Kesaksian perempuan Rohingya diperkosa 10 tentara Myanmar
Kesaksian perempuan Rohingya diperkosa 10 tentara Myanmar. Sebuah wawancara yang dilakukan lembaga pembela hak asasi Human Rights Watch (HRW) terhadap 52 perempuan Rohingya mengungkapkan fakta baru tentang kejahatan seksual oleh pasukan militer Myanmar.
Sebuah wawancara yang dilakukan lembaga pembela hak asasi Human Rights Watch (HRW) terhadap 52 perempuan Rohingya mengungkapkan fakta baru tentang kejahatan seksual oleh pasukan militer Myanmar.
Pasukan militer secara sistematis melakukan kejahatan seksual, termasuk pemerkosaan, terhadap perempuan dan juga anak-anak di Negara Bagian Rakhine. Bahkan terkadang aksi keji tersebut dilakukan secara terang-terangan dan disaksikan oleh anggota keluarga lain.
Dari 52 perempuan itu, 29 di antaranya mengaku telah diperkosa. Namun hanya satu orang yang mengaku diperkosa secara bergilir oleh 10 tentara. Dia adalah HS, perempuan 15 tahun berasal dari desa Hathi Para, Maungdaw.
"Pakaian saya dilucuti oleh 10 tentara yang kemudian memperkosa saya," ungkapnya, seperti dilansir dari laman Sky News, Kamis (16/11).
"Saat kakak laki-laki dan perempuan saya datang untuk menjemput, saya tengah berbaring di tengah lapangan. Mereka mengira saya sudah meninggal," lanjutnya.
Banyak korban selamat yang melarikan diri dari negara tersebut mengatakan bahwa mereka mengalami hari-hari yang berat usai diperlakukan tidak manusiawi oleh para tentara itu. Mereka harus berjalan berhari-hari dengan alat kelamin bengkak dan robek ke Bangladesh.
"Pemerkosaan telah menjadi ciri yang menonjol dalam kampanye pembersihan etnis Rohingya di Myanmar," kata Skye Wheeler, penulis laporan kelompok HAM itu.
"Tindakan kekerasan dan barbar yang mereka lakukan telah menyebabkan banyak perempuan dan anak-anak terluka secara fisik dan trauma berlebihan," tambahnya.
Laporan kelompok HAM yang berbasis di New York, Amerika Serikat, tersebut diungkapkan beberapa hari setelah utusan khusus PBB, Pramila Patten, meluncurkan penyelidikan tentang kekerasan seksual yang telah diperintahkan dan diatur oleh Angkatan Bersenjata Myanmar.
Hal ini juga mendorong Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata ke Myanmar dan memberi sanksi terhadap pemimpin militer karena dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia di sana, termasuk kekerasan seksual.