Cerita Alex Kawilarang Versus Perwira Tentara Elite Belanda
Dikenal tegas dan pemberani, Alex Evert Kawilarang tak segan-segan menghadapi siapapun. Seorang kolonel dan letnan Belanda pun pernah disemprotnya.
Dikenal tegas dan pemberani, Alex Evert Kawilarang tak segan-segan menghadapi siapapun. Seorang kolonel dan letnan Belanda pun pernah disemprotnya.
Penulis: Hendi Jo
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang dilakukan seniman AI itu pada tokoh-tokoh sejarah? Gambar-gambar tersebut menunjukkan Mahatma Gandhi dalam avatar berotot, Albert Einstein dengan tubuh kekar, dan Rabindranath Tagore memamerkan fisik berototnya.
-
Bagaimana cara sejarawan menentukan kebenaran sebuah peristiwa sejarah? Sejarah menggunakan metode ilmiah dan analisis kritis untuk menilai keandalan sumber dan menyusun narasi yang berdasarkan bukti.
-
Bagaimana K.H. Abbas Abdul Jamil melawan penjajahan? Salah satu yang menjadi modalnya dalam melawan penjajah adalah menghidupkan kembali Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh ulama Aljazair, Syekh Abul Abbas Ahmad At-Tijani (1737-1815).Dalam gerakan ini, Kiai Abbas menyebarkan semangat mengedepankan syariat sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW dalam melawan tirani. Ada semangat kerasulan yang dibawa dalam gerakan ini, agar penjajahan yang memperbudak dan menyengsarakan rakyat dihapuskan.
-
Kapan Djamaluddin Adinegoro lahir? Gunakan Nama Samaran Djamaluddin Adinegoro lahir di Talawi, sebuah kecamatan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada 14 Agustus 1904.
Pada suatu hari di tahun 1947. Fotografer Alex Mendoer dari IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) ditugaskan meliput perundingan mengenai rencana gencatan senjata antara militer Belanda yang diwakili oleh Kolonel A.A.J.J. Thomson dengan Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang dari TRI (Tentara Republik Indonesia) di Cianjur.
Karena saat itu tidak ada kendaraan yang menuju arah kota tersebut, maka Alex Mendoer meminta tumpangan kepada Kapten Dhoste, anggota Komisi Jasa-Jasa Baik asal Prancis, yang juga akan menghadiri perundingan itu.
Sepanjang jalan, Dhoste menyampaikan kekagumannya terhadap beberapa perwira TRI. Terutama Komandan Brigade II Suryakancana yang tak lain adalah Letnan Kolonel Alex Kawilarang. Menurutnya, Kawilarang mencerminkan seorang tentara yang tegas, disiplin dan berani.
"Dia betul-betul seorang prajurit tulen…" kata Dhoste seperti termaktub dalam buku Alexius Impurung Mendoer karya Wiwi Kuswiah
Bisa jadi pendapat Kapten Dhoste itu memang tidak berlebihan. Alex Kawilarang memang tidak segan untuk berlaku tegas dan berani tanpa pandang bulu. Bahkan kepada para perwira Belanda sekali pun.
Adu Mulut soal Senjata
Seperti dicatat dalam sebuah dokumen Kementerian Pertahanan Belanda yang mencatat notulensi pertemuan yang digagas oleh Komisi Jasa-Jasa Baik, antara Letnan Kolonel Kawilarang dengan Kolonel Thomson di Maseng (Bogor Selatan) pada 18 Februari 1947.
Awalnya, Thomson memperingatkan Kawilarang agar dalam pertemuan selanjutnya dia bisa datang tepat waktu. Kepada komandan TRI yang bertanggungjawab di wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur itu, Thomson juga menyatakan protes terhadap perwira-perwira TRI yang kerap membawa senjata dalam setiap perundingan. Termasuk hari itu.
"Bukankah di pertemuan-pertemuan sebelumnya kita masing-masing membawa senjata?" ujar Kawilarang.
"Ya, tapi kita tidak bisa melihat hal-hal yang sudah terjadi. Tatap saja hal-hal yang akan terjadi…" jawab Thomson.
"Ya tidak bisa begitu. Kita juga harus melihat apa yang sudah terjadi…" tegas Kawilarang.
Thomson pun langsung terdiam.
Debat dengan Perwira Pasukan Elite Belanda
Pada kesempatan lain, yakni saat memimpin brigade-nya turun gunung untuk melakukan hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, Kawilarang juga terlibat perdebatan panas dengan seorang perwira KST (Korps Pasukan Khusus) bernama Letnan H.J.C. Ulrichi.
Ceritanya, sebelum bertolak ke Cirebon, pasukan Kawilarang harus menunggu terlebih dahulu di Purabaya (suatu kawasan dekat Cimahi). Selama di sana, mereka dikawal secara ketat oleh satu kompi baret hijau dari KST (Korps Pasukan Khusus) yang dipimpin Letnan Henk Ulrici.
Ulrici yang merupakan tangan kanan Kapten R.P.P. Westerling merupakan perwira yang sombong dan dikenal kejam jika berhadapan dengan TNI dan gerilyawan Republik. Terhadap musuh-musuhnya itu dia memiliki pendirian: kami tidak pernah memelihara tawanan, kami mencari mereka memang untuk dibunuh.
Singkat cerita, karena merasa berlarut-larut dan tidak pasti, pada suatu kesempatan Kawilarang mendatangi Ulrichi. Secara baik-baik dia bertanya. Kapan kira-kira pasukannya akan dibawa ke Cirebon? Alih-alih dijawab baik-baik juga, Ulrici malah berkata dengan ketus.
"Ya spoedig. Maar die gekke Kapitein Soegih Arto heft zich nog niet over gegeven en wij weten niet waar hij is ( Ya, secepatnya, tetapi Si Gila Kapten Soegih Arto--Komandan Batalyon 22--itu belum menyerah dan kami tidak tahu di mana dia sekarang)," jawabnya.
Mendengar jawaban itu, Kawilarang berang. Dihampirinya Ulrici lebih dekat. Dengan suara perlahan namun tegas, Kawilarang membentak balik komandan Baret Hijau Belanda itu.
"Heh! Kepergian Siliwangi tidak ada hubungannya dengan kata 'menyerah'! Ini adalah atas dasar perjanjian Indonesia dengan Belanda! Letnan, kalau bicara harus hati-hati dan jangan berteriak-teriak kepada saya!" kata Kawilarang seperti dikisahkan Soegih Arto dalam otobiografinya, Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto.
Belum habis emosi Kawilarang memarahi Ulrici, tiba-tiba seorang sersan Baret Hijau berteriak bahwa satu pasukan TNI lagi telah masuk asrama. Tetapi yang membuat Kawilarang bertambah berang, Si Sersan yang orang Minahasa itu (satu etnis dengan Kawilarang) menyebut para prajurit TNI itu sebagai para perampok atau (rampokers).
"Kawilarang mendatangi sersan itu dan langsung mencaci makinya," kenang Soegih Arto.