Kisah Hendrikus Woro, Pejuang Hutan Adat Suku Awyu Melawan Perusahaan Kelapa Sawit di Papua Selatan
Hendrikus Woro tengah berjuang mempertahankan tanah leluhurnya dari perambahan hutan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di sekitar kampungnya.
Hendrikus Woro tengah berjuang mempertahankan tanah leluhurnya dari perambahan hutan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di sekitar Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.
Kisah Hendrikus Woro, Pejuang Hutan Adat Suku Awyu Melawan Perusahaan Kelapa Sawit di Papua Selatan
Tak sebatas ucapan dan isapan jempol, Hendrikus yang kampungnya berjarak sekitar dua hari perjalanan dari pusat Ibu Kota Kabupaten Boven Digoel
mencari keadilan di pengadilan, bahkan sampai tingkat tertinggi, Mahkamah Agung.
Pemimpin marga Woro, bagian dari suku Awyu ini mengawali perjuangannya dengan mencari informasi tentang perizinan perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), hingga ke Komisi Informasi Publik. Dia menolak keberadaan perusahaan sawit itu di hutan adatnya, sampai berujung ke proses hukum lewat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.
Namun hakim PTUN Jayapura itu pun tak berpihak kepada Hendrikus. Gugatannya ditolak.
Tak patah arang, Hendrikus pun terus memperjuangkan hak masyarakat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka hingga ke PTUN Manado. Namun, upaya banding, dengan materi gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim, itu ditolak.
Kendati mengalami kekalahan beruntun, Hendrikus tak berhenti mencari keadilan demi mempertahankan hutan adatnya dari perusahaan sawit.
Kamis, 14 Maret 2024, Hendrikus dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Mereka menyerahkan memori kasasi ke PTUN Jayapura.
Sejumlah anak muda adat pun turut menggelar aksi damai di PTUN Jayapura untuk mengiringi penyerahan memori kasasi tersebut.
"Kasasi menjadi pertarungan selanjutnya bagi masyarakat adat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka. Mahkamah Agung (MA) harus melihat gugatan ini dengan mengacu pada pedoman mengadili perkara lingkungan hidup yang mereka buat sendiri, agar dapat memberikan putusan yang adil bagi masyarakat adat Awyu," ucap Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.
Sebelumnya, majelis hakim PTTUN Manado menolak gugatan karena menganggapnya sudah melewati batas waktu.
Menurut majelis hakim, gugatan Hendrikus Woro ke PTUN Jayapura melebihi tenggat 90 hari sejak diketahuinya objek sengketa, yakni izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Hendrikus Woro mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura pada 13 Maret 2023.
Penghitungan hari oleh majelis hakim itu dipertanyakan sebab mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan kalender khusus yang ditetapkan Gubernur Papua, yang memiliki libur Natal lebih panjang ketimbang kalender nasional. Gugatan juga telah melalui proses pemeriksaan dismissal di PTUN Jayapura, dinyatakan diterima, dan tak melewati batas waktu kedaluwarsa.
Ihwal batas waktu pengajuan gugatan, Pasal 18 ayat 2 Perma 1 Tahun 2023 memuat frasa "atau sejak mengetahui adanya potensi atau terjadinya dampak lingkungan”.
Artinya, sebenarnya ada banyak pilihan bagi majelis hakim untuk menafsirkan tenggat waktu pengajuan gugatan. Hakim tata usaha negara (TUN), merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017, semestinya mengutamakan keadilan substantif dari pada keadilan formal. Sebab, fungsi hukum formal atau hukum acara adalah untuk menegakkan kaidah hukum material atau substantif.
"Jika hakim benar memiliki perspektif lingkungan, seharusnya mereka memilih ketentuan yang paling membuka peluang akses keadilan lingkungan." sebut Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.
"Pilihan hakim menggunakan ketentuan yang paling mudah justru menutup peluang keadilan lingkungan."
"Dan menunjukkan posisi hakim yang tidak memiliki perspektif perlindungan lingkungan," imbuhnya
Bukan cuma tak memiliki perspektif pelindungan lingkungan, tak satu pun anggota majelis hakim PTTUN Manado yang mengadili perkara tersebut memiliki sertifikasi hakim lingkungan. Ini juga bertentangan dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
"Ini artinya ada cacat formil dalam penanganan gugatan Hendrikus Woro, sebab seharusnya minimal satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan hidup," ungkap Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.