Cerita Waduk Pluit 'dijarah' warga
Pertama kali warga mulai memasuki area waduk sekitar pada tahun 1990-an.
Waduk Pluit kini tak sebesar dulu. Dari 80 hektar luas waduk, 20 hektarnya sudah beralih fungsi. Di pinggir-pinggir waduk tumbuh permukiman ilegal.
Dari pantauan merdeka.com, beberapa ruas di bibir waduk terdapat ratusan pemukiman warga dengan jenis bangunan semi permanen. Sebagian sudah ditinggalkan pemiliknya mengungsi dan sebagian warga masih bertahan.
"Ya itu ilegal, sebab berada dalam tembok waduk Pluit," ujar Koordinator Pengerukan Waduk Pluit, Heriyanto di Pluit, Jakarta Utara, Jumat (25/1).
Pertama kali warga mulai memasuki area waduk sekitar pada tahun 1990-an. Saat itu beberapa warga pendatang mulai membangun permukiman semi permanen dengan menjadikan tanggul waduk sebagai tempat penyangga bangunan.
"Dari satu-satu yah seperti itu jadinya bisa sampai seribu rumah. Mereka terus memakai lahan dari waktu ke waktu," imbuhnya.
Heriyanto menambahkan, karena waduk yang semakin menyempit karena pemukiman warga itu menghambat sterilisasi waduk di saat musim hujan tiba. Sedimentasi dan pendangkalan waduk pun terus terjadi. "Warga sendiri kurang tertib buang sampah kebanyakan di waduk," ungkapnya.
Saat ini, ketinggian air di waduk menurun antara 2-3 meter dari sebelumnya yang bisa mencapai 10 meter saat intensitas hujan tinggi. Menurut Heri, penyebab banjir bisa karena lumpur ataupun drainase yang terganggu."Bisa karena lumpur, sampah bisa juga karena permukiman warga," kata dia.
Untuk itu, lanjut Heriyanto dalam upaya mengurangi genangan akibat sampah di sekitar pintu masuk waduk, solusi pun dibuatkan dalam menghindari penumpukan sampah. "Karena sampah di pintu masuk sudah sesak sekali akhirnya air tidak masuk ke waduk. Sejak kemarin dibuatkan sodetan selebar 10 meter dengan kedalaman 5 meter," tutupnya.