Karut marut kelola parkir
Kenaikan biaya parkir diharapkan bisa mengurangi kemacetan di Jakarta.
Pengelolaan parkir di Jakarta agaknya jauh dari sebutan tertib. Di pinggir jalan, mulai perkampungan hingga tengah kota, pemandangan parkiran motor jalanan (on street) masih berserakan. Tengok saja parkiran sepeda motor di sekitar kawasan Mal Grand Indonesia, Jalan Kebon Kacang, dan di Jalan Kebon Sirih, depan kantor DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Pusat.
Meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun gedung-gedung parkir dan kawasan parkir terpadu (off street), namun parkiran jalanan masih berlangsung. Sebab, parkiran itu juga dikelola oleh Dinas Perhubungan melalui Unit Pelaksana Tugas (UPT).
Padahal, menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, parkiran jalanan ini menjadi salah satu biang kemacetan. “Parkir jalanan menyebabkan macet dan yang dirugikan masyarakat pengguna jalan juga,” kata dia ketika dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya Kamis malam pekan lalu.
Data terakhir pemerintah, total seluruh satuan ruang parkir (SRP) di Jakarta mencapai 12.550 titik, terdiri dari 2.072 off street dan 10.478 on street. SRP dikelola swasta adalah 305.050 untuk mobil dan 201.804 untuk kendaraan roda dua. Pengelola parkir swasta di Jakarta sejauh ini ada 741 penyelenggara, 52 penyelenggara di antaranya menggratiskan parkir.
Kebijakan pemerintah menaikkan tarif parkir melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 120 Tahun 2012 tentang Biaya Parkir pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Umum di Luar Badan Jalan atau off street, berpotensi menyebabkan pemilik kendaraan beralih ke parkiran on street.
Berdasarkan peraturan itu, tarif naik antara Rp 3 ribu hingga Rp 5 ribu per jam untuk kendaraan roda empat, dari sebelumnya Rp 2 ribu. Sedangkan roda dua tarif naik antara Rp 1.000-Rp 2.000 per jam dari sebelumnya Rp 500. ”Khawatirnya, parkir jalanan menjadi semakin ramai. Tapi sudah terlanjur, kalau dievaluasi tidak apa-apa, bagus,” kata Tulus.
Anggota Komisi B Bidang Transportasi DPRD DKI Jakarta Ridho Kamaludin membenarkan parkiran on street menjadi salah satu penyebab kemacetan. Alasannya, parkiran itu memakan badan jalan. Apalagi lokasi parkiran jenis ini juga berserak di jalan-jalan sempit. ”Memang harus dikelola dengan benar,” kata dia ketika ditemui di ruangan kerjanya, Rabu pekan lalu.
Persoalan lain, lanjut Ridho, pemerintah kurang bisa memaksimalkan pengelolaan parkir ini, misalnya dari sektor pendapatan retribusi. Sumbangan retribusi parkir tahun lalu Rp 20 miliar lebih. Padahal, kata dia, bila melihat banyaknya lokasi parkiran, setoran itu seharusnya bisa dinaikkan. “Tidak masuk akal. Mestinya bisa jauh lebih besar dari itu. Sepertinya pendapatan parkir ini banyak menguap, tidak tahu ke mana."
Berbeda dengan parkiran off street dikelola perusahaan-perusahaan swasta. Misalnya di pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran, dan apartemen. Pajak parkir off street disetor ke negara jumlahnya jelas, 20 persen dari total pemasukan kotor pengelola swasta. Untuk retribusi ke pemerintah daerah, hanya dibebani biaya izin penyelenggara sebesar Rp 2 juta kepada Dinas Perhubungan.
Ridho justru mendukung kenaikan tarif parkir karena bisa mengurangi penggunaan kendaraan di jalanan.
Bagaimana kalau mereka beralih menggunakan jasa parkir jalanan? ”Saya rasa tidak seperti itu. Orang kaya pasti berpikir ulang kalau parkir di jalanan, mereka tidak mau menerima risiko cat mobil tergores,” kata dia.
Muhammad Taufik/Islahuddin