KMP berantakan dan masa depan Gerindra dan Prabowo
Gerindra dapat menerima limpahan suara kecewa, Prabowo bisa belajar dari Lula da Silva.
Koalisi Merah Putih atau KMP berantakan. Pertengahan tahun lalu Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan bergabung dengan pemerintahan Jokowi-JK, lalu pada akhir tahun Partai Keadilan Sejahteran (PKS) mulai mendekati Jokowi-JK. Akhirnya, pada awal tahun ini Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terang-terangan menyokong pemerintahan Jokowi-JK.
Bahwa KMP akan bubar di tengah jalan, atau tidak bertahan sampai mendekati Pemilu 2019, sebetulnya sudah diperkirakan banyak orang. Akal sehat umum saja yang menyimpulkan: pertama, KMP dibentuk akibat emosi kalah pemilu; kedua, partai pendukungnya, khususnya Partai Golkar, berwatak pragmatis, takkan tahan jadi oposisi.
Secara teori, koalisi partai politik itu ada dua jenis: pertama, bersatu karena pertimbangan kesamaan ideologis; kedua, bersatu karena pertimbangan meraih 50% lebih kursi parlemen dan atau meraih kursi presiden dalam pemilu.
Jika bicara kesamaan ideologi, tidak terdapat dalam partai-partai yang bergabung dalam KMP. PAN dan PKS beraliran Islam modernis, PPP lebih pada Islam tradisionalis, Partai Gerindra kekaryaan nasionalis, sedangkan Partai Golkar kekeryaan pragmatis. Peta politik itu pun hanya berdasarkan teks dan jargon. Dalam praktik politik keseharian mereka berlaku pragmatis: ambil yang paling menguntungkan, kini dan di sini.
Sebetulnya koalisi yang terbentuk atas pertimbangan pragmatis bisa saja bertahan lama, asal: pertama, terdapat kesepakatan atas platform politik bersama; kedua, menang dalam perebutan kursi di legislatif atau eksekutif. Dua syarat tersebut tidak dimiliki oleh KMP, sehingga anggotanya cenderung tidak tahan jadi koalisi oposisi.
Jika pun ada yang mencoba dan berhasil bertahan, itu pun lebih karena gengsi elit politiknya. Dalam hal ini PDIP bertahan jadi opoisisi lebih karena pilihan politik Megawati yang merasa dikhianti SBY. Demikian juga dengan Partai Gerindra, lebih karena pilihan politik Prabowo, yang juga merasa dikhianati PDIP dan Megawati.
Jika memang demikian, bagaimana masa depan Partai Gerindra dan Prabowo Subianto? Akankah Partai Gerindra mengulangi sukses PDIP setelah sepuluh tahun bertahan jadi oposisi sendirian? Lalu, bagaimana peluang Prabowo menjadi presiden terpilih pada Pemilu 2019?
Pertama kali mengikuti pemilu pada Pemilu 2009, Partai Gerindra sudah menunjukkan performanya. Perolehan kursi partai yang didirikan Prabowo ini mengalahkan pamor Partai Hanura yang juga didirikan oleh pensiunan jenderal Wiranto. Pada Pemilu 2014 Partai Gerindra menjadi partai terbesar ketiga, di bawah PDIP dan Partai Golkar.
Konsisten berada di jalur oposisi selama lima tahun bersama PDIP, Partai Gerindra dan PDIP mendapat limpahan suara atas ketidakpuasan koalisi gemuk pendukung pemerintahan SBY-Boediono: Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PKB, dan PPP. Tentu saja wibawa Prabowo yang terus menaik mejelang Pemilu 2014 juga menjadi faktor yang menambah perolehan suara Partai Gerindra.
Sejauh ini, Prabowo masih menjadi satu-satunya alternatif untuk menyaingi Jokowi dalam Pemilu 2019 nanti. Memang usia sudah melampaui batas rata-rata pemimpin nasional, padahal pada saat yang sama Jokowi justru memasuki usia paling produktif. Namun para lover Prabowo masih bertahan, dan jumlahnya akan semakin bertambah jika mereka yang manaruh harapan besar pada Jokowi kecewa.
Prabowo mungkin bisa belajar dari Lula da Silva, Ketua Partai Pekerja Brasil. Tokoh ini konsisten menjaga ideologi partai sekaligus menawarkan program-program alternatif yang masuk akal bagi publik. Tiga kali mencalonkan diri menjadi presiden, Lula gagal, namun kali keempat dia berhasil. Selama dua periode kepresidenannya Lula membawa Brasil menjadi negara yang disegani secara politik karena kekuatan ekonominya.