Dilema si tumbuhan ajaib
Ganja tidak selayaknya dimusuhi. Namun, usul pemanfaatannya sebagai obat juga menimbulkan kecurigaan.
Ingatannya diputar kembali ke tiga tahun silam. Kejadiannya berada di Jakarta. Dia bercerita tentang seorang lelaki yang saat itu sudah tak berdaya lantaran digerogoti AIDS. Keluarganya sudah pasrah.
Lelaki itu berinisial A. Harapan hidupnya tipis. Mengangkat tangannya saja sudah tidak mampu. Entah dari mana mendapat ilham, akhirnya dia mencoba menggunakan ganja sebagai obat supaya membuat kondisi tubuhnya tidak terlalu payah. Setelah rutin mengkonsumsi mariyuana selama tiga bulan, kondisi A perlahan bangkit. Dia mulai bisa berjalan keluar kamar, hingga menjelajah rumah buat mengambil makan di dapur.
Mulai timbul secercah harapan di benak anggota keluarga melihat kondisi A. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Sang bunda mulai merasakan ada yang tidak beres. Dia kerap melihat orang-orang asing mampir di warung makannya. Curiga itu adalah intel. Lantaran khawatir, lantas dia memutuskan menceritakannya kepada Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara.
Dhira akhirnya datang ke rumah A. Di sana sang ibu berbicara serius empat mata dengannya. Perempuan itu tidak tahu harus berbuat apalagi. Dia sebenarnya sedikit gembira melihat kondisi anaknya, tetapi juga khawatir kalau anaknya diintai. Bahkan bisa saja dicokok kapan pun.
Posisi Dhira juga sama-sama sulit. Dia tidak bisa menjamin A tak bakal berurusan dengan hukum karena menggunakan ganja buat menopang kondisi badannya. Pembicaraan ketika itu sangat alot. Dilema karena mereka menempuh jalan yang tidak lazim.
"Akhirnya diputuskan dia berhenti pakai ganja. Satu bulan kemudian saya ditelepon ternyata mas A meninggal," kata Dhira kepada merdeka.com saat ditemui di Rumah Hijau LGN, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (11/4) lalu.
Dhira lantas menceritakan pengalamannya yang lain. Yakni soal salah satu temannya di Yogyakarta. Seorang pemuda berinisial P. Dia mengidap kondisi lumpuh pada tangan kanannya akibat kecelakaan sepeda motor.
P merasakan tangannya seperti ditusuk-tusuk jarum saban setengah jam sekali. Oleh dokter dia diberikan obat secara rutin. Namun akhirnya tubuhnya kalah. Lambung P malah terluka akibat terus-terusan menenggak obat itu. Kemudian dia mencari alternatif. Setelah bertanya kanan-kiri, orang tuanya memutuskan memberikan ganja. Setelah dicoba, P merasa nyeri di tangannya berkurang. Bahkan lengannya juga sedikit bisa digerakkan.
Kemudian, P kembali dibawa ke dokter. Setelah diceritakan, dokter itu akhirnya sepakat memberikannya surat rujukan rehabilitasi supaya bisa menggunakan ganja tanpa harus cemas. Itu supaya pengobatan P berlanjut.
"Tapi dua tahun lalu dia ditangkap di Yogya. Divonis lima tahun. Mungkin keluarnya dua tahun lagi," ujar Dhira.
Mendengar kabar itu, Dhira lantas memutuskan pergi ke Yogyakarta. Dia dan keluarga selalu hadir dalam setiap persidangan. Sampai tiba waktunya memberikan kesaksian meringankan.
"Kita semua, keluarga, bilang sejak P pakai ganja kondisinya membaik. Tapi enggak ada yang peduli. Hakim itu enggak peduli. Kata hakim, 'memang kamu dokter?' Begitu bahasanya. Saya bilang saya bukan dokter, saya temannya," ucap Dhira.
Di Indonesia, dan seperti belahan bumi lainnya, tanaman ganja dianggap musuh negara. Siapapun yang dekat-dekat dengannya, baik menjual bibit, menanam, hingga mengolahnya dipastikan masuk jeruji besi. Bahkan nyawa bisa hilang. Sebabnya ganja digolongkan narkotika kelas wahid.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso belum bisa menerima pendapat soal pemanfaatan ganja dalam pengobatan. Dia berpatokan kepada penelitian ilmiah menyatakan Cannabis Sativa sama sekali nihil manfaat. Sebab, pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika justru menyatakan narkotika kelas satu seperti ganja dilarang dijadikan obat. Padahal di Pasal 7 termaktub narkotika dimungkinkan diteliti buat tujuan kesehatan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.
"Itu dari mana penyembuhannya? Kan harus dibuktikan dulu penyembuhannya. Kata siapa itu menyembuhkan. Penelitian medis belum, jangan dipakai untuk alat pembenaran. Buktinya apa? Jangan dulu menyimpulkan," kata Budi beberapa waktu lalu.
Budi juga enggan menanggapi soal revisi beleid Narkotika. Dia khawatir hal itu menjadi bumerang. Yakni malah maraknya peredaran narkoba dan tingginya tingkat penyalahgunaan.
"Semua narkotika awalnya untuk pengobatan dan penelitian. Tapi kan sekarang dia pakai penyalahgunaan," ucap Budi.
Dhira merasa prinsip Budi tidak selaras. Menurut dia, obat itu selalu datang dari Tuhan, apapun bentuknya. Dia menyatakan ilmu pengetahuan modern menganggap pengakuan pengguna atau pasien tidak bernilai.
"Ilmu medis modern justru membatasi mana yang boleh dipakai dan mana yang tidak. Yang jadi bahaya kalau ilmu pengetahuan jadi komoditas politik. Jadi tanaman yang tadinya kita punya bisa bermanfaat untuk pengobatan, karena ini menjadi komoditas politik, jadi enggak bisa dipakai, karena kepentingan," imbuh Dhira.