Rumitnya urus izin usaha fintech di Tanah Air
Merdeka.com - Industri keuangan berbasis digital atau dikenal dengan sebutan fintech (financial technology) kian menjamur di tanah air. Produk layanan keuangan yang ditawarkan pun beragam, mulai dari lending (pinjaman) hingga sistem pembayaran kredit.
Sayangnya, perusahaan-perusahaan fintech tersebut belum semua mengantongi izin dari regulator dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, M. Ajisatria Sulaeman mengatakan saat ini sudah ada 30 anggota asosiasi yang sedang dalam proses mendaftarkan perusahaannya ke BI.
-
Siapa saja yang termasuk Bank Pemerintah di Indonesia? Daftar bank BUMN di Indonesia antara lain adalah BRI, BNI, Bank Mandiri, dan BTN.
-
Siapa saja bank yang terlibat? Bank Rakyat Indonesia, Bank Katimtara, Bank Perkreditan Rakyat merupakan perbankan yang turut berpartisipasi dalam acara Sosialisasi Penguatan Modal tersebut.
-
Apa saja yang dibutuhkan untuk transformasi digital di Indonesia? Ada dua hal yang menjadi poin penting. Pertama, talenta dan yang kedua adalah infrastruktur digital.
-
Koleksi apa saja yang ada di Perpustakaan Bank Indonesia? Beberapa koleksi buku yang terdapat di perpustakaan BI difokuskan mengenai politik, ekonomi, dan perbankan, namun terdapat juga beberapa novel fiksi serta karya sastra.
-
Kenapa Bontang gandeng perbankan? Namun hal -hal tersebut tidak akan bisa meningkat dan berkembang tanpa adanya modal usaha.
-
Kenapa kebutuhan uang Bank Indonesia meningkat? 'Jumlah tersebut meningkat 12,5 persen, jika dibandingkan dengan kebutuhan uang dalam periode yang sama menjelang nataru di akhir tahun 2022 sebesar Rp 2,4 triliun rupiah,' kata Erwin, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/12).
"Peraturan di Bank Indonesia sendiri cukup banyak, tidak hanya tekfin dan regulatory sandbox, tetapi payment gateway, uang elektronik, dompet elektronik, dan transfer dana. Ada lebih dari 30 anggota kami yang sedang mendaftar untuk mendapatkan izin tersebut," kata Ajisatria.
Pendaftaran fintech sendiri terbagi dua. Untuk fintech berbasi pinjam meminjam atau Peer to Peer Lending (P2PL) berada di bawah pengurusan OJK. Sedangkan yang berada di bawah pengawasan BI adalah yang terkait sistem pembayaran.
Ajisatria mengungkapkan, pengurusan perizinan bukan tanpa batu sandungan. Banyak kendala yang dihadapi perusahaan fintech saat hendak mengurus pendaftaran untuk memperoleh izin operasi.
"Kendala utama pengurusan izin di Bank Indonesia adalah mekanisme mereka yang PRE audit, artinya seluruh dokumen dan sistem harus sudah siap sebelum memohon izin," ujarnya.
Dia mengatakan, pendaftaran di OJK lebih mudah dibanding Bank Indonesia. "Ini berbeda dengan OJK lending dimana diperbolehkan untuk mendaftar dan beroperasi dengan dokumen-dokumen awal, lalu diberikan waktu satu tahun untuk melengkapi dokumen SOP, memperbaiki sistem, dan merampungkan audit. Jadi kalau di OJK, mekanismenya POST audit," terangnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakaan saat ini baru segelintir perusahaan fintech yang telah terdaftar.
"Jadi ada 44 yang terdfatar di OJK kalau gak salah tapi kan dari segi jumlah fintech lebih dari 180 perusahaan. Artinya, belum ada setengahnya yang terdfatar ke dalam OJK," kata Bhima.
Bhima mengungkapkan, para pelaku industri fintech kebanyakan mengeluhkan soal rumitnya birokrasi. "Ada beberapa akeluahan dari teman-teman di fintech, salah satunya sih ada perizinan yang cukup rumit dalam hal pendaftaran, jadi mereka mengurus perizinannya tuh makan waktu dan makan biaya," ujarnya.
Bhima mengungkapkan, ada sekitar 14 kementerian dan lembaga K/L) yang memegang andil dalam proses regulasi fintech. Perusahaan harus mengurus administrasi di 14 K/L tersebut.
"Bayangkan ada 14 K/L, jadi kayak pendaftaran untuk sistem pembayarannya ke BI, untuk pembayaran pinjam meminjam ke OJK. Nanti untuk pendaftaran soal aplikasinya di Kemenkominfo, izin lain lainnya ada di Kementerian Perdagangan dan segala macam. Jadi 14 K/L itu aturan tentang fintechnya tumpang tindih."
Bhima menyayangkan regulator yang terkesan lamban mengelola fintech di tanah air. Padahal, kemajuan teknologi semakin hari semakin berjalan cepat dan tidak terbendung.
"Sedangkaan perubahan teknologinya begitu cepat, jadi kalau saya daftar hari ini, setahun baru selesai kan ? Padahall teknologinya sudah berubah, (begitu dapat izin) Saya sudah harus daftarin teknologi yang terbaru lagi. Nah itu yang membuat birokrasinya menjadi penghambat fintech untuk mendaftar."
Selain itu, proses pendaftaran juga memakan dana yang tidak sedikit. Sebab pendaftaran memerlukan beberapa proses yang melibatkan pihak ketiga untuk melakukan pengecekan sistem kemanan.
"Mengecek soal kemanan sistem itu biasanya pakai pihak ketiga, jadi untuk start up yang modalnya masih kecil mendaftarkan fintech itu butuh biaya yang cukup mahal karena ada uji sistem biar gak bisa dihack sistemnya, keamanan data nasabah dan segala macam, nah itu yang jadi hambatan, birokrasi dan mahalnya perizinan."
Selain itu, perusahaan juga harus memakai jasa konsultan hukum dan bidang lainnya selama proses pendaftaran hingga memperoleh izin. "Tiap fintechnya beda, tergantung makin rumitnya teknologinya di a makin mahal (biayanya). Ya harus nyewa konsultan bidang hukum, konsultan bidang IT, ya itu kan cukup menguras kantong juga buat start up."
Bhima mengatakan, seharusnya BI dan OJK tidak mengedepankan ego sektoral dalam mengelola perizinan fintech.
Dia menyarankan, seharusnya BI bersama OJK berjalan bersama dan membuat perizinan fintech menjadi hanya satu pintu. Hal itu bisa mengharmonisasikan seluruh aturan mengenai fintech yang selama ini masih tumpang tindih.
"Karena masalahnya itu belum ada satu pintu perizinan, belum ada single window policy. Jadi BI juga punya kewenangan, OJK juga punya kewenangan, masih ada ego sektoral di situ. Jadi proses perizinannya makan waktu lama."
Menurut Bhima, akan lebih baik jika BI bersama OJK membentuk satgas khusus untuk mengurus pendaftaran fintech.
"Harusnya memang dibentuk single window policy atau perizinan terpadu satu pintu, jadi antara BI dan OJK membentuk satgas khusus fintech. Jai pendaftarannya satu pintu. Itu di Thailand seperti itu, kemudian di Australia seperti itu juga. Makanya perkembangan fintech di sana cukup pesat karena perizinannya hanya dalam satu pintu tadi."
Selain itu, Bhima memandang BI dan OJK ada kecenderungan untuk menghentikan operasional (suspend) fintech. Padahal, akan lebih baik jika fintech dibiarkan berjalan selama proses.
"Jadi banyak banget fintech yang udah mau daftar nih, tapi kan harusnya operasionalnya bisa jalan dulu lah, tiba - tiba disuspend, dihentikan sementara operasinya kayak waktu itu ada Tokopedia, ada grab pay. Pendekatannya OJK dna BI ke arah melarang dulu dibandingkan merangkul. Makanya gak banyak fintech yang terdaftar dalam sistem."
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ada empat tantangan besar yang dihadapi dalam pengembangan industri fintech di Indonesia.
Baca SelengkapnyaPersyaratan ini tertuang dalam Peraturan (Bappebti) No. 8 Tahun 2021 sebagaimana diubah dengan Peraturan No. 13 Tahun 2022.
Baca SelengkapnyaTirta melihat, tantangan tersebut menjadi tanggung jawab bersama khususnya pemerintah agar bisa mengatur terkait dengan penggunaan blockchain ini.
Baca SelengkapnyaHal ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan CFX untuk mendukung pertumbuhan industri kripto di Indonesia dalam kerangka kerja yang aman dan teratur.
Baca SelengkapnyaDewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Baca SelengkapnyaProgram ini diharapkan mendorong adopsi fintech dan meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan, manfaat.
Baca SelengkapnyaKomisi XI Minta Anggota OJK Baru Mampu Perkuat Pengawasan
Baca SelengkapnyaTantangan selanjutnya yaitu rendahnya literasi keuangan digital.
Baca SelengkapnyaAdanya ruang untuk inovasi ini dapat membuka akses ke pasar baru, dimana hal ini juga dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat luas.
Baca SelengkapnyaOJK berencana menetapkan modal minimum Rp3 triliun bagi Industri Jasa Keuangan (IJK) yang mau masuk ke bisnis emas atau bulion.
Baca SelengkapnyaTak hanya pemerintah, parlemen Hong Kong pun membentuk subkomite khusus untuk mendorong pengembangan teknologi Web3 dan aset virtual di wilayah itu.
Baca SelengkapnyaPeraturan aset kripto dituangkan dalam Permendag No. 99/2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Aset Kripto.
Baca Selengkapnya