Sekjen AMAN:Political Will Pemerintah Terhadap Hukum Adat Sangat Rendah
MK telah memberikan koreksi terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
MK telah memberikan koreksi terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Sekjen AMAN:Political Will Pemerintah Terhadap Hukum Adat Sangat Rendah
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan koreksi terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Putusan MK No. 35/PUU/IX/2012 tersebut dianggap memberikan perubahan fundamental terhadap pengakuan keberadaan Masyarakat Adat beserta hak atas hutan adat di wilayah adatnya.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi menjelaskan ada dua hal penting yang diatur dalam Putusan MK 35 tersebut.
Pertama, masyarakat adat sebagai subjek hukum (penyandang hak) atas wilayah adatnya. Kedua, menyatakan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat yang berada di dalam wilayah adatnya.
Rukka mengatakan, Masyarakat Adat dianggap cakap melakukan perbuatan hukum dan memiliki otoritas mengatur sumber-sumber agraria di wilayah adatnya.
Selain dua hal tersebut, MK menyatakan juga menegaskan pentingnya pembentukan UU khusus tentang Masyarakat Adat. Sebelas tahun pasca keluarnya putusan tersebut belum menunjukkan perubahan secara signifikan.
Rukka menambahkan, memang banyak aturan turunan pasca keluarnya putusan tersebut. Namun peraturan tersebut dibuat menjadi sulit dan juga berbelit-belit.
"Aturannya kan banyak, tapi justru dibuat menjadi sulit dan berbelit-belit. Dari awal mereka sudah ada beberapa Permen (peraturan menteri) yang keluar tanpa evaluasi yang jelas lalu berubah-berubah terus permennya," kata Rukka di sela Seminar Nasional, di Rumah AMAN, Tebet, Jakarta, Senin (13/5).
Rukka menambahkan, berubah-ubahnya peraturan turunan tersebut membuat pihaknya kesulitan dalam melakukan pemetaan. Sehingga berdampak pada mangkraknya wilayah adat.
Hingga April 2024, AMAN mencatat terdapat 342 produk hukum daerah yang telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi Masyarakat Adat dan wilayah adat.
Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat atau BRWA sekurang-kurangnya terdapat 26,9 juta hektare wilayah adat dari seluruh nusantara yang telah teregistrasi di BRWA.
Dari jumlah tersebut, hanya 14 persen yang telah mendapatkan status pengakuan pemerintah melalui Kementerian LHK baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan total luas mencapai 221.648 ha.
Pada sisi lain, politik hukum terkait Masyarakat Adat dalam 10 tahun semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumberdaya alam mengandung unsur-unsur ‘penyangkalan’ yang kuat
terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Menurut Rukka, political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas.
Hal ini, ujar Rukka, tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat.
Bahkan, mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan.
"Berbagai usulan perubahan yang terus menerus disampaikan AMAN bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil antara lain melalui RUU Masyarakat Adat maupun usulan perubahan kebijakan yang lain selalu tidak mendapatkan respon yang memadai," ujar dia.
Rukka berharap, pemerintahan Prabowo Subianto segera mengembalikan wilayah-wilayah adat yang selama ini diklaim.
“Dan banyak di wilayah-wilayah itu yang sudah rusak dan masyarakat adat supaya kita bisa pulihkan kembali," ujar Rukka.
Sementara itu, Akademisi UGM, Dr. Yance Arizona mengatakan, pasca Putusan MK nomor 35, MK menghendaki hutan adat dipisahkan dengan hutan negara.
Menurut dia, MK memberikan bentuk kedaulatan Masyarakat Adat terhadap hutan adat itu yang sudah diakui. Tapi kemudian dalam porsesnya negara tidak sepenuhnya melepaskan itu kepada masyarakat adat.
“Karena masih ada kontrol-kontrol oleh negara termasuk misalkan dalam hal melakukan pembatasan-pembatasan tidak boleh dijualbelikan, ada fase mereka membutuhkan itu menjadi aset mereka bisa saja tidak mengubah fungsi padahal kalau dilihat masyarakat juga punya cara sendiri untuk menentukan fungsi-fungsi di wilayah mereka,” tegas Yance.
Yance menambahkan, bisa jadi problemnya adalah di fungsi negara. Misalkan negara sudah menjadikan lahan pertanian masyarakat menyebut hutan konservasi.
“Itu cari pemerintah mengkontrol wilayah itu,” tegas Yance.
Yance menjelaskan, dalam 11 tahun ini sebenarnya yang diperintahkan oleh undang-undang kehutanan kepada LKH itu membuat peraturan pemerintah tentang masyarakat adat sampai hari ini belum terjadi.
Menurut Yance, seharusnya membentuk itu tidak dijadikan skema perhutanan sosial. Tapi membentuk PP Masyarakat Adat diperintahkan oleh undang-undang kehutanan sampai sekarang sudah 25 tahun tidak ada PPnya.