Tarif interkoneksi turun, saham operator babak belur
Merdeka.com - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bobby Adhityo Rizaldi menyatakan rencana penurunan tarif interkoneksi bakal memukul nilai saham perusahaan operator telekomunikasi. Maka dari itu, dirinya meminta pemerintah mengkaji rencana ini secara seksama dengan mengedepankan rasa keadilan.
"Semuanya perusahaan publik, regulasi ini akan membuat satu pihak untung dan lainnya rugi, ujungnya saham publik akan turun. Ini yang harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah," kata Bobby di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/8).
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I DPR dengan seluruh operator telekomunikasi di Indonesia, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah mengatakan, penetapan tarif baru ini, menyalahi PP 52/2000 karena dianggap belum disetujui bersama oleh operator. Meski diakui, penurunan tarif ini memberikan biaya komunikasi murah untuk masyarakat.
-
Bagaimana saham bisa untung? Selain dividen, keuntungan lain yang dapat diperoleh berasal dari capital gain, yaitu selisih antara harga jual dan harga beli saham. Ketika harga saham meningkat, investor dapat menjualnya untuk meraih keuntungan.
-
Apa dampak sentimen negatif pada saham? Berbeda jika sentimen pasar mulai berubah ke arah negatif. Misalnya saat perusahaan terkena kasus yang membuat kepercayaan investor hilang. Mereka mungkin sesegera mungkin menjual sahamnya. Dengan pasokan saham berlebih, harga yang ditawarkan otomatis akan turun.
-
Bagaimana cara membuat kebijakan yang menguntungkan kedua pihak? Diperlukannya peran dari pemerintah untuk membuat kebijakan yang bisa memberikan keuntungan bagi kedua pihak.Serta tidak menyebabkan kerugian bagi penduduk dan alam.
-
Bagaimana inflasi memengaruhi saham? Misalnya, saham dapat berkinerja baik selama periode inflasi jika perusahaan menaikkan harga untuk mengimbangi biaya yang meningkat.
-
Siapa saja yang diuntungkan dari kerja sama ini? Kerja sama ini memberikan kemudahan tidak hanya bagi nasabah, tetapi juga bagi Prudential Indonesia dan Prudential Syariah dalam proses collection angsuran premi atau kontribusi asuransi.
-
Siapa saja yang berisiko? Salah satu kelompok yang berisiko tinggi mengalami sindrom ini adalah individu dengan jenis penyakit Parkinson yang dikenal sebagai sindrom corticobasal (CBS), di mana sekitar 30% dari mereka dapat mengalami AHS.
"Di satu sisi setuju agar para operator bisa memberikan harga terbaik bagi user, masyarakat. Tapi di sisi lain, salah satu pihak operator merasa dirugikan dan bisa mempengaruhi kinerjanya," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana memberlakukan tarif interkoneksi sebesar Rp 204, atau turun 26 persen dari sebelumnya. Menurut rencana, kebijakan ini mulai berlaku pada 1 September 2016 dan telah diinformasikan dalam Surat Edaran Kominfo No.115/M.Kominfo/PI.0204.08/2016.
Dirut Telkom Alex Sinaga dengan tegas menolak dan keberatan atas Surat Edaran (SE) Kementerian Komunikasi pada 2 Agustus 2016 tentang penurunan biaya interkoneksi dari Rp 250 menjadi Rp 204. Penolakan dan keberatan itu sudah disampaikan secara tertulis oleh Telkom Group termasuk Telkomsel kepada kementerian. Namun hingga saat ini belum mendapat tanggapan dari kementerian.
"Biaya interkoneksi baru itu (Rp 204), jelas merugikan Telkom, mengingat cost recovery kami, menurut perhitungan konsultan, adalah Rp 285. Sebab kami membangun jaringan sampai ke pelosok Tanah Air, sedangkan operator lain membangun cuma di kota saja. Kenapa diperlakukan sama," ujar Alex Sinaga.
Jika Telkom Group keberatan dan menolak, pada sisi berbeda, empat operator lainnya, yakni XL Axiata, Indosat Ooredoo, Smartfren, Hutchison Tri Indonesia berargumen penurunan biaya interkoneksi sebesar 26 persen atau setara Rp 46 itu masih terlalu kecil. Keempat operator itu mengharapkan penurunan biaya interkoneksi lebih besar lagi. Sebab cost recovery mereka sangat rendah, yakni Indosat hanya Rp 86, XL Rp 65, Smartfren Rp 100, dan Tri Rp 120.
Alexander Rusli, Dirut Indosat Ooredoo, menyatakan penurunan tarif interkoneksi adalah untuk memberi kesempatan kepada operator selain Telkom Group untuk berkembang.
"Kalau tarif interkoneksi turun, kami bisa memberikan layanan lain yang lebih menarik untuk pelanggan. Interkoneksi masih menjadi barrier, sehingga harga murah kepada pelanggan pada daerah-daerah tertentu bersifat terbatas," ujar Alex.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Industri halo-halo sedang tidak baik-baik saja. Pemerintah harus hadir dengan terobosan regulasi.
Baca SelengkapnyaKondisi operator seluler di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Baca SelengkapnyaTransaksi akuisisi Tiktok terhadap Tokopedia bukan semata-mata demi pelaku usaha kecil-menengah dan produk dalam negeri.
Baca SelengkapnyaTak mudah bagi industri telekomunikasi untuk menatap masa depan. Butuh bantuan pemerintah agar bisnis mereka terus berkelanjutan.
Baca SelengkapnyaSemakin tingginya harga rokok mendorong perokok pindah ke alternatif rokok yang lebih murah.
Baca SelengkapnyaBeban operator seluler selama ini sungguh berat. Tidak hanya bisnisnya saja, namun 'upeti' yang mesti dibayarkan ke pemerintah pun makin bengkak.
Baca SelengkapnyaPemerintah terlalu memberatkan keuangan perusahaan telekomunikasi dengan biaya penggunaan frekuensi yang semakin naik.
Baca SelengkapnyaTerdapat 7 sektor industri yang dikenai patokan harga gas di bawah harga keekonomian, senilai USD 6 per mmBtu.
Baca SelengkapnyaSederet komponen biaya yang membuat harga tiket pesawat mahal.
Baca SelengkapnyaAda banyak tugas menanti Menkominfo pilihan Presiden Prabowo, salah satunya di sektor telekomunikasi.
Baca SelengkapnyaSigit menyampaikan bahwa kajian itu masih dilakukan seiring dengan usulan dari maskapai penerbangan melalui Indonesia National Air Carrier Association (INACA).
Baca SelengkapnyaKenaikan harga minyak akan berpengaruh besar pada harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia.
Baca Selengkapnya