Penjelasan Jaksa Agung ajukan banding atas vonis Ahok
Prasetyo menjelaskan, dalam SOP telah diatur pihak Kejagung harus mengajukan banding manakala terdakwa mengajukan banding ke Pengadilan. SOP itu sesuai surat edaran Jaksa Agung Indonesia nomor SE001 tahun 1995 tanggal 27 April 1995 tentang pedoman tuntutan pidana.
Jaksa Agung M Prasetyo memberikan penjelasan terkait banding yang dilakukan instansinya atas vonis kasus penodaan agama kepada Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Alasan pertama yakni menyangkut standar operasional prosedur (SOP).
Prasetyo menjelaskan, dalam SOP telah diatur pihak Kejagung harus mengajukan banding manakala terdakwa mengajukan banding ke Pengadilan. SOP itu sesuai surat edaran Jaksa Agung Indonesia nomor SE001 tahun 1995 tanggal 27 April 1995 tentang pedoman tuntutan pidana.
"Bahwa apabila terdakwa banding maka JPU harus meminta banding agar bila masih diperlukan dapat menggunakan upaya hukum kasasi," katanya saat rapat kerja dengan Komisi III di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/6).
Sebab, ada pula ketentuan pasal 43 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1995 tentang Mahkamah Agung yang mengatur terdakwa tidak bisa mengajukan kasasi atas kasusnya apabila tidak menggunakan upaya banding dan hanya menjadi terbanding.
"Apabila hanya menjadi terbanding dan tidak menggunakan upaya hukum banding maka terbanding tidak bisa mengajukan kasasi," jelasnya.
Alasan kedua, Prasetyo mengungkapkan, upaya banding dari kubu Ahok berbeda dengan yang diajukan pihak Kejaksaan. Banding yang diajukan Kejaksaan bertujuan untuk menguji ketepatan penerapan pasal dakwaan sekaligus kebenaran materil. Sebab, majelis hakim memvonis Ahok dengan pasal yang berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Pasal 156 KUHP yakni menimbulkan permusuhan terhadap golongan tertentu di wilayah negara Indonesia. Sementara majelis hakim memilih pasal 156a pasal penodaan agama sehingga dengan demikian ada perbedaan antara tuntutan penuntut umum dengan putusan hakim," terangnya.
"Dan untuk menguji ketepatan penerapan pasal dan keterbuktian dakwaan serta menguji kebenaran materil sesuai fakta dan bukti yang ditemukan persidangan maka upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi memang seyogyanya dilakukan atas perkara yang bersangkutan," sambung Prasetyo.
Namun, belakangan kubu Ahok telah mencabut bandingnya ke Pengadilan Tinggi. Dengan melihat sikap Ahok, JPU tengah mempertimbangkan dan mengkaji banding yang diajukan.
"JPU saat ini sedang mengkaji kembali dengan seksama dan komprehensif untuk menentukan sikap yang akan diambil terhadap upaya banding yang disampaikan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut," ujarnya.
Tim JPU memperhatikan kaidah dan tujuan penegakan hukum sebagai bahan kajian. Pihaknya ingin memastikan keputusan vonis Ahok tidak hanya menegakkan kebenaran tetapi juga melihat aspek manfaat.
"Yang jadi bahan kajian adalah sebuah kaidah tujuan hukum dan penegakan hukum bukanlah untuk sekedar menegakkan kebenaran, keadilan, tapi juga memperhatikan nilai kemanfaatannya," ungkapnya.
Di samping itu, lanjut Prasetyo, dasar hukum mengajukan banding dilatarbelakangi kekhawatiran akan mudahnya menuntut dan melontarkan tuduhan ke pihak lain. Bahkan implikasi yang lebih luas yaitu membuat seseorang atau kelompok mudah menghakimi pihak lain yang dianggap menghina tokoh tertentu.
"Bahwa melakukan penodaan terhadap agama yang hal tersebut tidak mustahil dapat berkembang lebih luas dengan menuduh dan menghakimi orang lain karena dianggap telah menghina atau melecehkan tokoh yang diidolakannya. Sekarang ini sudah mulai nampak kebenarannya," tutupnya.