Berhitung Isi Kantong Karena Harga BBM
Kenaikan harga Pertamax membuat konsumsi Pertalite meningkat. Banyak yang terpaksa beralih karena selisih harga yang terlalu besar.
Iwan (33) kini harus meluangkan waktu lebih saat mengisi bahan bakar motornya di SPBU. Walau antrean panjang, kurir ekspedisi pengiriman barang itu terpaksa beralih menggunakan Pertalite sejak pemerintah menaikkan harga Pertamax pada 1 April 2022 lalu.
Dengan target mengantar 40 paket dalam sehari, Iwan yang biasa berkeliling di wilayah Beji, Depok, butuh mengisi tangki motor bebeknya penuh saat mulai bekerja dari jam 10 pagi. Saat harga Pertamax masih Rp9.000 per liter, Iwan cukup mengisi Rp30.000. Pengeluarannya bertambah ketika harga Pertamax naik menjadi Rp12.500 per liter.
-
Kapan Pertamina menyesuaikan harga BBM? PT Pertamina (Persero) kembali menyesuaikan harga BBM nonsubsidi per 1 November 2023.
-
Siapa yang mengungkapkan wacana pembatasan pembelian BBM subsidi? Dilansir dari Antara, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengungkapkan wacana pembatasan pembelian BBM bersubsidi.
-
Mengapa Pertamina menyesuaikan harga BBM? Pertamina menyesuaikan harga BBM untuk mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai perubahan atas Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum.
-
Apa yang ingin dicapai dengan mengalihkan subsidi BBM? Jadi yang teman-teman pantas membutuhkan subsidi ini kita tentunya akan jaga. Jadi masyarakat yang ekonominya rentan pasti akan terus berikan, kita tidak mau naikan harganya," tegasnya di Jakarta, Senin (5/8)."Tapi mungkin ada teman-teman juga yang ke depannya sebenarnya harusnya sudah enggak butuh lagi subsidinya, itu bisa diarahkan untuk tidak menggunakan," kata Rachmat.
-
Kenapa pemerintah mau mengalihkan anggaran subsidi BBM? Melalui opsi tersebut, pemerintah bakal mengalihkan anggaran subsidi untuk membiayai kenaikan kualitas BBM melalui pembatasan subsidi bagi sebagian jenis kendaraan.
-
Bagaimana Pertamina menentukan harga jual BBM non subsidi? Adapun harga BBM non subsidi bersifat fluktuatif, sehingga Pertamina melakukan evaluasi secara berkala mengikuti tren dan mekanisme pasar.
"Sekarang minimal isi Rp45.000 supaya full tank kalau pakai Pertamax. Lumayan juga selisihnya. Bisa buat makan satu kali. Enggak apa-apa antre agak lama di SPBU buat ngisi Pertalite," ujarnya saat berbincang dengan merdeka.com pekan lalu.
Cerita serupa juga dituturkan Jamal (40). Pengemudi ojek online yang biasa beroperasi di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan itu, kini tidak lagi menggunakan Pertamax. Selisih harga dengan Pertalite membuatnya harus berhemat. Jamal sebelumnya sesekali masih menggunakan Pertamax untuk motor matic-nya.
"Sekarang pake Pertalite aja. Kalau pakai Pertamax bisa habis di atas Rp50.000 buat narik seharian," ujarnya.
Sama dengan Iwan dan Jamal, Andri (29) warga Pasar Rebo, Jakarta Timur juga beralih menggunakan Pertalite untuk mobil Toyota Avanza miliknya. Setiap pagi, karyawan swasta di bagian penjualan itu mengantarkan istrinya bekerja di kawasan Fatmawati. Dia kemudian melanjutkan perjalanan ke kantornya di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Sejak awal tahun 2022, Andri terpaksa membawa mobil karena istrinya sedang hamil anak pertama mereka. Kebijakan kantor yang tidak lagi menerapkan bekerja dari rumah atau work form home, membuatnya khawatir jika istrinya harus naik angkutan umum, termasuk ojek online.
"Sebelumnya saya naik motor boncengan dengan istri," ujarnya.
Jika terus menggunakan Pertamax, Andri mengaku pengeluaran mingguannya untuk membeli BBM akan membengkak. Dalam lima hari kerja, Andri minimal mengisi penuh dua kali tangki mobilnya. Dia harus mengeluarkan dana Rp200 ribu untuk Pertalite dalam sekali mengisi BBM.
"Kalau pakai Pertamax, bisa Rp500.000-an dua kali mengisi. Belum buat tol dan parkirnya. Mau enggak mau ganti pakai Pertalite sekarang," imbuhnya.
Untuk menghemat pengeluaran, Andri mengurangi bepergian di akhir pekan. Gajinya kini dia fokuskan untuk biaya persiapan kelahiran sang buah hati. "Harus pandai-pandai mengatur keuangan. Keinginan beli barang yang lain ditunda dulu," tukasnya.
Menghitung Subsidi BBM
Cerita Iwan, Jamal, dan Andi di atas mewakili kondisi sebagian rakyat Indonesia saat ini. Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar non subsidi membuat selisih harganya melebar. Para pekerja yang mengandalkan kendaraan pribadi untuk mobilitas sehari-hari, mengeluhkan tingginya pengeluaran harian jika terus menggunakan BBM jenis Pertamax.
Di sisi lain, pemerintah tidak mau angka subsidi terus membesar karena harga minyak dunia yang melejit. Krisis geopolitik yang dipicu perang Rusia dan Ukraina mengakibatkan harga minyak dunia melonjak di atas USD100 hingga USD120 per barel.
Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengungkapkan, pengguna BBM non subsidi di Indonesia totalnya sebesar 17%, dengan rincian 14% merupakan jumlah konsumsi Pertamax dan 3% jumlah konsumsi Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex. Kenaikan yang dilakukan pun tidak sepenuhnya mengikuti harga pasar.
"Pertamina selalu mempertimbangkan daya beli masyarakat, harga Pertamax ini tetap lebih kompetitif di pasar atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lainnya. Ini pun baru dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, sejak tahun 2019," jelasnya pada April lalu.
Berapa harga sesungguhnya BBM jika mengikuti harga minyak dunia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut harga BBM RON 90 maupun RON 92 seperti Pertalite dan Pertamax seharusnya di atas Rp30.000 per liter. Bandingkan dengan harga Pertalite Rp7.650 dan Pertamax Rp12.500 yang dijual Pertamina saat ini.
"Makanya, kita perlu mengingatkan ke masyarakat agar menggunakan BBM seefisien mungkin. Ini berdampak pada (membengkaknya) alokasi subsidi," kata Arifin dalam keterangan tertulis awal pekan ini.
Dalam pemaparan 'APBN Kita Juni 2022' pada 23 Juni lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, volume konsumsi BBM bersubsidi meningkat selain harganya yang juga naik. Dia mewanti-wanti Pertamina agar mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi.
Hingga Mei 2022, Sri Mulyani menjelaskan, total belanja non kementerian/lembaga mencapai Rp 334,7 triliun. Angka itu didominasi oleh subsidi dan kompensasi serta pembayaran subsidi kompensasi tahun 2021 yang dibayarkan di 2022.
Dana untuk subsidi mencapai Rp65,24 triliun plus pembayaran kurang bayar tahun sebelumnya Rp10,17 triliun. "Jadi lebih dari Rp75,3 triliun yang merupakan subsidi, kompensasi dan kurang bayar," ujarnya.
Sri Mulyani menyebut, untuk BBM Solar dan minyak tanah, konsumsinya hingga Mei 2022 meningkat menjadi 5,6 juta kiloliter (KL) dari tahun lalu 5 juta KL. Konsumsi LPG juga naik dari 2,4 juta MT ke 2,5 juta MT. Sedangkan pelanggan listrik subsidi mengalami kenaikan dari 37,4 juta pelanggan menjadi 38,4 juta pelanggan.
Tugas APBN, kata Sri Mulyani, menjadi shock absorber, di mana jumlah kebutuhan masyarakat meningkat sedangkan harga-harga tinggi tapi tidak mengalami kenaikan di pasaran. Pemerintah juga akan membahas dengan DPR terkait penambahan subsidi dan kompensasi sampai Rp300 triliun untuk anggaran kompensasi dari barang-barang bersubsidi dan subsidi yang akan ditambahkan.
"Jadi total kompensasi untuk tahun ini Rp18 triliun ditambah Rp 275 triliun. Ini angka yang besar buat barang-barang yang mengalami kenaikan (harga) namun di dalam negeri tidak dilakukan kenaikan," jelasnya.
Menutupi Bengkaknya Subsidi
Seiring dengan naiknya angka subsidi BBM, pemerintah harus putar otak agar APBN tidak jebol. Dalam jangka pendek, pendapatan dari kenaikan harga komoditas ekspor, bisa menambal subsidi. Namun untuk jangka panjang, harus ada kebijakan pengetatan.
Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan, pihaknya sudah menjelaskan kepada DPR bahwa pemerintah punya tambahan pendapatan windfall revenue dari ekspor komoditas. Jumlahnya diperkirakan sekitar Rp420 triliun. "Kita akan gunakan Rp 350 triliun buat tambah pagu belanja subsidi dan energi," ujarnya, Kamis 23 Juni lalu.
Dalam jangka panjang, Isa menegaskan, harus ada kebijakan baru yang dibuat, salah satunya mengedukasi masyarakat kelas menengah yang selama ini menggunakan BBM bersubsidi beralih kepada BBM non subsidi. Masyarakat juga harus bijak menggunakan energi sesuai kebutuhan.
"Buat mereka yang tidak perlu pakai BBM jumlah besar, lakukanlah penghematan-penghematan," ujarnya.
Agar subsidi energi tidak terus bertambah, anggota Komisi VII DPR, Mulyanto meminta pemerintah dan BUMN energi harus serius melaksanakan efisiensi besar-besaran agar biaya pokok produksi energi dan subsidi energi dapat ditekan semaksimal mungkin.
Wakil Ketua Fraksi PKS itu setuju upaya pembatasan pengguna BBM subsidi baik Pertalite atau Solar bagi mobil mewah dan mobil pelat merah (dinas pemerintah), agar subsidi energi ini lebih tepat sasaran. Namun dengan catatan, implementasi upaya pembatasan ini tidak menyulitkan akses bagi rakyat kecil, petani dan nelayan.
Dia mendesak Presiden Jokowi segera menerbitkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengawasi pelaksanaannya secara konsisten di lapangan.
Mulyanto juga menyoroti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang hingga kini masih beroperasi. PLN seharusnya mengkonversi PLTD menggunakan sumber energi baru terbarukan (EBT) dalam rangka menekan subsidi listrik PLN. Operasional PLTD dinilai sudah tidak efisien lagi.
"Dari segi jumlah daya, kontribusi PLTD tidak seberapa, namun perannya dalam BPP (biaya pokok produksi) listrik PLN cukup signifikan. Apalagi ketika harga minyak dunia melonjak seperti sekarang ini," ujarnya.
Sementara Kepala BPH Migas Erika Retnowati menyatakan masih menunggu revisi Perpres 191 tahun 2014 tentang pengendalian BBM bersubsidi yang saat ini masih di meja Presiden Jokowi. BPH Migas sudah menyusun rancangan aturan yang akan menjadi turunan dari revisi perpres tersebut.
Saat dihubungi merdeka.com, Erika belum mau mengungkapkan isi dari revisi, termasuk rancangan aturan yang disiapkan BPH Migas. "Nanti kalau sudah terbit kita sosialisasikan. Saya juga belum tahu kan terbitnya kapan, ini masih dibahas," ujarnya.
Dalam penjelasannya di hadapan anggota Komisi VII DPR beberapa waktu lalu, Erika mengungkapkan, tim BPH Migas terus melakukan pengawasan di lapangan terkait penyaluran BBM bersubsidi.
Bentuk pengawasan yang dilakukan adalah digitalisasi nozel di SPBU, dan penggunaan Silvia (sistem informasi pelaporan, pengawasan dan pendistribusian) BBM. Pengawasan ini melibatkan aparat penegak hukum dari TNI, BAIS, Polri, BIN dan Dit Intelkam Polri.
"Kami juga melakukan pengawasan terpadu dengan Irjen Kemen ESDM dan Dirjen Migas dalam tim gugus tugas pengawasan penyediaan dan pendistribusian BBM Kemen ESDM. Kami juga bekerja sama dengan Pemda," ujar Erika.
Temuan yang sering terjadi adalah penyimpangan dari data dashboard SPBU yakni pengisian berulang yang bisa dicek melalui rekaman CCTV. Ada juga pengisian BBM bersubsidi ke jeriken yang tidak menggunakan surat rekomendasi. Temuan lainnya adalah pengisian ke dalam mobil yang tangkinya dimodifikasi, dan pengisian ke kendaraan dinas pelat merah yang seharusnya tidak diperbolehkan.
"Kami enggak bisa cek ke semua SPBU yang berjumlah 5.518 tapi kita melakukan sampling dari hasil data verifikasi volume. Kalau ada hal seperti ini tidak kami masukan sebagai volume yang dapat subsidi, kami usulkan yang tidak dapat subsidi," kata Erika.
Terhadap SPBU yang nakal, BPH Migas memberikan sanksi mulai dari sanksi administrasi dan sanksi operasional dari pihak Pertamina.
"Teguran, dikurangi kuotanya, hingga ditutup. Beberapa kita lanjutkan ke PPNS dan kita laporkan ke APH. Misalnya pengisian berulang dengan mengindikasikan adanya penimbunan dan dilaporkan ke kepolisian," pungkasnya.
(mdk/bal)