Wanita Prancis bertemu lagi dengan putrinya usai diculik militan
Putri Meriam Rhaiem dikatakan diculik oleh ayahnya sendiri dan dibawa ke Suriah untuk bergabung dengan Front Al-Nusra.
Seorang ibu muda asal Prancis, di mana putrinya telah diselundupkan oleh ayahnya ke luar negeri dan mungkin ke Suriah, akhirnya bertemu kembali dengan anaknya masih berusia dua tahun itu di Turki. Ini kata seorang sumber dekat dengan menteri dalam negeri Prancis kemarin.
Meriam Rhaiem, 25 tahun, menjadi berita utama pada Maret lalu ketika dia membuat imbauan emosional kepada otoritas Prancis untuk mencari bayi perempuannya, yang dikatakan sebagai "sandera paling muda asal Prancis", seperti dilansir stasiun televisi Al Arabiya, Rabu (3/9).
Rhaiem, yang tinggal di timur Prancis, mengatakan dia yakin suaminya, yang juga warga Prancis dan tengah dicari di bawah surat perintah penangkapan internasional, berada di Suriah di mana dia berusaha untuk bergabung dengan para militan.
Suami Rhaiem ditangkap akhir pekan lalu bersama putri mereka, Assia, di Turki, tempat di mana dia masih ditahan, kata sumber kementerian. Dikatakan Rhaiem dan putrinya sudah terbang kembali ke Prancis pada Selasa malam waktu setempat menggunakan pesawat disewa kementerian dalam negeri.
Sang suami gagal untuk membawa pulang putrinya setelah menghabiskan beberapa hari dengan dia pada bulan Oktober tahun lalu, dan telah meninggalkan Prancis melalui jalan darat menuju Turki, di mana dia kerap menelepon istrinya secara teratur dan meminta dirinya untuk datang bergabung dengan mereka.
Dia juga mengatakan berencana untuk menyeberang ke Suriah dengan putri mereka untuk bergabung dengan Front Al-Nusra, kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaidah di Suriah.
Menurut pengacara Rhaiem, Gabriel Versini-Bullara, suaminya menjadi radikal setelah bepergian ke Makkah. Suaminya juga meminta dirinya untuk mengenakan jilbab, mengkritik dia lantaran bekerja dan melarang dia bermain musik untuk Assia.
Seperti sejumlah negara Eropa lainnya, Prancis telah menyatakan keprihatinannya terhadap warganya yang meninggalkan negara itu untuk berperang di Irak dan Suriah, dengan kekhawatiran mereka bisa menimbulkan resiko keamanan dalam negeri jika kembali.
Menurut perkiraan resmi, sekitar 800 warga Prancis, termasuk belasan wanita, telah melakukan perjalanan ke Suriah, kembali dari negara yang sarat dengan konflik itu atau berencana pergi ke sana.
Prancis meluncurkan peraturan pada Juli lalu ditujukan untuk menghentikan para calon militan dari bepergian ke Suriah.
Ini termasuk larangan bepergian ke luar negeri hingga enam bulan bagi orang yang dicurigai radikal dan berwenang untuk sementara waktu menyita dan membatalkan paspor mereka.