Jero Wacik dan dana Partai Demokrat
Jero Wacik tergagap-gagap menghadapi kasus Rudi Rubiandini. Sekadar panik, atau ada yang disembunyikan?
Ketika KPK menangkap Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, agak sulit menghubungkan kasus ini dengan keuangan Partai Demokrat. Apalagi Rudi bukan kader Partai Demokrat. Tetapi ketika penyidik KPK menemukan uang USD 200.000 di ruang Sekjen ESDM Waryono Karno, spekulasi mengarah ke partai pimpinan SBY itu tidak bisa dihindari.
Bisa dipahami, karena Menteri ESDM Jero Wacik adalah Sekretaris Mejelis Tinggi Partai Demokrat. Majelis tinggi adalah lembaga paling besar kekuasaannya di Partai Demokrat setelah kongres. SBY yang bertindak selaku ketua majelis tinggi sekaligus ketua umum partai, sangat percaya kepada Jero Wacik.
Jero Wacik sendiri menggantikan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh pada Oktober 2011, setelah SBY menilai kinerja bendahara Partai Demokrat itu sangat buruk sebagai menteri. Namun penunjukan Jero Wacik sebagai menteri ESDM mengundang tanda tanya besar, karena sebagai menteri kebudayaan dan pariwisata prestasinya tidak menonjol.
Apalagi alumnus jurusan Teknik Mesin ITB ini tidak memiliki pengalaman di bidang energi. Hal ini disadari sepenuhnya oleh SBY, sehingga dia melantik Prof Widjojono Partowidagdo sebagai wakil menteri ESDM untuk mem-back-up Jero Wacik. Widjajono lalu digantikan oleh Prof Rudi Rubiandini, setelah beliau meninggal dalam ekspedisi di Gunung Tambora, NTB pada April 2012.
Penunjukan Jero Wacik sebagai menteri ESDM yang dipaksakan, sesungguhnya tidak lepas dari kepentingan Partai Demokrat. Sudah menjadi rahasia umum, selain kementerian BUMN, kementerian ESDM adalah lahan paling gemuk untuk menggalang dana politik. Oleh karena itu, sejak menjadi presiden, SBY tidak pernah melepaskan pos ini kepada orang yang tidak dipercayainya.
Tentu terlalu dini menyimpulkan Jero Wacik terlibat pengumpulan dana partai melalui pejabat di lingkungan kementerian ESDM, seperti Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Namun akal sehat publik tidak bisa dibohongi oleh sanggahan-sanggahan logika hukum formal. Meskipun kelak KPK gagal membuktikan kasus ini sebagai bagian dari penggalangan dana partai, bukan berarti penggalangan dana partai politik di lingkungan ESDM, tidak terjadi.
Partai Demokrat sadar betul, kekuatan uang untuk membeli suara. Sukses partai ini dalam meningkatkan suara sebanyak tiga kali lipat pada Pemilu 2009, menunjukkan hal itu. Apa yang disebut dengan "operasi senyap" menjelang pemilihan, tidak lain adalah gerakan menyakinkan pemilih dengan cara diam-diam melalui uang.
Saking senyapnya operasi itu, banyak caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Demokrat yang tidak mengetahui, sesungguhnya siapa yang bekerja di daerah pemilihannya, sehingga mereka pun terkaget-kaget menjadi caleg terpilih.
Kisah sukses "operasi senyap" itulah yang mendorong Anas Urbaningrum dkk untuk menggalang dana lebih dini dan lebih banyak lagi dengan berbagai cara yang mungkin dilakukan oleh para anggota legislatif dan pejabat eksekutif dari Partai Demokrat. Tidak tahunya tancap gas di awal kepengurusan ini ketanggor operasi KPK. Mantan Bendahara Partai Demokrat Mohammad Nazaruddin Syamsudin pun membuka aib partai secara terang benderang.
Setelah periode memalukan berlalu, SBY selaku pimpinan puncak Partai Demokrat menghadapi situasi sulit dalam penggalangan dana menjelang Pemilu 2009. Pertama, kepastian bahwa dia takkan lagi menjabat presiden, tentu membuat para cukong tidak antusias menanam uang di Partai Demokrat.
Kedua, perginya dua donatur besar dari Partai Demokrat –Siti Hartati Mudaya dari Berca Grup dan Handojo Selamet Mulyadi dari Tempo Scan Pasific Grup– jelas mempengaruhi kinerja pengumpulan dana. Sebab, mereka tak hanya penyumbang, tetapi juga penggalang dana di lingkungan pengusaha.
Sementara Tommy Winata dari Artha Graha Grup belum tentu sepenuh hati menyetor dan mengumpulkan dana sebanyak yang diinginkan Partai Demokrat, akibat ketidaksungguhan pemerintah dalam menggolkan proyek jembatan Jawa-Sumatera.
Situasi itu membuat Partai Demokrat terpaksa memaksimalkan "jalur rawan" untuk menggalang dana: melibatkan anggota legislatif dan pejabat eksekutif. Di sinilah Jero Wacik masuk dalam radar bidikan KPK, menyusul tertangkapnya Rudi Rubiandini dan ditemukannya USD 200.000 di ruang Sekjen ESDM.
Ketergagapan Jero Wacik dalam mengomentari kasus ini bisa diartikan sebagai bentuk kepanikan semata, tapi juga bisa ditafsirkan ada sesuatu yang disembunyikan. Biarlah KPK yang membuktikan.