Cinta terkubur di Kampung Pulo
Sebagai warga keturunan, kawasan Kampung Pulo memang punya sejarah tersendiri.
Suara mesin alat berat masih bersahut-sahutan. Derai tawa anak-anak bermain di bibir bantaran kali jadi pemandangan sore itu. Sebagian bangunan di bantaran kali Ciliwung, Jakarta Timur sudah rata dengan tanah. Kini suasana kumuh tak lagi menjadi pemandangan saban hari.
Dari jembatan akses Kampung Melayu tak luput juga menjadi hiburan warga murah meriah. Sambil melihat backhoe mengapung di atas kali Ciliwung dan sebagian alat berat menanam paku bumi di sepanjang bibir kali ikut menarik perhatian. Tak terkecuali, Mei bukan nama aslinya. Dua hari berturut-turut wanita itu selalu menghabiskan ingatannya bersama anak dan menantunya.
Wanita keturunan itu, samar-samar membuka memori hidupnya. Sudah tiga generasi keluarga Mei turun temurun tinggal di bantaran kali Ciliwung. Dia lebih beruntung terlahir sebagai keluarga pedagang. Tentu saja, hunian miliknya lebih manusiawi dibandingkan tetangga lain bahkan jauh lebih baik.
"Sudah dari tahun 1965, dulu orang tua yang tinggal di sini, tapi sekarang sudah bersih," kata Mei saat berbincang dengan merdeka.com di Kampung Pulo, Jakarta Timur pekan kemarin. Dia enggan berbicara soal polemik ganti rugi. "Enggak tahu, anak yang urus," ujarnya singkat.
Raut tua di wajah Mei seolah menyiratkan kegundahan. Sudah dua hari berturut-turut, Mei bersama adik kandungnya yang berjaga di Pasar Mester, Jatinegara itu, memandangi bekas tempat tinggalnya yang kini rata dengan tanah.
Seperti tak pernah rela kenangannya harus diratakan oleh mesin becko. Tapi apa daya, bagi dia ini merupakan keputusan terbaik. "Dari perawan sampai sekarang punya cicit empat," kata wanita asli Jakarta itu.
Apalagi, kenangannya bersama mendiang suaminya ikut terkubur pada rumah dua lantainya dahulu. Di rumahnya memang tinggal empat saudara kandungnya. Hidup rukun dengan sesama saudaranya sudah berpuluh puluh tahun. Semua anggota keluarganya merupakan pedagang kebutuhan pokok.
Sejak memutuskan harus angkat kaki dari tempat dia dilahirkan, Mei sekarang tinggal bersama anak pertamanya di bilangan Duren Sawit, Jakarta Timur. Usahanya pun harus ikut berpindah tempat lantaran masuk wilayah penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI. Baginya dua hari mengunjungi bekas lahan rumahnya bak menengok pusara keluarganya.
"Sudah dua hari ini, saya maunya lihat ke sini terus, saya mau nikmati suasana terakhir kalinya," ujarnya tersenyum.
Sebagai warga keturunan, kawasan Kampung Pulo memang punya sejarah tersendiri. Daerahnya memang tenar dan dikenal pusat niaga di seantero Jakarta Timur. Salah satunya Pasar Mester Jatinegara. Sayang, kini rumah sudah rata dengan tanah. Mei cuma ingin lekas melanjutkan hidupnya sambil berharap takkan pernah lagi melewati pengalaman hidup sepahit ini.