Saran untuk Pemerintah dalam Jalankan Hilirisasi Tambang

Merdeka.com - Pemerintah Jokowi berencana untuk mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah, yang semestinya berlaku mulai 2022 mendatang menjadi di 2019 ini. Center For Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUS) menyayangkan rencana ini. Pemerintah dinilai kurang memperhatikan kepentingan jangka panjang dan ada kesan mengikuti tekanan kelompok tertentu.
"Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi permasalahan yang dihadapi pengusaha nasional untuk mewujudkan hilirisasi. Kebijakan ini telah gagal pada tenggat waktu yang ditetapkan yakni tahun 2014, 2017 dan 2022 yang juga berpotensi gagal," terang Direktur CIRUS, Budi Santoso dikutip Antara, Kamis (29/8)
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah akan mempercepat aturan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah yang sebelumnya dipatok tahun 2022. Luhut yakin percepatan batasan larangan ekspor itu seiring dengan pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter) di Tanah Air, sehingga bijih nikel itu bisa diserap pasar domestik.
Menurut Budi Santoso, selama ini ada beberapa kesulitan pengusaha tambang nasional dalam membangun smelter mulai dari perizinan, teknikal (sumberdaya dan cadangan), infrastruktur, keuangan dan pasar yang secara praktik bisnis tidak memungkinkan bisa dicapai hanya dalam kurun waktu 5 tahun.
Pemerintah harus dapat mengurangi atau meringankan beban tersebut atau memberi kelonggaran waktu lebih fleksibel untuk memenuhi rencana sesuai dengan praktik umum kegiatan usaha dan tidak 'tertipu' proposal yang hanya di atas kertas.
Dia mengatakan fakta yang dialami pengusaha nasional yang akhirnya menjadi mitra minoritas seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih mendorong peningkatan kapasitas dan kemampuan nasional. "Bukan sebaliknya, hanya karena tujuan pembuatan smelter," tandas Budi.
Dalam praktiknya bijih nikel yang dipasok ke pabrik smelter dibeli dengan harga di bawah harga pasar internasional. Sehingga secara tidak langsung pemilik smelter sudah menikmati keuntungan berlipat yaitu marjin harga dengan pasar internasional dan biaya pengapalan.
Oleh karena itu, lanjut Budi, CIRUS memberi beberapa masukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut dan juga memberi dorongan dan menunjukkan keberpihakan kepada pengusaha nasional. Pertama, melakukan evaluasi kegagalan perusahaan nasional membangun pengolahan dan pemurnian dan mengurangi faktor penghambat seperti perizinan, teknikal, infrastruktur, teknologi, keuangan dan pasar.
Kedua, meninjau kembali konsep hilirisasi yang mengikat dengan Izin Usaha Pertambangan untuk lebih mendorong ke produk hilirnya atau ke industri. Ketiga, mempercepat ditetapkannya kebijakan mineral dan batubara (minerba) nasional sebelum melakukan perubahan undang-undang ataupun peraturan.
Dan keempat, menjamin smelter yang sudah beroperasi membeli bijih nikel tidak melalui perantara sehingga harga jual dari pemilik tambang kepada smelter mendekati harga pasar internasional.
Pemerintah juga harus mempertimbangkan masalah kegiatan ekonomi regional (daerah) yang masih mengandalkan kegiatan tambang sehingga tidak terjadi keresahan sosial apabila terjadi penghentian produksi karena tidak dapat menjual hasil tambangnya.
Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menolak rencana pemerintah menghentikan ekspor bijih nikel (ore). Sebab, ini dapat mengganggu pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
Sekretaris APNI, Meidy Katrin Lengkey mengatakan, pengusaha sedang berupaya melaksanakan hilirisasi dengan membangun fasilitas smelter nikel. Ini agar kebijakan pemerintah terkait pelarangan ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2022 terlaksana.
"Kita mendukung hilirisasi, makanya kita bangun smelter," kata Meidy, di Jakarta, Kamis (22/8).
Namun Meidy menyayangkan ada kabar rencana pemerintah mempercepat penerapan pelarangan ekspor mineral bijih nikel pada 2019. Menurutnya, jika rencana tersebut terapkan maka akan menghambat pembangunan smelter, sebab sumber pendanaan pembangunan smelter berasal dari kegiatan ekspor bijih nikel.
"Uang kami untuk bangun smelter berasal dari kuota ekspor," ujarnya.
APNI pun ingin pemerintah konsisten menjalankan kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah sampai 12 Januari 2022, sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat sejak awal.
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah akan mempercepat larangan ekspor ore (bijih nikel). Tujuannya ialah untuk menarik investor.
"Seperti yang saya jelaskan, dalam keadaan trade war (perang dagang) seperti sekarang, kita perlu tarik investor sebanyak mungkin," katanya di Jakarta, Selasa, (13/8).
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya