Cara Towil menjual konten lokal
Jadi, kalau Anda ingin bermakna, hidup itu adalah tentang kecerdasan berpikir, bukan sesuatu untung-untungan.
Akhir pekan lalu saya ke Yogya menemui arsitek Eko Prawoto yang dikenal dekat dengan almarhum Romo Mangun. Dalam perbincangan, tiba-tiba menyerempet nama seseorang: Muntowil. Dia adalah pemuda yang berhasil "menjual" wajah desanya tanpa mengambil atau merugikan secuilpun. Tidak mengeruk emas, batubara, atau bahkan pasir juga tidak.
Dia tiba-tiba menjadi magnet buat saya untuk harus mengenalnya. Dialah Muntowil yang akrab dipanggil Towil. Berusia 40-an tahun lebih, hanya lulusan SMA, tinggal di desa Sentolo, Kulonprogo, DI Yogya -sekitar 20 km dari kota Yogya arah ke barat.
Lelaki gondrong ini punya hobi yang akut: bersepeda alias ngonthel alias gowes. Sehari-hari, hidupnya gowes-gowes sepeda kuno. Pendek kata, bangun tidur langsung pegang sepeda dan sebelum tidur pegang sepeda. Saat ini, sebanyak 60 sepeda dari berbagi merk kuno buatan Eropa, China, dan lokal dia miliki antara lain Phoenix, Humber, Gazele, dan lain-lain.
Apa yang istimewa dari Towil? Dia telah mengeksplorasi (dan mengoptimasi) keindahan alam desanya menjadi sebuah destinasi wisata non mainstream, yakni mengajak bule-bule dari mancanegara bersepeda menikmati keindahan, kesejukan, keramahan, dan kekayaan alam khas desa Sentolo.
Setiap tahun, sedikitnya 400-500 bule datang ke Sentolo. Mereka, datang dari berbagai negara -terutama Belanda dan Eropa - menuju Yogya dan kemudian menuju Sentolo, untuk menemui Towil yang akan mengajaknya bersepeda keliling desa, dan menginap di desa sekaligus. "Eksotiknya desa kami, membuat tamu selalu datang ke desa kami," kata Towil. Dan, tamu-tamu itu datang tidak gratis!
Untuk menjadi seperti sekarang, Towil tentu tidak bisa dibilang enak-enakan. Di masa mudanya, dia adalah lulusan SMA yang memberanikan diri menjadi tour guide di Prambanan atau Borobudur. Profesi lainnya, pernah menjadi pelayan restoran di beberapa tempat.
Kemana-mana, dia selalu naik sepeda. Suatu hari, karena hobinya yang akut, dia pun memutuskan untuk hidup bersepeda, dari sepeda. Onthel maniak itu diceritakan pada temannya, bule dari Belanda. Selain itu, Towi menceritakan bahwa dia adalah orang Sentolo yang sangat desa, tapi indah sekali.
Mendengar cerita Towil yang antusias, teman bulenya -sebut saja Robert- menjadi bagian dari turning point Towil hari-hari berikutnya. Robert lantas menghubungkan Towil dengan seorang agen perjalanan wisata di Belanda. Jadilah, Towil mendirikan TowilFiets (sepeda Towil) yang melayani bule atau wisatawan asing untuk bersepeda. Sebagian besar tamunya, dari teman agennya di Belanda tersebut. Saat ini sudah wisatawan domestik juga.
Tentu menjadi pertanyaan, apa menariknya cuma gowesan di kampung. Di sinilah keahlian Towil membaca peluang. Dia tak sekadar mengajak orang bersepeda, tetapi memberikan konten-konten bernilai di dalamnya. Tidak sekadar ke tempat wisata, tapi dia memberi nilai lebih (value) berupa cerita apa dan bagaimana sesuatu bisa ada atau terjadi.
Bagi orang kebanyakan, sesuatu itu biasa. Tapi, di tangan Towil sesuatu itu jadi luar biasa. Dalam waktu bersepeda, rata-rata 4-5 jam. Rata-rata dia membawa 10-20 tamu. Kalau lebih, dia mengajak asisten yang adalah teman sedesanya. Ada sekitar 8 destinasi yang dikunjungi dan dilalui. Antara lain sawah (orang bercocok tanam), pengrajin tempe, pengrajin batik atau kain tradisional, tari-tarian Jawa beserta gamelannya, angon bebek, sunrise atau sunset, anak-anak kampung bermain, dan sebagainya.
Ketika di sebuah lokasi, Towil menghentikan sepedanya diikuti turis tamunya. Dia ajak tamunya menyapa para petani yang sedang bercocok tanam. Mereka saling sapa, saling kenal. Dengan bahasa nurani yang saling dimengerti dan fahami. Towil lalu bercerita bahwa sistem bercocok tanam padi di desanya adalah seperti itu, misalnya jalannya mundur supaya tetap rapi, kebanyakan perempuan karena lebih telaten, harus dilakukan pagi hari biar tak mudah mati, dengan kekedapan air tertentu, dan seterusnya. Konten-konten yang disampaikan Towil secara lancar itu sangat berguna bagi para turis. Mereka tak sekadar bersepeda, tapi bisa mengenal orang desa, mengenal budayanya, mengetahui makna dan tata cara bertanam khas Sentolo (Jawa), dan yang sudah pasti, menikmati pemandangan yang ahay.
Begitu juga ketika dia mengajak tamunya berkunjung ke pengrajin tempe. Dia sampaikan apa itu tempe, bahan dasarnya apa, campurannya apa, proses peragiannya bagaimana, sampai akhirnya dia sajikan sebagai contoh: enaknya makan tempe. Dia kasih tempe bacem, goreng biasa, atau tempe mendoan. Rasanya, benar-benar jebret!
Iseng saya tanyakan, apakah bahasa Inggris Anda bagus sekali sehingga bisa membuat bule kerasan, dia mengelak. Ternyata jawabannya, bukan itu faktornya. "Bahasa Inggris saya biasa saja mas. Tapi, lingkungan alam desa saya yang luar biasa. Indah sekali. Sehingga, bule-bule itu selalu terpesona. Jujur, alam kamilah yang memanggil-manggil bule-bule itu kemari," kata Towil. Dia tidak dalam kondisi tertawa, tapi serius bahwa nuansa alamnya sangat dahsyat baginya. Inilah yang tak dilihat siapapun.
***
Hari ini, kita mungkin hanya melihat hasil sukses Towil. Tapi, tidak melihat bagaimana prosesnya. Dia sempat disebut orang pengangguran ketika kepalanya memutar otak untuk menemukan ide: tetap bersepeda tapi bisa menghasilkan duit, dan tetap hidup di desa. Kreativitasnya dalam mengolah otak telah menghasilkan karya, berupa wisata non mainstream dengan menjual alam dan experience bersepeda.
Ya, Towil telah menjual pengalaman (experience), dengan mengajak tamu turisnya bersepeda (aktif), tidak pasif hanya melihat. Dalam sebuah teori marketing, penjualan sering dibagi menjadi dua hal: barang dan jasa (services). Namun, di atas layanan (services) itu, ada satu tingkat lagi, yakni experience (pengalaman).
Bila jual barang maka ukurannya butuh atau tidak butuh, sedangkan layanan atau jasa (services) ukurannya puas atau tidak, dalam experience biasanya orang sudah melewati semua di atas. Dalam sales marketing experience ini justru exciting (gairah) yang menjadi ukuran. Semakin menantang (challenging) maka semakin menggairahkan atau seru. Di sinilah yang ditawarkan Towil. Terbukti, idenya mengenai sasaran.
Desa-desa di Indonesia barangkali butuh Towil-Towil lain, yang konsisten, cerdik, kreatif yang bisa melihat daerahnya dengan sentuhan hati dan memaknai begitu dalam dan bernilai. Jelas apa yang dilakukan Towil bukan perkara nasib semata. Tapi ada keikhlasan, pengetahuan, pembelajaran, ketekunan, relationship, dan yang pasti berpikir.
Tiba-tiba saya teringat dengan almarhum Steve Jobs. Dalam sebuah buku tentangnya berjudul "Inside Steve's brain", dia mengatakan: "I believe life is an intelligent thing, that things aren't random."
Jadi, kalau Anda ingin bermakna, hidup itu adalah tentang kecerdasan berpikir, bukan sesuatu untung-untungan.
*) Penulis adalah penggerak KlikIndonesia, Sekjen APJII, dan COO merdeka.com & KapanLagi Network