Ahok dan guncangan politik nasional
Jika Ahok-Heru menang, bukan hanya PDIP yang terpukul, tapi semua partai politik.
Banyak langkah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memicu decak kagum. Dialah tipikal gubernur ibukota yang tepat, jika merujuk keberhasilan Gubernur Ali Sadikin di masa lalu: tegas, keras, tanpa kompromi. Lebih dari Ali Sadikin, Ahok juga sering bikin geleng-geleng kepala: to the point, pedas, pongah.
Ahok telah menghabisi berbagai macam mafia di Jakarta: birokrasi, anggaran, tanah, pasar, hiburan, sampai sampah dan prostitusi. Kejujuran, keterbukaan, dan tiada utang budi adalah modal Ahok sehingga sanggup keras dalam berkata-kata dan tegas dalam bertindak. Kemampuannya memahami seluk beluk pemerintahan, membuatnya tidak ragu mengambil setiap kebijakan.
Pengalaman Ahok sebagai Bupati Belitung Timur, anggota Komisi 2 DPR dari Fraksi Partai Golkar, dan anggota DPP Partai Gerindra, turut membantunya paham seluk beluk dunia politik. Ahok dengan cepat bisa mengidentifikasi berbagai macam watak politisi: baik, setengah baik, pura-pura baik, agak buruk, buruk, buruk sekali.
Semua itulah yang melatari mengapa Ahok berani mengambil jalan penuh risiko, maju sebagai pasangan calon perseorangan bersama Heru Budi Hartono dalam Pilkada DKI Jakarta, Februari 2017. Ini keputusan yang mengejutkan, karena selama ini Ahok tak hanya dapat sokongan PDIP dan Partai Nasdem, tetapi juga dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh.
Tak hanya membuat banyak politisi terheran-heran, putusan Ahok untuk menempuh jalur independen (atau perseorangan dalam bahasa undang-undang) atas dukungan komunitas Teman Ahok, juga membuat para politisi PDIP blingsatan. Mereka tidak bisa menutupi kemarahannya karena merasa dikhianati dan dilecehkan Ahok.
Dimajukannya kader PDIP Djarot Saiful Hidayat sebagai wakil gubernur untuk mendampingi Ahok – setelah dia dilantik untuk menggantikan Joko Widodo – adalah pilihan Ahok sendiri, meskipun secara internal DPD PDIP Jakarta sebetulnya ingin kader lain. Hubungan dan kerjasama Ahok-Djarot selama ini juga cukup baik, saling melengkapi, sehingga kinerja pemerintahan DKI meningkat pesat.
Dalam berbagai kesempatan, para politisi PDIP juga menunjukkan sinyal kuat, bahwa partainya akan mengusung kembali pasangan Ahok-Djarot dalam pilkada mendatang. Megawati pun tidak menyembunyikan hubungan dekat dan kepercayaannya pada Ahok.
Oleh karena itu, bagi politisi PDIP, juga politisi partai lainnya, bahkan bagi sejumlah pengamat, semuanya menjadi tidak masuk akal ketika Ahok bilang, tidak ada kepastian dirinya akan diajukan kembali oleh PDIP bersama Djarot.
Bagi politisi PDIP putusan Ahok untuk meninggalkan PDIP dan Djarot, bukan hanya pengkhianatan dan pelecehan, tetapi juga penentangan. Olah karena itu, PDIP pasti akan melakukan berbagai daya upaya untuk menghadapi Ahok dalam pilkada nanti.
Pada titik inilah akan terjadi dua front: pasangan calon perseorangan Ahok-Heru melawan pasangan calon yang diusung koalisi partai politik. Kalau pada Pilkada DKI Jakarta 2012 Jokowi-Ahok yang didukung PDIP dan Partai Gerindra menghadapi Fauzi Bowo dan Nachrowi yang didukung partai-partai politik lain, pada Pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok-Heru akan menghadapi pasangan calon yang didukung semua partai politik.
Koalisi semua partai itu bukan sekadar bertujuan mengalahkan Ahok-Heru di DKI Jakarta, tetapi juga hendak memberi pelajaran kepada siapa pun, bahwa partai politik tidak bisa diabaikan apalagi dilecehkan dalam perebutan kekuasaan. Bolehkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur perseorangan menang di Aceh, tetapi hal itu tidak boleh terjadi di daerah lain, apalagi DKI Jakarta. Sebab jika Ahok-Heru menang, hal itu tidak hanya membuat coreng moreng partai politik, tetapi juga menihilkan partai politik dalam perpolitikan daerah.
Pertarungan front partai melawan Ahok-Heru tidak harus menunggu datangnya masa kampanye dan pemungutan suara, tetapi sudah bisa dimulai pada saat Teman Ahok menggalang dukungan pencalonan. Sebagaimana diketahui, meskipun Teman Ahok sudah mengumpulkan sejuta dukungan untuk Ahok, namun dukungan itu belum bisa digunakan untuk mencalonkan pasangan Ahok-Heru, karena tidak ada nama Heru di dalamnya. Teman Ahok harus memulai menggalang dukungan kembali sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Peraturan KPU.
Nah, masalah serius bisa terjadi di sini: jika perubahan UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015 juga menyangkut tata cara pengumpulan dukungan calon perseorangan. Jika benar sampai ke wilayah itu, maka bukan tidak mungkin teknis pencarian dukungan berubah yang konsekuensinya juga mengubah Peraturan KPU. Sekali lagi ini akan berdampak pada kerja keras Teman Ahok untuk menggalang dukungan.
Jadi, pertarungan partai politik melawan Ahok-Heru dari perseorangan, bisa dimulai dari pembahasan perubahan UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015. Di sinilah Teman Ahok harus bergerak aktif agar DPR dan pemerintah tidak membuat ketentuan-ketentuan baru yang aneh semata-mata untuk menyulitkan majunya pasangan calon perseorangan.