Tony Wen: Jejak Pejuang Kemerdekaan, Pendiri Barisan Pembrontak Tionghoa
Tidak hanya mendirikan organisasi Tionghoa pro Indonesia, Tony juga ikut mencari senjata dan memfasilitasi Presiden Republik Indonesia.
Tidak hanya mendirikan organisasi Tionghoa pro Indonesia, Tony juga ikut mencari senjata dan memfasilitasi Presiden Republik Indonesia.
Penulis: Hendi Jo
-
Apa yang dilakukan seniman AI itu pada tokoh-tokoh sejarah? Gambar-gambar tersebut menunjukkan Mahatma Gandhi dalam avatar berotot, Albert Einstein dengan tubuh kekar, dan Rabindranath Tagore memamerkan fisik berototnya.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana cara Gereja GPIB Immanuel di Medan melestarikan nilai sejarahnya? Diketahui, Gereja GPIB Immanuel sudah didaftarkan dan ditetapkan menjadi salah satu Cagar Budaya di Kota Medan pada tahun 2021 lalu.
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Bagaimana sejarah Lembah Anai terbentuk? Konon, dulunya air terjun ini menjadi saksi bisu pergerakan rakyat Minang dalam melawan penjajahan. Pada masa kolonial, masyarakat setempat dipaksa untuk menjadi pekerja membangun jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antara Kota Padang dan Padang Panjang via Lembah Anai.Masyarakat Minang yang bekerja dalam proyek pembangunan jalan tersebut harus menempuh jarak yang cukup jauh, bahkan bisa berhari-hari dari tempat mereka tinggal menuju lokasi pembangunan jalan.
Foto usang itu berbicara banyak. Seorang lelaki Tionghoa berparas tegas dengan sorot mata tajam tengah mengepalkan tangan kanannya. Sementara seorang pemuda Tionghoa lainnya melakukan gerakan hormat secara militer dengan menggunakan sebatang bambu runcing. Siapakah orang-orang itu?
Mereka tak lain adalah anggota BPT (Barisan Pembrontak Tionghoa). Sedangkan lelaki berparas tegas itu bernama Tony Wen, sang pendiri organisasi militan Tionghoa pro Indonesia itu.
Dalam otobiografinya Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, Adam Malik menyebut Tony sebagai patriot Republik Indonesia. Bersama eks tentara Inggris asal India, beberapa warga Malaysia dan Dr. Estrada dari Filipina, pada awal revolusi bergulir, Tony membentuk apa yang dinamakan sebagai International Volunteer Brigade.
"Mereka bahu membahu dengan rakyat dan tentara kita mempertahankan kemerdekaan negara proklamasi," ungkap tokoh pemuda era revolusi tersebut.
Guru Olahraga jadi Pejuang
Tony Wen lahir di Bangka pada 1911. Nama sejatinya adalah Boen Kim To. Ketika beranjak dewasa, Tony sempat hijrah ke Jakarta. Di sana dia menjadi guru olahraga di Sekolah Pa Hoa. Karena kecintaan-nya kepada sepakbola, Tony sempat terdampar di Solo dan menjadi pemain terkemuka di UMS dan PERSIS Solo.
Saat revolusi bergejolak di kota tersebut pada 1945-1946, orang-orang Tionghoa kerap dijadikan kambing hitam oleh para pejuang Indonesia. Itu terjadi karena ulah sebagian dari mereka yang secara tegas memilih berpihak kepada Belanda. Maka kerap kali terjadi praktik kekerasan yang ditujukan kepada orang-orang Tionghoa.
Tony yang merasa tidak seperti 'para pengikut Belanda' itu kemudian berinisiatif mengumpulkan orang-orang Tionghoa lainnya untuk membulatkan tekad berjuang di belakang Sukarno-Hatta. Maka pada 1946, berdirilah BPT sebagai organ perjuangan kaum Tionghoa melawan tentara pendudukan Belanda di Solo.
Menurut jurnalis sejarah Iwan Santosa, ketika pemerintah Republik Indonesia di bawah Perdana Menteri Mohamad Hatta merestui ide A.A. Maramis berdagang candu di pasaran internasional, Tony Wen dipilih sebagai operatornya. Dia ada di bawah pengawasan Mukarto Notowidagdo dan Soebeno Sosrosepoetr.
"(Di lapangan) Tony dibantu Karkono Komajaya," ungkap Iwan dalam buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia.
Tony yang memiliki jaringan luas di Asia Tenggara terbukti sukses mengemban tugas itu. Diawali aksi perdana pada 7 Maret 1948, Tony dan Karkono berhasil mengangkut setengah ton candu dari Pantai Popoh di selatan Kediri. Mereka melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok guna menghindari patroli Belanda yang memblokade Jawa dan Sumatra. Setelah beberapa kali menghindari pertemuan dengan patroli Belanda, pada 13 Maret 1948, Tony dan Karkono berhasil sampai di Singapura.
Dalam aksinya, mereka dibantu oleh John Lie (perwira Angkatan Laut Republik Indonesia) yang juga memiliki tugas yang sama seperti Tony dan Karkono. Selanjutnya, beberapa kali mereka sukses mengirim berton-ton candu hingga akhirnya Tony tertangkap oleh Polisi Inggris di Singapura.
Membantu Bung Karno
Kendati ada dalam tahanan Inggris, Tony masih sempat membantu Presiden Sukarno saat dia ditahan di Bukit Menumbing (Muntok). Dia minta kepada keluarganya yang ada di Muntok untuk melayani keperluan Bung Karno. Sebagai catatan, Bung Karno sangat tidak percaya kepada pelayanan yang dilakukan oleh Belanda. Dia lebih memilih cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan pribadi selama ditawan Belanda.
Amung Chandra Chen (keponakan Tony Wen) membenarkan soal itu. Kepada Iwan Santosa, dia menyebut jika selama di Muntok, Bung Karno sangat tergantung kepada pelayanan mereka.
"Dari kiriman uang, baju, hingga cabut gigi, Bung Karno dilayani ayah saya atas perintah Tony Wen yang saat itu tengah bergerilya di luar Indonesia," ungkap Amung.
Setelah penyerahan kedaulatan, Tony baru bisa menghirup dunia bebas. Sebagai pengikut Sukarno, pada 1954-1956 Tony sempat aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) dan menjadi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) menggantikan tokoh Tionghoa lainnya, Yap Tjwan Bing.
Usai membaktikan dirinya sebagai anggota parlemen, pada 30 Mei 1963, Tony menghembuskan napasnya yang terakhir. Jasadnya kemudian dikebumikan di Pemakaman Menteng Pulo, Jakarta Selatan.