Mesir masuki masa kegelapan
"Sampai saat ini kami tidak tahu di mana presiden kami. Kami tidak tahu bagaimana kondisinya."
Jumat bulan lalu, jutaan pendukung Ikhwanul Muslimin mengobarkan kemarahan sekaligus meratapi kesedihan mereka lewat unjuk rasa besar-besaran di alun-alun Rabiah al-Adawiyah dan An Nahda. Mereka memprotes pembantaian terjadi dua hari sebelumnya.
Hari ini, jutaan penyokong Ikhwanul Muslimin barangkali bakal kembali mengucurkan air mata sekaligus murka setelah rezim militer dipimpin Jenderal Abdil Fatah al-Sisi membubarkan organisasi bentukan Hasan al-Bana pada 1928 itu.
"Keputusan menteri itu sebenarnya telah dikeluarkan, tetapi baru akan diumumkan awal pekan depan dalam jumpa pers," kata juru bicara Kementerian Solidaritas Sosial Hany Mahana seperti dilansir stasiun televisi Al Arabiya, Jumat (6/9), mengutip laporan surat kabar pemerintah Al-Akhbar.
Sisi rupanya mengikuti jejak para pendahulunya. Ketika Jamal Abdul Nasir berkuasa, Mesir membubarkan Ikhwanul Muslimin pada 1954. Sejak itu, kelompok ini dianggap sebagai entitas terlarang. Husni MUbarak juga mengambil langkah serupa: memberangus kegiatan Ikhwanul Muslimin dan menangkapi pimpinan mereka.
Militer rupanya tidak puas dengan sekadar menjatuhkan Muhammad Mursi, juga dari Ikhwanul Muslimin. Mereka menganggap Ikhwanul Muslimin berbahaya bagi stabilitas negara. Maklum saja, Ikhwanul Muslimin amat dekat dengan Hamas, musuh bebuyutan Israel yang telah berdamai dengan Negeri Piramida itu di masa Anwar Sadat berkuasa.
"Mesir sedang memasuki masa kegelapan. Situasinya bakal jauh lebih buruk ketimbang masa Husni Mubarak," kata Ahmad Fahmi al-Watidi dari Komite Hubungan Luar Negeri Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Ikhwanul Muslimin) menjawab pertanyaan merdeka.com kemarin saat bertemu Ketua Mahfudz Siddik, Komisi I Bidang Pertahanan dan Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di gedung DPR.
Militer telah menyabotase proses transformasi demokrasi di Mesir. Dimulai dengan menggulingkan Mursi lewat kudeta awal Juli lalu. Padahal Mursi adalah presiden sipil pertama terpilih melalui pemilihan umum langsung. Berlanjut dengan penutupan 12 media milik kelompok Islam dan terakhir melarang stasisun televisi Aljazeera beroperasi di negara itu.
"Sampai saat ini kami tidak tahu di mana presiden kami. Kami tidak tahu bagaimana kondisinya, apa yang dia makan, dan bagaimana dia hidup," ujar Watidi. "Keluarganya tak bisa menghubungi dia."
Meski begitu, Watidi menegaskan Ikhwanul Muslimin bakal terus berunjuk rasa hingga Mursi kembali menjabat meski risikonya dibantai. Dia mengklaim hingga kini lebih dari lima ribu orang terbunuh, 25 ribu cedera, dan sepuluh ribu anggota oposisi dipenjara.
Ironis memang. Mursi hanya bisa berkuasa setahun, sedangkan Mubarak cuma mendekam dua tahun di penjara. Kini keduanya berganti tempat. Mubarak bebas dari Penjara Tora dan Mursi menghuni tempat itu.