Virus Corona Buat Pendapatan Negara Turun 10 Persen
Merdeka.com - Pandemi Corona covid-19 masih menyerang seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Pandemi ini membawa situasi dalam dua krisis sekaligus yaitu ekonomi dan kesehatan.
Oleh karenanya, pemerintah terus menggulirkan berbagai kebijakan sebagai upaya menekan risiko dari penyebaran Corona covid-19, sehingga dampak kesehatan dan ekonomi bisa diminimalisir.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu memprediksi pertumbuhan pendapatan negara akan minus 10 persen akibat pandemi ini.
-
Apa dampak pandemi Covid-19? Pandemi Covid-19 mengubah tatanan kesehatan dan ekonomi di Indonesia dan dunia. Penanganan khusus untuk menjaga keseimbangan dampak kesehatan akibat Covid-19 serta memulihkan ekonomi harus dijalankan.
-
Siapa yang mengalami penurunan kekayaan? Pada awal Desember 2023, harta kekayaan Hartono Bersaudara anjlok. Beberapa konglomerat Indonesia terpantau mengalami kenaikan nilai kekayaannya. Prajogo Pangestu, Low Tuck Kwong, hingga Sri Prakash Lohia merupakan segelintir konglomerat yang mengalami kenaikan harta. Kendati demikian, kekayaan Hartono bersaudara terpantau mengalami penurunan.
-
Bagaimana Niko mengatasi penurunan omzet saat pandemi? Niko yang semula pasrah, akhirnya mulai menyadari potensi besar dari teknologi ini ketika dia mengunjungi sebuah tempat produksi DTF di Jakarta.
-
Apa pertumbuhan ekonomi RI di Kuartal II-2023? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
-
Bagaimana pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II-2023? “Bila dibandingkan dengan triwulan II-2022 atau secara year on year tumbuh sebesar 5,17 persen,“ kata Deputi Bidang Neraca dan Analis Statistik BPS Moh Edy Mahmud saat Konferensi Pers di Jakarta, Senin.
-
Mengapa penerimaan cukai rokok turun? Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
"Pertumbuhan pendapatan negara akan minus 10 persen, penerimaan pajak rasio juga akan rendah, bisa turun sangat dalam. Pendapatan non-pajak juga akan sangat defisit terlalu dalam," kata dia dalam video konferensi Indonesia Macroeconomy Update, Senin (20/4).
Adapun rinciannya, penerimaan pajak DJP tumbuh - (minus) 5,9 persen. Hal tersebut karena adanya penurunan pertumbuhan ekonomi dan perang harga minyak.
Selain itu, juga karena adanya fasilitas pajak insentif tahap II (PMK 23/2020), relaksasi pajak tambahan, pengurangan tarif PPh Badan menjadi 22 persen, serta potensi penundaan PPH deviden karena Omnibus Law.
Pendapatan bea dan cukai tumbuh -2,2 persen, dengan memperhitungkan dampak stimulus pembebasan bea masuk untuk 19 industri.
Kemudian, dalam paparan juga dirincikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tumbuh -26,5 persen dengan memperhitungkan dampak migas yang turun karena perubahan asumsi ICP yang lebih rendah, dan SDA Non-migas yang turun karena penurunan harga batu bara.
Tekanan Luar Biasa pada APBN
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati melakukan pembahasan dengan Komisi XI DPR mengenai kondisi APBN akibat pandemi Covid-19 membuat pendapatan negara anjlok.
Dalam paparannya, Sri Mulyani menyatakan adanya tekanan yang luar biasa terhadap APBN 2020.
"APBN alami tekanan luar biasa, penerimaan turun banyak karena sejumlah sektor mengalami tekanan dalam. Outlook kita, APBN 2020, penerimaan akan kontraksi. Outlook hingga hari ini pendapatan negara hanya Rp 1.760,9 triliun," papar Sri Mulyani, Senin (6/4).
Dalam paparannya, Sri Mulyani membeberkan kondisi secara garis besar APBN 2020, di antaranya pendapatan negara turun Rp472,3 triliun dari target Rp2.233,2 triliun menjadi Rp1.760,9 triliun.
Belanja negara mengalami kenaikan, dari Rp2.540,4 triliun menjadi Rp2.613,8 triliun. Dari angka tersebut, maka defisit akan naik dari Rp307,2 triliun (1,76 persen dari PDB) menjadi Rp 853 triliun (5,07 persen dari PDB).
"Ini akibat langkah-langkah karena work from home (WFH) dan social distancing. Juga kebutuhan untuk melindungi dunia usaha, sebabkan kenaikan kebutuhan untuk mendorong dan melindungi dunia usaha baik dalam bentuk pajak maupun tambahan pemberian relaksasi," jelas Sri Mulyani.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pada APBN 2019, defisit sebesar Rp348,7 triliun atau 2,20 persen terhadap PDB.
Baca SelengkapnyaPendapatan negara jika dibandingkan tahun sebelumnya mengalami penurunan yakni 7,6 persen secara tahunan
Baca SelengkapnyaPer Agustus 2024, posisi utang Indonesia berada di angka Rp8.461,93 triliun, setara dengan 38,49 persen dari PDB.
Baca SelengkapnyaPenurunan pendapatan negara terutama disebabkan oleh turunnya harga komoditas, khususnya batubara dan CPO.
Baca SelengkapnyaAPBN pada Juli mengalami defisit Rp93,4 triliun atau 0,41 persen dari PDB.
Baca SelengkapnyaRealisasi pendapatan negara pada Mei 2024 tersebut anjlok 7,1 persen secara year on year (yoy).
Baca SelengkapnyaDengan capaian ini, untuk keseimbangan primer mengalami surplus mencapai Rp122,1 triliun.
Baca SelengkapnyaSri Mulyani merinci, penerimaan pajak terbesar disumbang Pajak penghasilan (PPh) Non Migas mencapai Rp593,76 triliun.
Baca SelengkapnyaKenaikan tarif PPN tersebut diproyeksikan berdampak negatif terhadap ekonomi baik pertumbuhan ekonomi, inflasi, upah riil buruh.
Baca SelengkapnyaTerdapat penurunan nilai penerimaan pajak hingga April 2024.
Baca SelengkapnyaPajak penghasilan (PPh) non migas terkontraksi sebesar 5,41 persen dengan realisasi sebesar Rp443,72 triliun, sekitar 41,73 persen dari target.
Baca SelengkapnyaJumlah penduduk kelas menengah tersebut menyumbang 21,45 persen dari proporsi penduduk.
Baca Selengkapnya