan tata kelola keuangan? Gus Ipul juga berharap pada masa yang akan datang, tata kelola keuangan daerah di Pemkot Pasuruan semakin menuju arah peningkatan yang lebih baik.
-
Kenapa Kemenkumham meminta agar kemudahan berbisnis tidak disalahgunakan? Namun, jangan sampai kemudahan berbisnis itu disalahgunakan untuk kegiatan kriminal. Karena itu, kemudahan berbisnis juga harus diseimbankan dengan keamanan yang memadai.
-
Bagaimana Bank Jatim tingkatkan kinerja syariah? Dalam kegiatan tersebut, juga ada sharing session dari Ust. Ahmad Ifham Sholihin dengan topik Logika Bisnis Keuangan Syariah. Dalam diskusi tersebut dipaparkan secara lengkap tentang pemahaman Bank Syariah dan perilaku pegawai di Bank Syariah. Sehingga diharapkan semua karyawan Bank Jatim dapat memahami pola kerja Bank Syariah demi akselerasi bisnis.
-
Apa yang sedang dilakukan BRI untuk menjaga kualitas kredit? Penurunan NPL tersebut disebabkan BRI sedang melakukan upaya bersih-bersih portofolio kredit, terutama kredit restrukturisasi terdampak Covid sebagai bagian dari soft-landing strategy yang diimplementasikan sejak tahun lalu.
-
Bagaimana Kemenkumham harus berinovasi dalam memberikan pelayanan? “Pertahankanlah capaian prestasi yang telah berhasil diraih. Teruslah pikirkan cara-cara baru dengan berbagai terobosan kreatif dan inovasi baru untuk memberikan kemudahan dalam bekerja dan memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, termasuk keberlanjutan program (sustainable program) atas program-program yang telah saya tetapkan,“ kata Yasonna
Hal yang disoroti pada hasil kajian ini termasuk dampak langsung (intended consequences) dan tidak langsung (unintended consequences) yang muncul dari penerapan skema tarif, mandat kepemilikan kartu debit GPN, dan pemrosesan melalui kelembagaan GPN.
Pertama, dari aspek tarif, GPN akan menurunkan biaya merchant discount rate atau MDR yang dibayarkan merchant secara agregat sebesar Rp 830 miliar atau 47 persen per tahun. Hal ini dinilai akan mendorong lebih banyak terjadinya transaksi non tunai. Namun di sisi lain, penurunan MDR berpotensi menggerus penerimaan bank hingga 77 persen (untuk bank issuer) dan 20 persen (untuk bank acquirer). Akibatnya, dorongan bagi bank issuer untuk berinovasi pada produk kartu debit dan bank acquirer untuk mengakusisi lebih banyak merchant terancam menurun.
Kedua, potensi inefisiensi biaya akibat nasabah yang diwajibkan untuk memiliki kartu debit berlogo GPN. Bagi bank issuer, pencetakan kartu baru akan memunculkan kemungkinan melonjaknya biaya operasional hingga Rp 585 miliar dalam empat tahun ke depan. Namun, semakin banyaknya kartu yang beredar belum dapat dilihat sebagai solusi efektif. Adanya kewajiban kepemilikan minimal satu kartu GPN untuk setiap nasabah akan berdampak pada terbitnya 22,5 juta kartu debit GPN yang tidak digunakan nasabah atau dormant karena tidak dianggap kompatibel, terutama untuk kebutuhan transaksi di luar negeri dan transaksi daring (e-commerce).
Sementara, yang tidak dapat dihindari adalah munculnya biaya administrasi yang akan dibebankan kepada nasabah untuk kepemilikan kartu tambahan tersebut. Diperkirakan secara total ada tambahan biaya administrasi yang akan timbul sebesar Rp 163 miliar per bulan, atau jika diakumulasikan menjadi Rp 1,96 triliun per tahun.
"Bagi nasabah yang melakukan perjalanan ke luar negeri ataupun pembelanjaan daring, penggunaan kartu berlogo GPN mungkin akan kurang menarik karena terbatasnya akses pembayaran jika dibandingkan dengan kartu berlogo internasional yang sudah mereka miliki. Hal ini perlu disikapi dengan baik, agar pencetakan kartu berlogo GPN tetap dapat digunakan secara maksimal oleh nasabah, dan bukan sekadar pemenuhan kewajiban atas kepemilikan minimal satu kartu berlogo GPN yang ditetapkan pemerintah," ujar Dono Iskandar, peneliti LPEM, anggota tim penyusun hasil kajian ini.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah pemrosesan transaksi. Desain GPN yang dibangun di atas empat lembaga switching domestik yang berbeda dinilai menghambat optimalisasi sistem pembayaran karena mendesak kebutuhan interoperabilitas dan interkoneksi. Padahal, switching merupakan industri dengan fixed cost yang besar sehingga memerlukan skala ekonomi yang optimal untuk dapat beroperasi dengan efisien. Studi kasus di negara-negara lain menunjukkan bahwa negara perlu menggelontorkan biaya investasi hingga Rp 675 miliar untuk membuat sistem pembayaran nasional seperti GPN.
Selain itu, kewajiban bagi seluruh pemrosesan transaksi domestik untuk melalui infrastruktur GPN juga dilihat akan mendistorsi kompetisi. LPEM menilai tujuan kedaulatan data dan kepentingan nasional sudah tercapai, mengingat BI telah memberlakukan kewajiban pemrosesan transaksi domestik untuk menggunakan infrastruktur dalam negeri.
Pemrosesan melalui lembaga switching domestik juga dikhawatirkan meningkatkan potensi terjadinya fraud, hacking, dan disrupsi terhadap infrastrukttur GPN, mengingat kebanyakan lembaga switching tersebut sebelumnya hanya merupakan penyelenggara jasa switching untuk jaringan ATM. Isu keamanan bertransaksi bagi nasabah saat ini masih menjadi salah satu kekhawatiran utama dan sekaligus pekerjaan rumah bagi ragam layanan keuangan di Indonesia. Cermat memilih lembaga yang diberikan mandat mengelola switching menjadi salah satu poin utama yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Menimbang hal-hal tersebut, LPEM merekomendasikan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan optimalisasi sistem pembayaran di bawah GPN. Pertama, konsolidasi perusahaan switching domestik menjadi satu entitas yang dimiliki bersama oleh perbankan nasional. Hal ini bertujuan untuk mempermudah interoperabilitas dan interkoneksi, mendukung pengembangan inovasi, dan menjaga keberlanjutan industri sistem pembayaran.
Kedua, pemberlakuan kebijakan opt out kepemilikan kartu berlogo GPN bagi nasabah yang tidak memerlukannya dalam rangka mengeliminasi inefisiensi dari kartu dormant dan biaya administrasi berlebih. Kebijakan ini diperkirakan dapat menurunkan biaya administrasi sebesar Rp40 miliar per bulan atau Rp480 miliar per tahun. Terkait instrumentasi, LPEM juga merekomendasikan agar penerapan GPN tidak hanya berbasis kartu tapi juga berbasis peladen (server) sesuai perkembangan teknologi.
"Kami menilai perlu adanya peninjauan ulang terhadap kewajiban pemrosesan seluruh transaksi domestik melalui GPN. Penerapan GPN akan membawa berbagai dampak positif bagi sistem pembayaran di Indonesia namun belum optimal dari segi efisiensi, perlindungan konsumen, dan kompetisi, serta tidak sejalan dengan praktik internasional," tutup Ashintya Damayati, anggota tim penyusun hasil kajian ini.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Selain meningkatkan pemungutan dan penerimaan pajak, penguatan penegakan hukum dengan lebih konkret juga dapat mengurangi potensi kebocoran.
Baca SelengkapnyaWTP ini kelima kalinya diterima KPK. BPK tak menemukan permasalahan signifikan yang berdampak kepada kewajaran penyajian LK KPK.
Baca SelengkapnyaRyan menyampaikan, Kementerian BUMN yang sudah melakukan sejumlah terobosan besar melalui transformasi saja masih dihadapkan pada sejumlah persoalan.
Baca SelengkapnyaBappebti menilai pengenaan pajak kripto seharusnya dilakukan saat industri bersangkutan sudah maju.
Baca SelengkapnyaPengelolaan BUMN di bawah kementerian teknis tidak sejalan dengan tugas dan fungsi BUMN sebagai korporasi yang mencari profit.
Baca SelengkapnyaPara pelaku usaha mengungkapkan bahwa ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh industri ini.
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengusulkan jika LPEI ini segera dibubarkan. Menyusul, tidak adanya perbaikan kinerja.
Baca SelengkapnyaSelama ini lembaga yang bertugas mengurus penerimaan negara adalah Direktorat Jendreal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Baca Selengkapnyapenerapan GRC terintegrasi dapat mensinergikan aspek governance structure, risk management dan compliance, serta environment dan social.
Baca SelengkapnyaPemerintah masih punya cukup anggaran sisa dari tahun sebelumnya untuk membiayai negara, di luar harus mendongkrak PPN.
Baca SelengkapnyaDirektur Utama BRI Sunarso mengungkapkan bahwa UMKM yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
Baca SelengkapnyaGanjar menjelaskan strateginya untuk meningkatkan rasio pendapatan pajak.
Baca Selengkapnya