Biar kurang wawasan, tapi warasan
Legislatif AS memiliki perpustakaan terbesar di dunia. Perpustakaan DPR Jerman ada 1,4 juta buku. Senayan?
Katanya, DPR Orde Barusan itu hanya punya satu ruangan kecil yang diisi enam sampai delapan orang. Mereka hanya ditemani satu sekretaris. Meski mereka saat itu lebih banyak menjadi tukang ketok palu pemerintah, produktivitasnya bagusan ketimbang DPR 2009-14.
Kalau Orde Barusan itu berwujud persis mbrojolnya Supersemar 11 Maret 1966, Jumat Pahing, hari bagus, maka wukunya Pahang, dinaungi Bethara Tantra. Watak wetonnya: 'berkuasa' dan 'bakat memimpin'. Jadi, tepatlah Orde Barusan bertahta. Lagipula, kalau kelupaan ketok palu, palalu diketok pemerintah Super Semaran.
DPR 2009-14 masa Orla alias Orde Lanjutan, berbeda nasib. Produk UU No. 10/2008 Tentang pemilu legislatif tanggal 31/03/2008 itu berwuku Maktal. Bisikan wetonnya: 'kurang wawasan.' Dan sialnya, sudah kurang wawasan, ngebetnya ketok palalunya pemerintah.
Anehlah, jika budayawan Hardi menuding banyak anggota DPR yang tidak memiliki wawasan. "Lihat saja, ada anggota DPR yang malah sibuk buka gambar porno," tegas Hardi. Malahan, "Saya yakin, 80 persen anggota DPR tidak membaca," ujarnya.
Dalam hal kurang wawasan, DPR itu lebih warasan. Kalau tahu sudah dikutuk kurang wawasan, ya ngapain baca buku sediaannya perpustakaan DPR-RI? Barangkali juga, buku bukunya gak cocok kepornoannya.
Berdasarkan catatan tahun 2008, lembaga legislatif AS memiliki Library of Congress, perpustakaan terbesar di dunia, berlaskarkan lebih dari 4.000 homosapiens. Dibandingkan AS, perpustakaan Bundestag (DPR Jerman) 2013 ya bukan apa-apanya. Di situ cuma berpegawaikan 81 orang, tapi dengan 1,4 juta buku itu terang pembikin mabuk wawasan.
Mungkin jika buku dan ruangan DPR sebanyak dan seluas itu, para legislator akan kerasan ngalab wawasan, dan tentunya sembari bergambar porno tanpa dipergoki wartawan. Justru gambar porno itu olinya wawasan. Kiatnya: bosen 5 halaman, nonton dulu, lantas baca lagi, terus nonton dan seterusnya.
Di samping tenaga ahli yang melekat pada setiap legislator, lembaga legislatif AS, Jerman atau Brasil memiliki litbang yang dijubeli laskar paranormal alam kasunyatan berbagai disiplin. Umpamanya, Congressional Research Service AS, disemuti lebih dari 700 pakar. Begitu juga Wissenschaftliche Dienstenya Bundestag, setaranya Research Service, berkekuatan 272 homosapiens, sepertiganya pendekar berbagai cabang ilmu.
Di Amerika Latin, lembaga legislatif Brasil (DPR dan Senat) tahun 1999 memiliki advisory service terbaik. Badan ini dibikin, sebab ada ketentuan, tempo pembahasan dan pengesahan RUU haram bertele-tele gak waras.
Umpamanya Assessoria Legislativa DPR, berpendekarkan 188 berbagai jenis ilmu kasunyatan. Selain itu, hadir Assessoria de Orcamento e Fiscalizacao Financeira yang berperan sebagai penasihat khusus urusan Keuangan dan APBN.
Untuk Senat disediakan Consultoria Legislativa dengan 130 tenaga ahli. Khusus buat keuangan dan APBN ada Consultona de Orcamento.
Badan-badan ini tidak hanya menggarap RUU saja, tetapi juga membikinkan pernyataan terhadap satu RUU jika diminta legislator, melakukan penelitan, mempersiapkan analisa politik, memenuhi permintaan pembikinan naskah pidato para legislator.
Di samping itu, DPR dan Senat dikomplitin pusat dokumentasi dan informasi.
Naga-naganya, perlengkapan begitu gak dimiliki DPR-RI: "DPR tak punya alat untuk membuat regulasi," bongkar anggota DPR dari Fraksi PKS Fahri Hamzah, "pemerintah kemudian menggoyang independensi anggota DPR dengan segala godaan."
Sebenarnya, perkara legislator kurang wawasan itu enteng dibereskan. Contoh solusinya: 80 persen legislator gak baca buku dan kurang wawasan dipersilakan nggarap RUU produk pemerintah, sisa 20 persennya RUU bikinan DPR, sedangkan DPD ngurusin RUU buah DPR dengan pemerintah.
Terlepas dari bagaimana mengatur pembagian kerja, agaknya para legislator kurang wawasan itu warasan dengan sengaja gak slametan kala kepergok dikutuk kurang wawasan. Sebabnya, kayalah waktu buat super semiran dan super samar-samaran kawasan tadahan berbagai godaan pemerintah.