YLKI: Tidak Pantas Sembako Kena PPN, 1 Persen Pun Tak Layak
Merdeka.com - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menolak rencana pemerintah untuk mengenakan bahan pangan pokok atau sembako sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN). Bahkan, dengan besaran tarif 1 persen sekali pun.
"Saya kira dari sisi etika memang kurang pantas atau bahkan tidak pantas kalau kemudian (sembako) dikenakan tarif PPN. 1 persen pun tidak layak," kerasnya dalam diskusi virtual Polemik Trijaya, Sabtu (12/6).
Sebab, menurut Tulus, efek dari pengenaan tarif PPN terhadap kelompok sembako akan menyebabkan terjadinya penyesuaian harga. Sehingga, dapat membebani masyarakat selaku konsumen.
-
Kenapa Jokowi ingin hentikan penjualan bahan mentah? 'Karena pak Jokowi mengatakan kepada saya, 'mas Bowo mas Bowo Menhan tidak mungkin Indonesia makmur kalau kita jual bahan-bahan kita murah ke luar negeri,' ujar dia.
-
Siapa pelopor pajak penjualan? Romawi Kuno disebut sebagai pelopor aturan pajak penjualan (kini PPN di Indonesia). Aturan ini diterapkan oleh penguasa Romawi Kuno saat itu, Julius Caesar yang menerapkan pajak penjualan dengan tarif tetap 1% di seluruh wilayah kekaisaran.
-
Mengapa YLKI mendukung aturan baru BPOM? 'YLKI mendukung inisiatif ini sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan konsumen dan memastikan produk yang beredar di pasaran aman dikonsumsi,' katanya.
-
Bagaimana Kemendag mengontrol harga barang kebutuhan pokok? Kementerian Perdagangan turut andil dalam penurunan laju inflasi di tahun 2023, yakni pihaknya rutin melakukan kunjungan ke pasar-pasar di tanah air untuk memantau stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan pokok.
-
Siapa yang mendorong penerapan cukai? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama mendorong upaya pemerintah untuk menekan konsumsi gula.
-
Siapa Ketua Dewan Syuro PKB? Diketahui, Ma'ruf Amin kembali dipercaya menjabat Ketua Dewan Syuro DPP PKB berdasarkan hasilMuktamar ke-VI yang digelar di Nusa Dua Bali, Minggu (25/8) lalu.
Padahal, saat ini, konsumen masih menanggung sejumlah permasalahan terkait sembako. Diantaranya tingginya biaya logistik hingga distribusi yang tidak merata.
"Itu jadi beban yang berat bagi masyarakat dan kemudian memukul daya beli," bebernya.
Maka dari itu, dia mendesak pemerintah untuk lebih fokus memperbaiki sistem logistik agar lebih efisien hingga pemerataan distribusi ketimbang mengenakan pajak untuk sembako. Dengan begitu, konsumen akan memperoleh manfaat berlipat atas penurunan harga dan ketersediaan pasokan bahan pangan.
"Karena dalam melihat suatu (perbaikan) komoditas bukan hanya soal harga. Tetapi efek lainnya juga," tukasnya.
(mdk/did)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen.
Baca SelengkapnyaPemerintah masih punya cukup anggaran sisa dari tahun sebelumnya untuk membiayai negara, di luar harus mendongkrak PPN.
Baca SelengkapnyaKenaikan PPN tersebut akan memperparah kondisi ekonomi masyarakat kecil dan buruh di tengah kenaikan upah yang minim.
Baca SelengkapnyaPresiden KSPI Said Iqbal mengatakan kenaikan UMP membuat buruh susah.
Baca SelengkapnyaMenteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai masyarakat selama ini hanya fokus pada kenaikan tarif PPN.
Baca SelengkapnyaPKB paham pemerintah butuh penguatan APBN, namun situasi ekonomi sekarang belum tepat.
Baca SelengkapnyaPembelian beras di ritel modern kini dibatasi maksimal 15 kg per transaksi.
Baca SelengkapnyaKenaikan tarif PPN tersebut diproyeksikan berdampak negatif terhadap ekonomi baik pertumbuhan ekonomi, inflasi, upah riil buruh.
Baca SelengkapnyaKetua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman memandang, bahwa aturan ini seakan-akan menjadikan gula sebagai barang haram.
Baca SelengkapnyaPengenaan cukai berpotensi mengerek harga jual minuman berpemanis. Bahkan, kenaikan harga bisa menyentuh hingga 30 persen.
Baca SelengkapnyaPadahal, buruh menuntut kenaikan UMP hingga 15 persen di tahun depan.
Baca SelengkapnyaKenaikan tarif PPN menjadi 12 persen jika diakumulasi dalam 4 tahun terakhir (2020-2025) sebenarnya naiknya 20 persen bukan 2 persen.
Baca Selengkapnya