Biar orang miskin ogah tinggal di rumah susun
Pengelola rumah susun Marunda sempat menerapkan syarat berat dan sewa kelewat mahal.
Beginilah suasana di rumah susun sewa (rusunawa) Marunda, Jakarta Utara, saat merdeka.com melawat ke sana Kamis siang dua pekan lalu. Perempuan dan anak-anak ramai berkumpul di sekitar kantin. Beberapa dari mereka asyik berbincang, ada juga yang sedang menyuapi anak dalam gendongan kain.
Rata-rata penghuni adalah penduduk asal Muara Baru, Jakarta Utara. Kawasan selalu tergenang bila hujan mengguyur. Setelah puluhan tahun menunggu, harapan mereka mendapatkan hunian layak akhirnya makbul. Sebelumnya, Mereka sebelumnya tinggal di rumah gedek. Kini mereka menetap di rumah susun sudah direnovasi Pemerintah DKI Jakarta selepas dipindah dari Muara Baru karena banjir melanda akhir Januari lalu.
Rumah susun itu bisa dihuni sejak Februari lalu. Proyek ini sempat mangkrak lima tahun akibat belum tersedia jaringan PAM dan listrik. Dari sepuluh blok di klaster B, baru dua blok dihuni 200 keluarga. Sisanya masih dalam penyelesaian infrastruktur dan belum bisa ditempati. Satu blok setinggi lima lantai berisi seratus kamar. Artinya, saban lantai terdiri dari 20 kamar.
Penghuni bernama Didi Suwandi mengaku sempat terganjal sejumlah persoalan dari pengelola untuk menempati rumah susun. Mulai dari syarat penghuni hingga harga sewa kelewat mahal, apalagi lewat calo. “Penyewa biasanya membayar sekitar Rp 500 ribu setiap bulan, bahkan lebih. Padahal bagi warga memiliki rekening rumah susun resmi dikenai Rp 144 ribu,” katanya.
Saking mahalnya harga sewa dari harga semula, menurut Didi, rumah susun itu hanya sanggup ditempati oleh mereka yang berduit. Misalnya disewakan kepada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta berlokasi di Marunda. Praktek ilegal itu sudah lama terjadi sejak rumah susun itu mulai ditempati. Pada 2009, setelah dua tahun dihuni oleh sekitar 200 keluarga korban relokasi warga Penjaringan, Jakarta Utara, jual beli itu bermunculan.
Didi menuturkan jual beli dan sewa rumah susun seperti ladang uang bagi pemilik pertama. Polanya adalah pihak pertama akan menyewakan ke pihak lain atau lewat perantara. Dengan ada perantara itu, harga jual bisa mencapai puluhan juta.
Awal Februari lalu, Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama langsung turun ke lapangan untuk membereskan hal itu. Tak tanggung-tanggung, dia langsung memecat pengelola ikut main mata dengan para calo. Sejak penertiban itu, ratusan orang dari Pluit berbondong-bondong mendaftar menjadi penghuni.
Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta Yonathan Pasodung mengakui ada jual beli atau sewa rumah susun dengan harga di luar ketentuan pemerintah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. “Kami sudah menertibkan sejumlah calo. Kita putihkan warga sebelumnya sewa ke calo, jadi langsung sewa ke pemerintah," ujarnya kepada merdeka.com Senin pekan lalu.
Menurut Yonathan, mulanya masyarakat ogah tinggal di rumah susun karena persyaratan dan minimnya fasilitas pendukung, termasuk transportasi. Akibatnya, pengeluaran mereka ke tempat bekerja membengkak. “Sekarang sudah diatasi, sudah ada angkutan umum lewat dari pagi hingga sore. Selain itu, sudah disediakan transportasi laut," tuturnya dengan nada bangga.
Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat Pangihutan Marpaung mengakui tidak semua masyarakat miskin berminat ke rumah susun bila tidak dilengkapi fasilitas pendukung, seperti pasar, sekolah, sarana kesehatan, transportasi, hingga layanan pendidikan. “Serba sulit pilihan mereka jika itu tidak ada atau jaraknya jauh dari rumah susun, pengeluaran akan bertambah."