Vaksin DBD bermasalah, Filipina minta ganti rugi Rp 1,1 Triliun
Filipina juga meminta perusahaan pembuat vaksin Dengvaxia, Sanofi Pasteur, membiayai perawatan dan pengobatan orang-orang yang jatuh sakit usai diimunisasi.
Pemerintah Filipina mengatakan bakal meminta ganti rugi USD 69,5 juta (sekitar Rp 1,1 triliun) kepada perusahaan pembuat vaksin Demam Berdarah Dengue bermarkas di Pennsylvania, Amerika Serikat, Sanofi Pasteur. Penyebabnya adalah vaksin yang diberikan dalam program imunisasi di Filipina justru membuat sejumlah penduduk jatuh sakit.
Menurut Menteri Kesehatan Filipina, Francisco Duque III, langkah bakal ditempuh adalah meminta anak perusahaan obat Sanofi asal Prancis itu bertanggung jawab membiayai pengobatan penduduk negara itu yang malah jatuh sakit usai diberi vaksin DBD, Dengvaxia. Jika tidak dituruti, maka pemerintah Filipina bakal menggugat korporasi itu.
"Kami minta uang PHP 3 miliar yang sudah dibayarkan untuk membeli Dengvaxia supaya dikembalikan. Kami juga meminta Sanofi menyediakan biaya buat ongkos perawatan dan pengobatan terhadap seluruh anak yang malah memburuk setelah diimunisasi," kata Duque, dilansir dari laman Associated Press, Jumat (8/12).
Kementerian Kesehatan Filipina sejak akhir tahun lalu menggelar program imunisasi DBD. Vaksin itu diberikan kepada sekitar 730 ribu anak-anak berusia minimal sembilan tahun ke atas. Perusahaan pembuatnya mengklaim kalau vaksin itu aman bagi manusia berumur sembilan hingga 45 tahun. Namun, dari hasil penelitian terbaru terungkap kalau vaksin itu tidak bisa diberikan kepada orang-orang yang belum pernah terjangkit DBD. Sebab, dalam jangka waktu tiga tahun setelah disuntik, maka orang-orang sebelumnya tidak pernah mengidap DBD dipastikan terkena penyakit itu.
Duque menyatakan, setidaknya ada beberapa kasus anak-anak yang jatuh sakit karena DBD setelah diimunisasi. Namun, mereka berangsur-angsur pulih.
Sanofi Pasteur menyatakan mereka bakal membantu pemerintah Filipina. Sedangkan Duque menyatakan sudah mengadukan masalah itu kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan masih menunggu rekomendasi pakar.