Terusir dari Tanah Leluhur, Potret Kusam Masyarakat Adat Akibat Tak Punya Undang-Undang
Mereka tak menolak pembangunan, namun menyayangkan cara negara memperlakukan tanah leluhurnya
Mereka tak menolak pembangunan, namun menyayangkan cara negara memperlakukan tanah leluhurnya
Terusir dari Tanah Leluhur, Potret Kusam Masyarakat Adat Akibat Tak Punya Undang-Undang
15 tahun sudah Masyarakat Adat di Indonesia berada di titik nadir. Selama 1 dekade belakangan, telah terjadi perampasan wilayah adat sebesar 8,5 juta hektar dan 678 orang mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Hermina Mawa atau yang akrab dipanggil Mama Mince. Perempuan pejuang hak masyarakat adat dari Rendubutowe, Nagekeo NTT ini menceritakan, pengalaman mengalami tindakan represif aparat bersama puluhan perempuan adat lainnya.
Saat itu, mereka berusaha mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang akan diambil untuk alasan prouek strategis nasional.
"Tangan saya diborgol. Mereka ambil paksa tanah adat dengan alasan bangun waduk," ujar Hermina, Jumat (15/3).
Hermina sama sekali tidak menolak insiatif pembangunan pemerintah. Namun sayangnya, lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat.
"Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Kami sebagai perempuan merasa dinodai martabat karena mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami," ujar Mama Mince.
Serupa dengan Mama Mince, saksi fakta Effendi Buhing dari Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah, menceritakan, dirinya ditahan paksa dengan pengerahan pihak aparat secara berlebihan. Penahanan ini pun dilakukan dengan cara melawan prosedur penangkapan dan penahanan.
Effendi menjadi target penangkapan aparat atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu dirinya menjabat sebagai kepala desa.
"Tanah merupakan Ibu bagi kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui undang-undang menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?" tanya effendi Buhing.
Pengaturan terkait Masyarakat Adat dianggap tidak lengkap, tidak tepat, tumpang tindih serta tersebar dan persifat parsial di beberapa peraturan sektoral seperti Kehutanan, Konservasi, agraria dan lainnya telah menjadi penyebab dari tidak terlindunginya Masyarakat Adat.
Situasi ini menjadi ironi karena konstitusi dan berbagai instrumen hukum tentang hak asasi manusia memaparkan masyarakat adat sebagai kelompok yang identitas dan hak-hak tradisonalnya harus diakui dan dihormati.
Negara juga memiliki kewajibatan konstitusional untuk menghormati dan melindungo masyarakat adat.
Negara telah secara sadar bersikap diam dan mengabaikan serta mengambil jalan menunda nunda kewajibannya untuk melakukan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat hak-hak tradisionalnya.
Berlarut larutnya pembahasan dan pengesahan RUU masyarakat adat menjadi Undang-Undang adalah bukti yang tidak terbantahkan. Pengakuan negara adalah tuntutan yang sejak lama disuarakan oleh masyarakat adat.
Setelah 15 tahun, RUU masyarakat adat tidak kunjung ditetapkan menjadi UU, AMAN dan komunitas masyarakat adat memilih untuk menggugat Presiden dan DPR RI.
Kedua lembaga negara itu dianggap tidak melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan oleh UUD 1945 untuk membentuk UU, dalam hal ini masyarakat adat.
Gugatan ini dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan ini bertujuan DPR RI dan Presiden RI melaksanakan kewajibannya memberikan pengakuan dan perlindungan nyata adap Masyarakat Adat.
"Apa artinya situasi yang terjadi saat ini? Kami (Masyarakat Adat) terusir dan tersingkir dari tanah leluhur vang diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun lalu, jauh sebelum negara ini terbentuk. Fakta tersebut tidak dipandang serius oleh negara, malah diperumit dengan persyaratan yang pada faktanya berimbas minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap kami," kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Rukka menjadi salah satu pihak pengugat selain & penggugat lainnya yang berasal dari komunitas masyarakat adat di Indonesia.
Untuk keperluan tahapan ini, dihadirkan bukti surat, saksi fakta dan juga keterangan ahli dari semua pihak untuk didengar oleh Majelis Hakim.
Sebagai pihak Penggugat, selain AMAN, permohonan gugatan berasal dari komunitas masyarakat adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai, masyarakat adat Osing di Banyuwangi, dan masyarakat adat O Hongana Manyawa, Halmahera. Sedangkan saksi fakta berasal masyarakat adat Dayak Iban, Semunying Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, perwakilan komunitas Dayak Tomun, Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah, Perwakilan masyarakat adat Rendubutowe, Nagekeo NTT, perwakilan masyarakat adat dari Manggarai, NTT; dan pendamping komunitas masyarakat adat O Hongana Manyawa Tobelo Dalam dari Maulu Utara.
"Apa yang kami alami, lihat, dengar dan ketahui sebagai saksi penting untuk didengar di muka persidangan serta publik agar semua pihak mengetahui dan memahami bahwa konteks Masyarakat Adat bukanlah perihal sederhana,” ujar Rukka.
Menurut Rukka, mengakui atau menghormati Masyarakat Adat bukan saja sekadar menghargai tarian, makanan, motif pakaian.
Rukka menambahkan, tidak juga dengan menggunakan pakaian-pakaian adat dalam upacara kenegaraan semata.
Lebih dalam dari itu, seharusnya dilakukan negara adalah pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak-hak sebagai Masyarakat Adat termasuk di antaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri sendiri.
“Pengakuan dan perlindungan ini tidak saja untuk keberlangsungan hidup kami sebagai Masyarakat Adat, tetapi juga menyangkut masa depan Indonesia yang beragam," jelas Rukka.