Perusahaan Misterius Bayar YouTuber untuk Kampanye Antivaksin Covid-19
Sebuah agen pemasaran misterius secara diam-diam menawarkan bayaran kepada para influencer media sosial untuk menyebarkan misinformasi soal vaksin Covid-19. Rencana mereka gagal ketika para influencer membongkar upaya tersebut.
Sebuah agen pemasaran misterius secara diam-diam menawarkan bayaran kepada para influencer media sosial untuk menyebarkan misinformasi soal vaksin Covid-19. Rencana mereka gagal ketika para influencer membongkar upaya tersebut.
“Berawal dari sebuah surel,” kata seorang YouTuber asal Jerman yang juga seorang jurnalis, Mirko Drotschmann, dikutip dari BBC, Selasa (27/7).
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Kenapa Situ Cipanten viral di media sosial? Tak ayal, lokasi wisata ini sempat viral di media sosial karena keindahannya, dan didatangi pengunjung dari berbagai daerah.
-
Kapan kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan? Presiden Jokowi mengumumkan hal ini pada 2 Maret 2020, sebagai kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
-
Kolak apa yang viral di Mangga Besar? Baru-baru ini ramai di media sosial war kolak di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat. Sebagaimana terlihat dalam video yang tayang di akun Instagram @noonarosa, warga sudah antre sejak pukul 14:00 WIB sebelum kedainya buka.
-
Di mana kasus Covid-19 pertama di Indonesia terdeteksi? Mereka dinyatakan positif Covid-19 pada 1 Maret 2020, setelah menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta.
Mirko biasanya menolak tawaran brand yang memintanya untuk mengiklankan produk mereka kepada 1,5 juta subscribernya. Tapi tawaran sponsor yang dia terima pada Mei lalu tidak seperti yang lainnya.
Sebuah biro pemasaran influencer yang disebut Fazze menawarkan bayaran padanya untuk mempromosikan apa yang disebut informasi yang dibocorkan yang menyatakan angka kematian di antara orang yang menerima vaksin Pfizer hampir tiga kali lipat daripada mereka yang disuntik dengan vaksin AstraZeneca.
Informasi tersebut tidak benar.
Mirko segera memahami dia diminta untuk menyebarkan disinformasi untuk merusak kepercayaan publik terhadap vaksin di tengah pandemi.
Di Prancis, YouTuber sains Leo Grasset menerima tawaran serupa. Biro tersebut menawarkannya bayaran 2.000 Euro jika dia bersedia. Fazze mengatakan pihaknya merupakan perantara seorang klien rahasianya.
Leo menolak tawaran tersebut.
Baik Leo dan Mirko kaget dengan klaim palsu tersebut. Namun mereka pura-pura terlihat tertarik agar bisa mencari tahu lebih banyak terkait biro ini dan diberikan instruksi rinci terkait apa yang harus mereka sampaikan dalam video mereka.
Dalam bahasa Inggris yang kaku, arahan tertulis tersebut menginstruksikan mereka untuk “bertindak layaknya Anda bersemangat dan tertarik dengan topik ini.”
Mereka diminta jangan menyebut video tersebut bersponsor dan berpura-pura secara spontan memberikan saran kepada para penonton mereka.
Platform media sosial memiliki aturan yang melarang influencer menutup-nutupi bahwa sebuah konten disponsori. Di Prancis dan Jerman juga ilegal.
Dalam instruksinya, Fazze meminta para influencer membagikan cerita dari koran Prancis, Le Monde soal bocoran data dari Badan Pengawas Obat Eropa (EMA).
Cerita itu benar, tapi tidak memuat apapun soal kematian karena vaksin. Tapi dalam konteks ini, kisah itu memberikan kesan yang salah soal statistik angka kematian yang berasal dari kebocoran data tersebut.
Data yang diminta untuk dibagikan oleh para influencer sebenarnya telah dikumpulkan dari berbagai sumber dan diambil di luar konteks. Data itu berisi jumlah orang yang meninggal di beberapa negara beberapa waktu setelah menerima vaksin Covid yang berbeda. Tapi hanya karena seseorang meninggal setelah menerima vaksin bukan berarti mereka meninggal karena vaksin. Mereka bisa jadi meninggal karena kecelakaan.
Di negara-negara dari mana statistik itu bersumber, jumlah orang yang menerima vaksin Pfizer lebih banyak pada waktu itu, sehingga diperkirakan lebih banyak orang yang meninggal setelah mendapat suntikan Pfizer.
"Jika Anda tidak memiliki pelatihan ilmiah, Anda bisa mengatakan, 'oh, ada angka-angka ini, mereka benar-benar berbeda. Jadi pasti ada kaitannya.' Tetapi Anda dapat membuat korelasi palsu apa pun yang Anda inginkan,” kata Leo.
Influencer juga diberikan daftar tautan untuk dibagikan - artikel meragukan yang semuanya menggunakan kumpulan angka yang sama yang diduga menunjukkan bahwa vaksin Pfzer berbahaya.
Ketika Leo dan Mirko mengungkap kampanye Fazze di Twitter, semua artikel, kecuali cerita Le Monde, menghilang dari web.
Dengan ukuran apa pun, kampanye disinformasi itu ceroboh.
Sejak Leo dan Mirko mengungkap tawaran tersebut, sedikitnya empat influencer lainnya di Prancis dan Jerman mengungkapkan mereka juga telah menolak upaya Fazze untuk merekrut mereka.
Tapi jurnalis asal Jerman, Daniel Laufer, mengidentifikasi dua influencer yang mengambil tawaran tersebut. Mereka adalah YouTuber India, Ashkar Techy yang biasanya membuat video lelucon soal mobil dan pacaran, dan tukang prank asal Brasil, Everson Zoio, yang memiliki lebih dari 3 juta pengikut di Instagram.
Masing-masing mereka mengunggah video yang tidak seperti biasanya di mana mereka mendorong pesan yang sama dengan kampanye Fazze dan membagikan tautan berita palsu dari instruksi agensi tersebut, Keduanya juga pernah mengikuti promosi Fazze sebelumnya.
Setelah Daniel Laufer menghubungi mereka, Everson Zoio dan Ashkar Techy menghapus video mereka tapi tidak menjawab pertanyaan Laufer. BBC berusaha menghubungi kedua influencer tersebut tapi mereka tidak menanggapi.
BBC juga berusaha mengirim surel ke orang yang menghubungi Mirko dan Leo. Surel tersebut dibalas tapi bukan dari Fazze, melainkan dari domain sebuah perusahaan yang disebut AdNow.
Fazze merupakan bagian AdNow, yang merupakan perusahaan pemasaran digital, terdaftar di Rusia dan Inggris.
BBC telah melakukan berbagai upaya untuk menghubungi AdNow melalui telepon, surel, dan bahkan surat yang diantar ke kantor mereka di Moskow, tapi mereka tidak merespons.
BBC akhirnya menghubungi Ewan Tolladay, satu dari dua direktur AdNow di Inggris, yang tinggal di Durham.
Tolladay mengatakan dia tidak ada hubungannya dengan Fazze - yang katanya adalah usaha patungan antara sesama direktur - seorang pria Rusia bernama Stanislav Fesenko - dan orang lain yang identitasnya tidak dia ketahui.
Dia mengatakan tidak menjadi bagian dari kampanye disinformasi. Dia bahkan mengaku tidak tahu Fazze telah mengambil kontrak sebelum cerita itu terungkap. Dia tidak bisa menjelaskan kepada BBC siapa klien misterius itu.
Dia mengatakan sehubungan dengan skandal itu "kami melakukan hal yang bertanggung jawab dan menutup AdNow di Inggris". Dia mengatakan Fazze juga ditutup.
BBC juga berusaha menghubungi Fasenko tapi gagal.
Pihak berwenang Prancis dan Jerman telah meluncurkan penyelidikan terkait upaya Fazze mendekati para influencer. Tapi identitas klien misterius Fazze masih belum jelas.
Ada spekulasi terkait koneksi Rusia dengan skandal ini dan kepentingan negara Rusia dalam mempromosikan vaksinnya, Sputnik V.
Juru bicara bidang kebijakan luar negeri Partai Hijau Jerman, Omid Nouripour menduga ada motivasi Moskow di balik kampanye Fazze.
“Menjelek-jelekkan vaksin di Barat merusak kepercayaan pada demokrasi kita dan seharusnya meningkatkan kepercayaan pada vaksin Rusia, dan hanya ada satu sisi yang diuntungkan dan itu adalah Kremlin.”
Namun dalam sebuah pernyataan, kedutaan Rusia di London mengatakan: "Kami memperlakukan Covid-19 sebagai ancaman global dan, dengan demikian, tidak tertarik untuk merusak upaya global dalam memeranginya, dengan memvaksinasi orang dengan vaksin Pfizer sebagai salah satu cara untuk mengatasi virus."
Ketika kampanye Fazze gagal, Leo Grasset percaya itu tidak akan menjadi upaya terakhir untuk menggunakan kekuatan influencer untuk menyebarkan disinformasi.
"Jika Anda ingin memanipulasi opini publik, terutama bagi kaum muda, jangan nonton TV,” ujarnya.
"Tinggal siapkan uang yang sama untuk pembuat TikTok, pembuat YouTube. Seluruh ekosistem dibangun dengan sempurna untuk efisiensi disinformasi maksimum saat ini."
(mdk/pan)