'Gudang ilmu' bagi anak pemulung Bantar Gebang
"Dulu lebih dikenal sebagai sekolah kandang ayam karena bangunannya masih seperti gubuk," ujar Nasrudin.
Siang itu matahari serasa sejengkal lah di atas kepala. Tapi di halaman Sekolah Dasar (SD) Dinamika Indonesia, sebuah sekolah bagi anak-anak pemulung di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST), Bantar Gebang, Bekasi, puluhan anak-anak itu masih terlihat riang. Mereka bermain dan membaur jadi satu meskipun bau busuk sampah tercium sangat menyengat sampai ke sekolahan mereka.
SD Dinamika Indonesia ini memang berada di kawasan pembuangan sampah. Bahkan, jalan menuju sekolah itu juga dipadati lalu lalang truk sampah setiap hari. Namun untuk kondisi sekolahan sendiri sejauh ini sudah lebih baik. Gedungnya sudah permanen. Lokasinya tepat di pos timbang kedua truk sampah area TPST.
Sekolah yang didirikan sejak 1995 itu memang dihuni oleh anak-anak keluarga miskin dan bekerja sebagai pemulung di wilayah tersebut. Awal berdirinya memang dikhususkan bagi anak-anak yang berada di sekitar gunung sampah itu.
"Dulu saya memang anggota Lembaga Swadaya Masyarakat khusus pekerja anak. Kita punya ide mendirikan sekolah bersama teman-teman lainnya," ujar Kepala Sekolah Dinamika Indonesia, Nasrudin, kepada merdeka.com di lokasi pekan lalu.
Sistem sekolah pendidikan sekolah juga lebih fleksibel. Tak ada paksaan maupun hukuman bagi murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah ataupun mengikuti kelas saban harinya. Di sana juga tidak ada pungutan apapun bagi siswa, termasuk iuran bulanan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
"Di sini berbeda pada sekolah umumnya, cuma beli seragam dan buku beli sendiri, sisanya gratis. Cara mendidik murid kita punya metode berbeda, karena buat mereka (anak-anak) mau datang ke sekolah saja sudah paling bagus," ujar lelaki 46 tahun itu.
Luas SD ini sekitar 116 meter persegi. Di sana waktu istirahat lebih dimanfaatkan bermain dibandingkan menyerbu tukang jajanan di sekitar sekolahnya. Masih ada beberapa pedagang di luar area sekolah, namun anak-anak lebih memilih bermain. "Yah beberapa anak tak punya banyak uang jajan," ujar Pak Nas sapaan akrabnya.
Bahkan aturan seragam sekolah pun relatif lunak. Misalnya ada beberapa siswa yang memakai seragam tidak beraturan; memakai baju seragam putih dengan bawahan rok berwarna cokelat pada hari Jumat. Untuk masuk ke dalam ruang kelas murid-murid diwajibkan melepas alas kaki.
Seingat Nasrudin, pertama kali mendirikan sekolah khusus tersebut hanya dengan murid didik sebanyak 23 anak. Kondisinya masih jauh dari kata laik. "Dulu lebih dikenal sebagai sekolah kandang ayam karena bangunannya masih seperti gubuk," ujar pria asli Sragen, Jawa Tengah, itu.
Menurut dia, pada awal-awal berdiri sekolah itu bernama Sekolah Bintang Pancasila. "Wah kalau sekarang mah sudah syukur Alhamdulillah, beberapa sumbangan pemerintah Jepang untuk bangunan fisiknya, maupun pemerintah sendiri juga ada," ujarnya.
Untuk jenjang kelas, SD Dinamika Indonesia juga membuka ruang dari kelas satu hingga kelas enam. Satu kelas berisi 35 siswa. Menurut Nasrudin, tantangan guru adalah berhadapan dengan karakter unik murid-muridnya. "Mereka (murid) tumbuh di lingkungan keras yang membentuk mereka lebih mudah bosan dan kurang konsentrasi," ujarnya.
Tingkat presentasi kehadiran di dalam kelas juga masih rendah. Beberapa siswa izin tidak masuk tanpa keterangan masih banyak dijumpai. Tapi beruntung, sejak 2009 sekolah Dinamika Indonesia sudah bisa mengikuti ujian nasional. "Kita enggak bisa kasih hukuman buat murid seperti itu, tiba -tiba enggak masuk dua minggu. Kemudian masuk lagi, masih ada," ujarnya.