Aturan ketat hindari monopoli siaran politik
Semua stasiun televisi harus memberi kesempatan bagi seluruh partai politik.
Belanja kotor iklan media di Indonesia terus meningkat. Nielsen Company Indonesia mencatat angkanya mencapai Rp 87,4 triliun sepanjang tahun lalu. Televisi meraup porsi terbesar, yakni 64 persen. Sisanya jatah surat kabar (33 persen) serta tabloid dan majalah (tiga persen). Cuma stasiun televisi pemerintah TVRI tidak mendapat rezeki nomplok ini.
Sayangnya, di tengah kabar menggembirakan itu, masih ada saja pemilik stasisun televisi menggunakan media mereka buat berkampanye bagi kepentingan pribadi atau partainya. Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto mengatakan harus ada aturan jelas bila Indonesia masih ingin disebut negara demokrasi.
"Apakah cukup demokratis dan adil, mentang mentang pengurus partai menggunakan waktu (frekuensi) yang ada untuk kepentingan mereka," katanya di Kantor Dewan Pers, awal bulan lalu.
Dia menegaskan stasiun televisi mesti memberikan slot sama untuk iklan dan berita semua partai peserta pemilihan umum. Hal ini biar masyarakat bisa mendapatkan referensi lebih beragam soal partai. "Media penyiaran harus memberikan kesempatan sama pada semua partai, tidak dimonopoli satu partai."
Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Ishadi S.K. mendukung pembuatan aturan mengenai iklan atau isi siaran kampanye partai politik. Dia yakin semua stasiun televisi bakal mematuhi panduan itu. "Televisi pasti mengikuti aturan karena yang mengontrol banyak. Kalau kita melanggar aturan penonton ribut," ujarnya.
Tetapi, kata Ishadi, pihaknya tidak bisa mengeluarkan aturan apakah iklan atau isi siaran politik harus bayar atau gratis. Alasannya, semua stasiun televisi saling bersaing.
Ignatius menyebutkan di Eropa, Amerika Serikat, bahkan Thailand, telah mengatur kepemilikan media. sehingga tidak bisa seenaknya mengisi konten media untuk kepentingan dirinya. "Lembaga yang mengatur serta mengontrol masalah ini juga dengan ketat mengawasi," ungkapnya.
Regulasi ketat diperlukan karena media penyiaran menggunakan ranah publik, jumlah frekuensi dipakai terbatas. Walau nantinya ada media digital dan siaran televisi memasuki ruang keluarga secara serentak tanpa diundang.