Studi IMF: Uang Digital Datang, Uang Tunai Terancam Hilang
Merdeka.com - International Monetary Fund (IMF), dalam studi terbarunya, menemukan potensi hilangnya uang tunai dengan produk digital (cryptocurrency) di masa depan. Salah satu yang terimbas ada pada dana simpanan di bank.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tobias Adrian dan Tommaso Mancini-Griffoli ini dirangkum dalam dokumen The Fintech Note berjudul The Rise of Digital Money dan dipublikasikan Senin lalu.
Isinya, memperlihatkan betapa ketatnya persaingan perusahaan teknologi dengan perbankan dan perusahaan kartu kredit.
-
Apa itu Rupiah Digital? Rupiah Digital merupakan uang Rupiah yang memiliki format digital.
-
Mengapa transaksi digital penting untuk ekonomi digital? Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk digital ekonomi senilai 800 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp12.096,8 triliun.
-
Mengapa BI mengembangkan Rupiah Digital? Selain menjadi mata uang yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal dalam ekosistem digital di masa depan, Rupiah Digital juga menjadi solusi yang memastikan Rupiah tetap menjadi satu-satunya mata uang yang sah di NKRI.
-
Apa yang ingin didalami Komisi XI DPR terkait mata uang digital? 'Setelah berjalan selama 4 bulan, apa saja hasil evaluasi dan tantangan Bank Sentral Spanyol terkait percobaan tersebut. Lalu, kapan kira-kira waktu yang tepat untuk menerapkan CBDC sepenuhnya di Spanyol.
-
Bagaimana proses pengembangan Rupiah Digital? Setelah penerbitan White Paper, BI akan menempuh rangkaian pengembangan secara interatif dan bertahap. Tahapannya dimulai dengan menggalang pandangan publik terhadap desain Rupiah Digital.
-
Bagaimana adopsi teknologi mendorong harga kripto? Misalnya pengenalan DeFi (Decentralized Finance), NFT (Non-Fungible Tokens) atau layer 2 scaling solutions di Ethereum sering kali menarik perhatian investor. Ketika koin tertentu mendapatkan manfaat langsung dari inovasi teknologi tersebut, minat pasar terhadap koin tersebut meningkat.
Dikutip dari Coindesk, Rabu (17/7), sang penulis menyebutkan format uang digital semakin diminati oleh konsumen dan pembuat kebijakan. "Uang konvensional bersaing ketat dengan uang elektronik, di mana uang tunai bisa disimpan dalam uang digital ini dengan nilai kurs yang disesuaikan," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Demi menjaga eksistensi, perbankan disarankan untuk berinovasi dan menawarkan keunggulan yang tidak dimiliki uang elektronik dan uang digital.
Masih Dipertanyakan Stabilitasnya
Meski begitu, format uang elektronik masih dipertanyakan stabilitasnya. "Memang mempermudah transaksi, namun jika pelanggan menyimpan 10 euro, dia juga harus mendapat 10 euro di masa depan," tulis peneliti.
Selain itu, makalah ini juga membahas tentang i-money yang memungkinkan pertukaran uang digital dengan uang kertas.
Peneliti langsung tertuju pada mata uang kripto besutan Facebook, Libra, yang berpotensi jadi i-money baru. Sebab, Libra bisa ditukar dengan mata uang pemerintah.
"Koin Libra dapat ditukar ke dalam mata uang kertas kapan saja dari nilai yang sedang berjalan dari portofolio yang mendasarinya, tanpa jaminan harga apa pun," lanjutnya.
Butuh Peran Bank Sentral
Di sini, peran bank sentral sebagai pengendali terbentuknya uang elektronik masa depan sangat dibutuhkan. Tujuannya agar persaingan bisnis di lapangan tetap sehat.
"Salah satu solusinya adalah menawarkan akses penyedia uang elektronik baru terpilih ke cadangan bank sentral, meskipun dalam kondisi yang ketat. Melakukan hal itu menimbulkan risiko, tetapi juga memiliki berbagai keuntungan."
Makalah ini juga mengusulkan solusi yang berbeda, yaitu synthetic CBDC (sCBDC), di mana bank sentral akan menawarkan layanan penyelesaian kepada penyedia uang elektronik, termasuk akses ke cadangan bank sentral. Namun, semua fungsi lain akan menjadi tanggung jawab penyedia uang elektronik swasta berdasarkan peraturan.
sCBDC akan menjadi model yang lebih murah dan sedikit beresiko. Dengan konsep ini, sektor swasta masih memungkinkan untuk berinovasi dan berinteraksi dengan pelanggan. Sementara bank sentral memberikan rasa kepercayaan dan efisiensi pada pelanggan secara bersamaan.
"Tidak kalah pentingnya, bank-bank sentral di beberapa negara dapat bermitra dengan penyedia uang elektronik untuk secara efektif menyediakan mata uang digital bank sentral (CBDC) atau versi digital dari uang tunai," saran peneliti.
Reporter: Athika RahmaSumber: Liputan6
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
BI menegaskan rupiah digital tidak akan menggantikan uang kertas dan koin yang ada saat ini
Baca SelengkapnyaTransaksi digital di Indonesia semakin pesat. Hal itu tercatat dalam laporan tahunan BI 2021.
Baca SelengkapnyaSaat ini masih di tahap penelitian dan akan menuju fase menengah.
Baca SelengkapnyaBank Indonesia bersama beberapa bank sentral di dunia sedang mengkaji untuk mengembangkan Rupiah Digital atau sering dikenal dengan CBDC.
Baca SelengkapnyaDalam industri keuangan, teknologi blockchain telah membuka jalan bagi konsep keuangan terdesentralisasi (DeFi).
Baca SelengkapnyaPenurunan suku bunga ini diperkirakan akan membawa dampak yang signifikan terhadap perekonomian global, termasuk di sektor kripto.
Baca SelengkapnyaNilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai USD 146 miliar pada tahun 2025. Angka tersebut menjadi yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Baca Selengkapnyatetap tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR).
Baca SelengkapnyaPertumbuhan pasar kripto di Indonesia dapat membuka lebih banyak peluang untuk inovasi di sektor keuangan digital di masa depan.
Baca SelengkapnyaTantangan selanjutnya yaitu rendahnya literasi keuangan digital.
Baca SelengkapnyaPenurunan tersebut menempatkan Ethereum pada titik terendah terhadap Bitcoin dalam hampir tiga tahun terakhir.
Baca SelengkapnyaKetidakpastian ekonomi global membuat masyarakat melakukan langkah masif yang makin memperburuk keadaan.
Baca Selengkapnya