Bali surga LGBT
"Mereka tidak malu-malu ciuman," ujar Wayan.
Hujan deras masih mengguyur sekitar kawasan Denpasar ketika merdeka.com tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Meski bukan musim liburan, hiruk pikuk turis lokal maupun mancanegara memang tak pernah surut singgah di tempat tersohor Pulau Dewata ini. Jangan kaget jika banyak pelancong mondar-mandir turun dari pesawat buat menikmati pariwisata di Bali.
"Bulan ini sepi turis mas, karena belum musim liburan," ujar Wayan, seorang sopir taksi seraya mengantarkan merdeka.com ke kawasan Pantai Kuta buat mencari tempat penginapan, Minggu malam pekan lalu.
Kehadiran turis memang menjadi sumber rezeki bagi Wayan juga teman seprofesinya sebagai sopir taksi. Saban musim liburan, kawasan Kuta, Legian, Sanur, Denpasar sampai Seminyak menjadi tempat favorit bagi para pelancong. Namun di balik indahnya alam di Bali, pulau Dewata itu juga menjadi surga suburnya kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau di kenal dengan LGBT. Kawasan Seminyak salah satunya.
Di kawasan masuk wilayah Badung Utara, Kabupaten Badung ini berjejer club dan bar khusus LGBT. "Kalau daerah Seminyak itu, memang tempat homo mas," ujar Wayan.
-
Apa yang dimaksud dengan LGBTQ? LGBTQ adalah singkatan dari Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer. Ini merupakan sebuah kelompok atau komunitas yang mengarah pada jenis identitas seksual selain heteroseksual.
-
Kenapa penting untuk memahami LGBTQ? Penting bagi masyarakat untuk mnegedukasi diri sendiri terkait isu LGBTQ yang ada di masyarakat. . Dengan pemahaman ini, diharapkan setiap masyarakat bisa bijak dalam bersikap terhadap kelompok LGBTQ.
-
Kenapa gender dysphoria muncul? Timbulnya disforia gender sering terjadi pada masa kanak-kanak. Meskipun mekanisme pastinya tidak jelas, kita tahu bahwa anak-anak sudah diberi jenis kelamin sejak lahir. Jenis kelamin yang diberikan sejak lahir seharusnya menjadi penentu bagaimana mereka dibesarkan dan bagaimana orang lain berinteraksi dengan mereka. Seiring bertambahnya usia, mereka mungkin mulai merasakan ketidakcocokan antara identitas gender dengan jenis kelamin yang diberikan kepada mereka. Dalam beberapa kasus, ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan perasaan gender dysphoria.
-
Apa itu gender dysphoria? Gender dysphoria mengacu pada perasaan tertekan dan ketidaknyamanan yang dialami seseorang ketika jenis kelamin yang ditetapkan tidak sesuai dengan identitas gender yang mereka miliki.
-
Bagaimana istilah LGBTQ digunakan untuk mengakui dan menghormati keragaman? LGBTQ digunakan untuk mengakui dan menghormati keragaman identitas gender dan orientasi seksual, serta untuk memperjuangkan hak-hak, penerimaan, dan kesetaraan bagi individu-individu dalam kelompok ini.
-
Bagaimana konflik antar kelompok terjadi? Konflik adalah warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Ingatannya pun tertuju pada tamu pernah diantar Wayan menggunakan taksi dia kemudikan. Dari kaca spion, Wayan menyaksikan dua lelaki penumpang taksinya bercumbu. Satu lelaki orang Indonesia, sedangkan satunya lagi warga negara Prancis. Tanpa malu, keduanya mengumbar kemesraan. Wayan hanya terdiam.
"Mereka tidak malu-malu ciuman. Saya iseng cari jalan lobang, mereka kaget dan berhenti berciuman," katanya risih mengingat kejadian itu.
Memang bukan hanya sekali wayan mengantar penumpang suka sesama jenis dalam mobilnya. Saking banyaknya, jumlahnya pun dia tak ingat. Tetapi bagi Wayan, inilah Bali, surga wisata juga surga bagi kaum LGBT. Orang-orang seolah bebas melakukan apapun selama tidak melanggar aturan. Termasuk juga buat urusan seks, Bali bisa dibilang cukup toleran.
Musik disko terdengar samar-samar dari luar bar di Jalan Camplung Tanduk kawasan seminyak. Bagi orang Bali, kawasan ini memang sudah dimaklumi berisi kaum LGBT. Setidaknya ada empat tempat hiburan khusus kaum LGBT di kawasan ini. Saban malam, para gay baik lokal juga warga negara asing keluar masuk ke dalam bar. Mereka berkumpul menjadi satu. Tidak hanya kaum gay, ada pula kaum lesbi dan transgender. Tak jauh dari deretan bar itu, ada Pantai Doublesix. Pantai ini juga terkenal menjadi tempat kongkow kaum LGBT.
Aktivitas mereka mulai berdenyut setiap pukul sebelas malam hingga menjelang ayam berkokok. Ada yang hanya melepas penat dengan hiburan. Ada juga yang sengaja mangkal di pinggir jalan buat menjajakan diri.
D, seorang Gay berusia 25 tahun mengatakan, rata-rata yang datang ke Kawasan Seminyak ialah mencari pasangan sejenis. Mereka datang mencari fantasi sesaat dan bukan mencari pasangan hidup. Rata-rata tujuan para gay ini mencari bule uzur. Bule-bule tua ini menjadi incaran gay lokal karena banyak fulus.
"Yang (bule) tua itu duitnya banyak dan gampang di kelecein," ujar D.
Suburnya kaum LGBT di Bali bukan tanpa alasan. Menurut D, orang-orang di Bali tak pernah melakukan diskriminasi kepada mereka. Umumnya, masyarakat Bali juga tak mengenal Homofobia atau antipati terhadap kaum LGBT. "Beda dengan Jakarta dan kota lain, orang-orang di sana itu terlihat sekali Homofobia. Kalau di sini kita bebas, dan ada tempatnya," kata D.
Masyarakat Bali memang tidak pernah mempersoalkan kehadiran dan aktivitas kaum LGBT di sekitar mereka. Semangat dan menjunjung tinggi kebebasan menjadi alasan eksisnya keberadaan kaum LGBT. Intinya selama tidak merusak norma dan hukum adat.
"Gay dibiarkan yang penting tidak keluarga mereka (warga Bali) yang diusik," ujar tokoh adat Bali, I Gusti Agung Ngurah Harta saat ditemui di kediamannya. Menurut Ngurah Harta keberadaan LGBT sejauh ini memang tidak meresahkan. Mereka kebanyakan tidak 'mencari' korban di luar dari kelompoknya. Apalagi orang Bali kata Ngurah Harta menghormati hak individu. Ranah pribadi menjadi tanggung jawab masing-masing kepada sang pencipta kehidupan.
"Di Bali yang ditanamkan memerdekakan pikiran. Jadi tidak mengutak-atik orang lain, tidak memberi penilaian negatif. Di pantai, orang bule (turis asing) telanjang, ya orang Bali tetap sembahyang, tidak terganggu,"
Meski hidup berdampingan, Ngurah Harta juga menjelaskan jika masyarakat Bali tidak terpengaruh dengan gaya hidup budaya barat termasuk juga homoseksual. Karena, setiap individu sejatinya tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk menjadi sama dengan mereka. Pemikiran itu juga kemudian menjadi alasan jika kehadiran kaum LGBT di Pulau Bali tidak berdampak buruk dalam kehidupan sosial.
"Ini bagaimana kita merespon dan berpikir. Kalau berbeda, itu pilihan mereka. Tidak harus sama seperti kita. Kalau itu yang sekiranya bagus buat mereka, silakan," tutur Ngurah Harta.
Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, I Dewa Ayu Sugiarica Joni akrab disapa Ida Ayu pernah melakukan penelitian kaum gay. Menurut dia, masyarakat Bali cenderung bisa menerima kehadiran dan aktivitas kaum LGBT. Hal itu dilandasi karena Bali juga merupakan tempat akulturasi beragam budaya dan suku bangsa.
Mayoritas kata Ida Ayu, sebagian besar kaum LGBT hidup berdampingan dengan masyarakat. Bahkan ada juga yang sudah mulai terbuka dalam hal pemikiran. "Kalau di pedesaan, karena pengetahuan terbatas, info terbatas, maka melihat sesuatu yang aneh dan berbeda di luar normal mereka, mereka pasti sulit menerima," ujar Ida Ayu.
(mdk/arb)