Ribut Rizal Ramli vs Ahok tak kunjung usai gara-gara Pulau G
Rizal Ramli mengaku bingung dengan sikap Ahok yang ngotot melanjutkan reklamasi Pulau G.
Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli soal penghentian reklamasi Pulau G makin memanas. Ahok ngotot untuk melanjutkan proyek reklamasi teluk Jakarta tersebut.
Ahok melawan keputusan tiga menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menko Rizal, keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya tak digubris Ahok.
Bahkan, Ahok mengklaim telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mempertanyakan apakah penghentian reklamasi Pulau G tersebut atas instruksi Presiden atau tidak.
"Esensinya, jangan cengenglah jadi orang. Masa segala macem mau diaduin sama Presiden," sentil Rizal kepada Ahok.
Ahok berang dan tidak terima dibilang 'cengeng' oleh Menko Rizal. Mantan Bupati Belitung Timur itu lagi-lagi membawa nama Presiden dan berdalih bila masalah penghentian reklamasi seharusnya mendapat persetujuan Presiden Jokowi.
Rizal Ramli mengaku bingung dengan sikap Ahok. Menurut Rizal, yang berang atas penghentian reklamasi Pulau G itu sebenarnya bukan Ahok melainkan pengembang.
"Harusnya Ahok bersyukur masalah ini diambil alih pemerintah. Saya juga bingung kenapa dia ngotot, dia gubernur DKI atau karyawan pengembang?" ujar Rizal di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (19/7).
Presiden, kata Rizal tak perlu terlibat dalam menyelesaikan polemik penghentian reklamasi Pulau G. Persoalan ini cukup ditangani satu menteri.
"Satu menteri saja sudah cukup untuk menghentikan, menteri lingkungan hidup misalnya, atau menteri kelautan. Nah ini tiga menteri dan satu Menko," jelas Rizal.
Menteri memiliki kewenangan dengan kebijakannya masing-masing. Kata Rizal, para menteri berhak memberikan keputusan untuk tak melanjutkan pembangunan proyek reklamasi Teluk Jakarta.
"Masing-masing menteri memiliki kewenangan yang dilindungi UU, misalnya untuk daerah pelabuhan itu kewenangan menteri perhubungan, wilayah laut itu kewenangan menteri kelautan dan perikanan, lingkungan hidup itu kewenangan menteri lingkungan hidup dan kehutanan," terang Rizal.
Oleh karena itu, alangkah eloknya bila Ahok tak ngotot melanjutkan proyek reklamasi. Proyek yang syarat dengan suap itu dianggap membahayakan dengan beragam dampak negatifnya.
Rizal menambahkan, kebijakan penghentian reklamasi Pulau G sudah sangat tepat untuk menyejahterakan nelayan tradisional. Apalagi jaringan pipa gas di bawah Pulau G sangat berbahaya jika dilakukan reklamasi.
"Ada jaringan pipa gas. Aturan internasional dan aturan dari pemerintah itu kalau ada jaringan pipa gas di bawah laut, 500 meter kiri kanan itu harus tidak boleh ada struktur," tandasnya.
Seperti diketahui, pengembang Pulau G yang merupakan anak perusahaan Agung Podomoro Land, PT Muara Wisesa Samudera, dinilai melakukan pelanggaran berat karena membangun di atas jaringan kabel listrik milik PT PLN (Persero). Pulau itu juga dinilai mengganggu lalu lintas kapal nelayan yang seharusnya bisa dengan mudah berlabuh di Muara Angke.
Berdasarkan analisa Komite Gabungan, reklamasi Pulau G juga dibangun sembarangan secara teknis karena dampaknya yang merusak lingkungan hingga membunuh biota laut.
Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) mengingatkan ancaman krisis listrik DKI Jakarta akibat proyek reklamasi. Proyek reklamasi berpotensi mengganggu sistem pipa gas PHE ONWJ ke PLTG Tanjung Priok dan Muara Karang.
"PLTG ini salah satu penyuplai listrik DKI Jakarta," ujar Communication and Relation Manager PHE ONWJ, Donna Priadi, saat ditemui di Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/7).
Perusahaan saat ini tengah melakukan kaji risiko akibat proyek reklamasi. Jika sudah mendapatkan hasil, perusahaan akan melaporkan hasil kajian pada SKK Migas. Rencananya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok turut akan dilaporkan mengenai potensi bahaya ini.
"Pertama-tama tentunya kita akan lapor ke SKK Migas. Nanti dilihat apakah perlu diteruskan ke Pemda DKI. Seharusnya mereka (Pemda DKI) juga sudah mengetahui hal ini (potensi bahaya)," tuturnya.