Harmoni Bulan Syawal, Warisan Walisongo untuk Sucikan Diri Lahir Batin
Dakwah Walisongo di Nusantara adalah representasi Islam yang terbuka bersinggungan dengan budaya masyarakat lokal. Dakwah keagamaan mereka menekankan bahwa Islam sama artinya dengan harmoni sosial.
Secara umum, Idulfitri biasanya dirayakan selama dua hari yakni pada tanggal 1 dan 2 Syawal. Namun, di Pulau Jawa ada tradisi bernama kupatan atau lebaran ketupat. Tradisi ini digelar sepekan setelah hari raya Idulfitri sebagai wujud harmoni sosial.
Masyarakat biasanya berkumpul di suatu tempat, seperti musala atau rumah tokoh setempat untuk melakukan selamatan. Mereka membawa hidangan ketupat dan sayur. Di beberapa daerah, masyarakat juga melengkapi ketupat sayur dengan lontong dan lepet, kue berbahan utama ketan yang dibungkus janur.
-
Kapan Yogyakarta mendapatkan status istimewa? Status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri punya sejarah yang panjang. Sejarahnya bahkan sudah dimulai jauh sebelum undang-undangnya disahkan pada tahun 2012. Bahkan status keistimewaan itu sejatinya telah diperoleh sebelum kemerdekaan.
-
Apa yang istimewa dari Yogyakarta? Pada zaman pendudukan Jepang, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta disebut dengan istilah Yogyakarta Kooti.
-
Bagaimana Yogyakarta mendapatkan status istimewa? Sejak pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949, Yogyakarta yang sejak tahun 1946 menjadi ibu kota negara hanyalah sebuah negara bagian di bawah naungan Republik Indonesia Serikat (RIS).
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Siapa yang menunjuk Sitor Situmorang menjadi koresponden Waspada di Yogyakarta? Pada tahun 1947, Sitor di tunjuk oleh Menteri Penerangan, Muhammad Natsir untuk menjadi koresponden Waspada di Yogyakarta.
-
Apa nama surat kabar pertama yang terbit di Jogja? Melalui sebuah unggahan pada 9 Mei 2024, akun Instagram @sejarahjogya menampilkan dua surat kabar yang pertama kali terbit di Jogja. Koran satu bernama “Mataram Courant” dan satunya lagi bernama “Bintang Mataram”.
Hidangan-hidangan tersebut merupakan bentuk syukur umat muslim setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan sebulan penuh. Bahkan, sebagian kaum muslim menyempurnakannya dengan puasa sunah enam hari di bulan Syawal.
Kupat dalam bahasa Jawa dikenal sebagai akronim dari kalimat “ngaku lepat” yang artinya “mengakui kesalahan”. Saling berbagi kupat atau ketupat di bulan Syawal menjadi simbol pengakuan kesalahan dan kekurangan diri masing-masing terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga, dan sesamanya.
Proses Pembuatan Kupat
shutterstock
Kupat terbuat dari beras yang dibungkus dengan selongsong anyaman janur atau daun kelapa muda. Di perdesaan, masyarakat terampil membuat sendiri selongsong kupat. Bahkan, banyak warga desa yang mendadak jadi pengrajin selongsong kupat menjelang lebaran ketupat. Pasalnya, tidak semua orang dapat membuat selongsong kupat, diperlukan keterampilan khusus agar menghasilkan selongsong kupat yang bagus penampilannya.
Selanjutnya, selongsong kupat diisi dengan beras yang sebelumnya telah direndam air. Kupat yang telah terisi beras direbus selama beberapa jam hingga matang. Makanan ini biasanya disajikan bersama sayur pelengkap seperti opor ayam.
Adapun isi ketupat berwarna putih melambangkan kesucian hati manusia karena yang bersangkutan telah meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan kepada orang lain. Janur atau daun kelapa yang masih muda disebut merupakan akronim jatining nur atau hati nurani.
Di berbagai daerah, ketupat identik sebagai sajian khas Lebaran. Lebih dari pada sekadar kuliner, bagi masyarakat Jawa ketupat memiliki makna mendalam.
Makna Segi Empat Kupat
Kupat juga diartikan sebagai laku papat yang disimbolkan dengan bentuk persegi empat, seperti dikutip dari laman resmi Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember (INAIFAS). Laku papat atau empat tindakan yang dimaksud meliputi lebaran, luberan, leburan, dan laburan.
Lebaran bermakna diperbolehkannya menikmati makanan usai menjalani ibadah puasa Ramadan selama sebulan penuh. Luberan berarti meluber, yang menyimbolkan agar ikhlas melakukan sedekah bagaikan air yang meluber dari wadahnya.
Leburan berarti lebur atau habis. Manusia diharapkan saling memaafkan dosa-dosa yang telah dilakukan. Dengan demikian, diri kembali suci seperti bayi baru lahir. Laburan berasal dari kata labur atau kapur yang dimaknai putih bersih. Manusia diharapkan selalu menjaga kesucian hati dengan menjaga perilakunya agar senantiasa baik dan tidak merugikan orang lain.
Jika ditarik jauh ke belakang, tradisi Kupatan yang menjadi sarana dakwah Islam oleh Walisongo juga memiliki makna dalam bahasa Arab. Kupatan dalam bahasa Arab disebut kaffatan, artinya kesempurnaan.
Harmoni Sosial ala Sunan Gresik
©2022 Merdeka.com/liputan6.com
Secara garis besar, dakwah Walisongo di Nusantara adalah representasi Islam yang terbuka bersinggungan dengan budaya masyarakat lokal. Dakwah keagamaan mereka menekankan bahwa Islam sama artinya dengan harmoni sosial.
Di Jawa Timur, kita mengenal Maulanan Malik Ibrahim atau Sunan Gresik yang senantiasa mengedepankan harmoni sosial dalam syiar Islam, seperti dikutip dari artikel Rikza Chamami yang berjudul Merawat Warisan Harmoni Sosial Wali Songo. Saat itu, masyarakat berpegang teguh pada keyakinan terhadap Dewa. Sunan Gresik tidak menyampaikan dakwah Islam dengan cara mengusik keyakinan masyarakat lokal tersebut, melainkan membiarkan keyakinan itu tetap berjalan sebagaimana adanya.
Saat masyarakat yakin meminta sesuatu kepada Dewa harus dengan tumbal menyembelih perawan cantik, Sunan Gresik menggantinya dengan ayam. Rupanya permohonan yang dipanjatkan Sunan Gresik agar Yang Maha Kuasa menurunkan hujan terkabulkan. Peristiwa itu membuat masyarakat mulai mengikuti ajaran Islam yang dibawa oleh Maulana Malik Ibrahim dengan sukarela.