Bila artis nyaleg dan legislator ngartis
Agar kualitas artis ber-DPR mantaps top markotops, baiknya para kader partai atau anggota DPR pun ngartis.
Hasil sistem proporsional daftar terbuka suara terbanyak pemilu Camara dos Deputados (DPR Brasil) tahun 2010 itu menggemparkan: penyanyi dan pelawak kondang Francisco Everardo Oliveira, beken sebagai Tiririca, ngelegislator dengan perolehan suara ekstra manggila: 1,35 juta alias 18,5 persen suara partainya Partido da Republica.
Selama kampanye, Tiririca selalu tampil sebagai badut. Dan selorohannya: "Apa sih kerjaan seorang anggota dewan? Jujur saja, gua gak tahu. Tapi, pilihlah gua. Ntar gua ceritain."
Berkat suaranya itu, caleg separtainya yang meraup suara sedikit bisa nebeng ber-Camara dos Deputados, sedang caleg parpol saingan yang bersuara banyakan, gagal lantaran gak kebagian kursi. Kok bisa?
Sebut saja, partai A dan B berlaga di satu daerah pemilihan berkursi 3 dan perolehan suaranya sebagai berikut:
Caleg partai A, yaitu A.1, A.2, A.3 masing-masing meraup 5, 67 dan 4 suara. Jadi, totalnya perolehan parpol A itu 76 suara.
Sedangkan caleg partai B, yakni B.1, B.2 dan B.3 masing-masing mendapat 1, 6 dan 7. Alhasil, jumlah suara parpol B itu 14.
Lantaran sistem proporsional, maka kursi pertama-tama dibagi ke partai sesuai proporsi suara lewat cara penghitungan suara yang kita pakai. Maka, partai A meludeskan 3 kursi (3x76:90) dan partai B gak kebagian sama sekali (3x15:90).
Lantas 3 kursi parpol A itu dibagikan menurut suara terbanyak: A.2, A.1 dan A.3.
Masalahnya: caleg partai A.1 dan A.3 yang bersuara 5 dan 4 kok boleh ber-Camara dos Deputados, sedangkan caleg partai B.2 dan B.3 yang bersuara 6 dan 7 suara dilarang?
Kalau berdasar urutan suara terbanyak, mestinya yang berCamara dos Deputados itu caleg A.2 dengan 67, lalu B.3 dengan 7 dan B.2 dengan 6 suara.
Karena gak begitu, badutanlah sistem pemilunya. Caleg A.1 dan A.3 yang bersuara 5 dan 4 itu disebutnya nebeng caleg A.2, yang berejeki dari hasil 67 suara artis beken. Atau, hawa sang artis ditransfer secara mistis ke caleg A.1 dan A.3.
Contoh inilah yang terjadi dalam kasus Tiririca.
Gara-gara proporsional daftar terbuka suara terbanyak itu, maka antara lain kompetisi antar caleg separtai tinggi, pada jor-joran ngartis dan ngartos (doku), mengkroposionalkan solidaritas internal partai, akhirnya meloyokan sistem kepartaian Brasil. Itulah pasalnya, arus yang kuat berkeinginan mengantikan sistem tersebut.
Sebab niatannya membangun dan menguatkan sistem kepartaian, maka semula, Indonesia mengacu pada prinsip caleg terpilih asal lewat BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) atau kemudiannya 30 persen BPP. Jika gagal melampaui BPP, kursi dibagi berdasar nomor urut partai. Gunanya, setiap caleg dihasut berjuang bersama demi kemenangan partai.
Namun agaknya, MK (Mahkamah Konstitusi) 2008-13, sesuai wuku dan wetonnya, berpikiran pendek, gak bertapa buat ngalap wangsit Brasil. Lewat fatwa nomor 22-24/PUU-VI/2008, MK menetapkan legislator suara terbanyak yang boleh melenggang ke Senayan.
MK 2008-13 diangkat 19/8/2008, Selasa Wage, hari buruk, berwuku Galungan, tergolong Tikus Leo alias Tikus celaka. Kutukan wukunya, MK gak baik mengobati penyakit dan buruk mendirikan rumah. Tapi baik buat bertapa. Sesuai wetonnya, MK gak bisa berpikir panjang. Agaknya, pengangkatannya tanpa sesajen nasi dang-dangan beras senilai zakat fitrah, lauknya daging kambing atau ayam hitam mulus dipindhang.
Lihai manfaatin artis, secara gaib partai-partaipun tersihir jadi Partainya Artis Nampang, Partai Gerahan Intim Demi Rebut Artis, Partai Keartisan Bahenol, Golekan Keasmaraan Artis atau Ngrekut Artis Seronokan Demokrasi dan sebagainya.
Agar kualitas artis ber-DPR mantaps top markotops, baiknya para kader partai atau anggota DPR pun ngartis. Misalnya berperan dalam sinetron atau film yang didanai dari fulus bulusan. Mungkin cocoknya film-film horor yang susah dilupakan. Umpamanya Dikejar Setan Sapi, Diperkosa Hantu Banggar DPR, Pelukan Sundel Bolong Wisma Atlet, Darah Kolong Wewe Partai atau Terkaman Kuntilanak Gubernur Senior BI.