Hamdan, Busyro, dan Ramlan, kok dites lagi
Tak masuk akal menguji orang yang sudah teruji. Mereka cukup menghadapi putusan politik.
Sikap Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menyadarkan kita, betapa banyak yang berlebihan dan tak masuk akal dalam seleksi calon pejabat publik. Bayangkan, seorang hakim konstitusi, dengan reputasi baik dan banyak menerima apresiasi publik, harus menjalani tes lagi untuk menduduki posisi yang sama.
Bagi Hamdan hal ini dilematis. Sebagai hakim konstitusi, dia bersama delapan hakim yang lain sudah menghasilkan banyak putusan. Tetapi untuk kelanjutan masa jabatan, dia harus mengikuti tes calon hakim konstitusi lagi.
Jika mengikuti tes dan lolos, mungkin tidak ada persoalan. Tetapi jika tidak lolos, lalu bagaimana nilai putusannya selama ini? Publik pasti bertanya: lho ternyata selama ini putusan MK dibuat oleh hakim yang tidak kompeten dan tidak berintegriatas.
Bagi Hamdan masalah bukan pada lolos atau tidak lolos, tetapi yang lebih penting adalah menjaga kredibilitas lembaga. Manakala putusan hakim dipertanyakan banyak orang, lantaran hakimnya dianggap rendah kualitasnya, maka runtuhlah kredibilitas lembaga. Apalagi posisi MK adalah “setengah dewa” dalam sistem ketatanegaraan.
Ketika Busyro Muqoddas mendaftarkan diri untuk menjadi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, banyak pihak berharap agar dia lolos tes dari tim seleksi, lalu diterima oleh DPR, dan kembali menduduki jabatan yang sama.
Pada tes seleksi, harapan itu kemungkinan besar terwujud. Reputasi Busyro sebagai pimpinan KPK selama ini bisa menjadi jaminan. Orang ini juga nyaris tidak pernah diterpa isu buruk. Lebih dari itu, tim seleksi yang mengetes Busyro saat ini hampir sama orangnya dengan yang mengetes Busyro empat tahun lalu. Kecil kemungkinan tim seleksi membuat standar ganda.
Jika Busyro tidak memiliki problem integritas (selama menjadi pimpinan KPK), maka uji kompetensi pasti terlewati. Itu sudah dibuktikan selama menjadi pimpinan KPK selama empat tahun. Akhirnya, Busyro dinyatakan lolos oleh tim seleksi. Kini namanya bersama satu calon lain sedang ditimbang-timbang oleh DPR.
Meskipun Komisi III DPR bertanya ini itu lagaknya paham urusan korupsi, namun sesungguhnya DPR hanya membuat keputusan politik: diterima atau ditolak, terlepas orang itu kompeten atau tidak, berintegritas atau tidak. Bagaimana pun, putusan politik lebih banyak atas pertimbangan untung atau rugi, suka atau benci. Itu hak penuh lembaga politik, yang suka atau tidak suka harus diterima, karena masyarakat sudah terlanjur memilihnya melalui pemilu.
Naas dialami oleh Prof Ramlan Surbaki, wakil ketua dan anggota KPU penyelenggara Pemilu 2004. Terlepas dari beberapa kasus korupsi yang menjerat ketua dan anggota KPU lainnya, penyelenggaraan Pemilu 2014 dinilai sukses. Pemilu legislatif yang memilih DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dikenal sebagai pemilu paling rumit di dunia; sedang pemilu presiden merupakan pengalaman pertama.
Karena itu, banyak kalangan mendorong Ramlan (yang terbebas dari tuduhan korupsi) untuk menjadi anggota KPU periode berikutnya. Di bersedia, dan bersiap menghadapi tes yang dilakukan tim seleksi, Prof Sarlito Wirawan dkk.
Tentu, tim seleksi bentukan Presiden SBY ini berbeda dengan tim seleksi bentukan Presiden Megawati, yang dulu merekrut Ramlan, dkk. Peraturannya juga beda. Yang paling menyolok tim seleksi bentukan Presiden SBY ini terdiri dari lima guru besar yang tidak memiliki latar belakang keilmuan politik dan pemilu.
Hasilnya memang tidak terbayangkan oleh siapun pun. Ramlan tidak lolos tes psikologi untuk menjadi anggota KPU. IQ, kepemimpinan, dan nasionalismenya dinilai tidak mencukupi. Hasil tes itu jelas menghina sekaligus merusak akal sehat masyarakat: bagaimana mungkin orang yang sukses menyelenggarakan pemilu, dinyatakan tidak lolos tes seleksi anggota KPU.
Dampaknya, Pemilu 2009 lebih buruk dari pemilu sebelumnya, jika tidak boleh disebut pemilu terburuk. Bagaimana bisa berjalan baik, kalau pemilu diurus oleh orang-orang yang tidak kompeten, yakni orang-orang yang tidak memiliki pengatahuan dan pengalaman mengurus pemilu. Inilah buah karya Prof Sarlito Wirawanwa dkk.
Belajar dari pengalaman kasus Hamdan Zoelva, Busyro Muqodas, dan Ramlan Surbakti, model seleksi calon pejabat publik harus ditata ulang.
Pertama, bagi orang-orang yang sedang menduduki jabatan, dan hendak melanjutkan jabatan yang sama, maka mereka tidak perlu mengikuti uji kompetensi dan integritas lagi. Sungguh, tidak masuk akal menguji orang yang sudah teruji menjalankan perannya. Lagi pula sebelumnya, mereka sudah menjalani uji kompetensi dan integritas, yang meterinya kurang lebih sama.
Apabila model seleksi berlebihan ini diterus-teruskan, kita akan kehilangan orang-orang terbaik di bidangnya. Dalam kasus Hamdan, hasratnya untuk menjaga kredibilitas lembaga, menjadi penghalang; sedang dalam kasus Ramlan, perangkat tes yang dibikin tim seleksi, menjadikan dia tersingkir.
Kedua, mereka yang berhasrat atau didorong untuk melanjutkan masa jabatan, cukup menghadapi keputusan politik dari lembaga yang berwenang: diangkat lagi atau tidak. Ini soal keputusan politik. Jadi serahkan sepenuhnya kepada DPR atau presiden.
Katakanlan ada oran yang mau melanjutkan itu terindikasi tidak kompeten dan tidak berintegritas saat menjalankan tugasnya, maka hal itu pasti akan jadi pertimbangan presiden dan DPR. Kita tidak perlu naif, menganggap presiden atau DPR terlalu bodoh untuk mengangat kembali orang-orang yang jelas bereputasi buruk.